Aku membalikkan badan dengan gemetaran, kulirik wajah Ibu yang sedang menatapku.
"Bagaimana ini, aku belum siap menjelaskannya sekarang," batinku.
"Ra, ini tidak ada pemberitahuan kok tiba-tiba listriknya mati, apa kamu telat ngisinya?" tanya Ibu yang lantas membuatku terperangah.
Aku baru ingat jika selumbari Ibu memberiku uang untuk membeli pulsa listrik. Namun karena pikiranku terlalu kalut, akhirnya hal itu terlupakan begitu saja.
"Oh iya Bu, aku lupa." Aku menggaruk kepala sembari mengukir tawa hambar.
"Ya sudah tidak apa-apa, tapi ... bisa 'kan beli sekarang? Ini setrikanya mati Ra, dan masih banyak yang belum digosok." Ibu berkata sambil melirik tumpukan baju di sampingnya.
"Iya Bu, aku akan beli sekarang." Aku mengangguk, lantas melangkah pergi meninggalkan Ibu.
_____
Semilir angin pagi menerpa wajahku yang sedang berdiri di depan pintu masuk Universitas Trijaya. Kutatap lekat setiap hal yang ada di sana, entah itu derap langkah yang berlalu lalang, atau sekadar daun pucuk merah yang bergoyang.
Setelah absen selama tiga hari, aku kembali menapakkan kaki di sini. Kendati aku belum mendapatkan jalan keluar, namun pikiranku sedikit lebih tenang. Walau aku belum tahu seperti apa hidupku nanti, namun satu hal yang kuyakini, aku tidak akan meninggalkan agamaku.
Satu hal yang tetap kuharapkan hingga saat ini adalah Daniel. Setiap hela napas selalu kuselipkan doa, berharap semoga hatinya luluh dan mau ikut keyakinanku. Dengan begitu, semua kerumitan ini akan menjadi mudah.
"Kirana!"
Aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggil namaku, ternyata Nindi-sahabatku.
"Ra, kamu kenapa?" Ninda bertanya sembari menggenggam lenganku.
"Aku tidak apa-apa," jawabku berbohong. Kendati kami bersahabat dekat, namun aku enggan menceritakan masalahku.
"Aku tadi melihatmu berdiri mematung di sini, dan ... raut wajamu kusut begitu. Ada apa?"
"Aku tidak apa-apa Nin, hanya sedikit lelah, perjalanan kemarin lumayan panjang," jawabku tanpa kejujuran.
Alasanku tidak masuk kuliah adalah bepergian ke Jember, karena ada saudara yang meninggal di sana. Awalnya aku ingin beralasan sakit, namun aku takut Nindi dan Mayra datang ke rumah. Aku tidak mau itu, aku absen karena butuh waktu untuk sendiri.
Benar kata orang, butuh beribu kebohongan untuk menutupi satu kebohongan, dan aku telah melakukan hal itu. Pada orang tua, pada dosen, pada sahabat, aku membuat bermacam kebohongan demi menutupi aib.
"Kan ngelamun lagi," tegur Nindi.
"Aku memikirkan tugas. Gara-gara perjalanan kemarin, tugasku masih belum rampung, padahal harus dikumpulkan besok." Satu lagi kebohongan yang kulontarkan pada sahabat dekatku.
"Nanti biar kubantu. Bagaimana kalau pulang sekolah aku ikut ke rumahmu, belajar bersama sekaligus membantumu merampungkan tugas," tawar Nindi.
"Terima kasih untuk niat baikmu Nin, tapi tidak usah, aku tahu kau juga lelah," ucapku menolak tawaran Nindi.
"Baiklah, aku mengerti," sahut Nindi, dan kutanggapi dengan senyuman.
Kemudian kami berjalan memasuki kawasan kampus. Cukup lama kami saling diam, sampai akhirnya Nindi membuka suara setelah tiba di depan kelas.
"Ra!"
"Iya Nin." Aku menyahut sembari menoleh ke arahnya.
"Aku mengenalmu bukan hanya hitungan hari, Ra. Aku tahu saat ini kau sedang tidak baik-baik saja. Kita sahabat, masihkah kau ragu untuk menceritakan masalahmu?" Nindi menatapku dengan lekat.
"Maafkan aku Nin. Kau benar, aku memang ada masalah, tapi ... aku belum siap untuk bercerita," kataku dengan pelan, nyaris seperti bisikan.
"Baiklah, aku paham. Kapanpun kau mau, aku siap mendengarkan. Kirana, apapun masalahmu semoga kau bisa menghadapinya dengan tegar. Aku percaya kau bisa," ujar Nindi menyemangatiku.
"Terima kasih ya, Nin." Aku mengulas senyum lebar, memamirkan gigi gingsul serta lesung pipit.
"Ciee yang abis jalan-jalan, mana oleh-olehnya."
Aku menoleh kala mendengar ledekan Mayra. Entah sejak kapan dia datang, tiba-tiba saja sudah berdiri di antara kami.
"Oleh-olehnya capek, May," jawabku dengan tawa palsu.
"Hmmm kamu gitu, Ra," cibir Mayra.
"Kirana itu nggak bohong May, tuh lihat mukanya, kusut banget kayak jemuran yang nggak disetrika," timpal Nindi.
Setelah mendengar perkataan Nindi, Mayra mengacak rambutku sambil tertawa keras. Mungkin dia pikir aku benar-benar lelah karena perjalanan. Dibandingkan Nindi, Mayra termasuk gadis yang tidak peka. Kendati ia ceria dan suka menghibur teman, namun ia tidak terlalu pandai dalam memahami kesedihan seseorang-yang memang sengaja disembunyikan.
Melihat Mayra yang tertawa riang, aku pula ikut tertawa, meskipun hati ini enggan melakukan itu. Aku belum siap bercerita padanya, jadi memang lebih baik jika dia tidak menyadari.
Namun belum lama kami bercanda, tiba-tiba Daniel datang menghampiri.
Aku dan Daniel saling beradu pandang, seolah mengupas kembali ingatan tentang beberapa hari lalu. Langkahnya semakin mendekat, dan samar-samar wangi bvlgari mulai tercium di hidungku.
"Masih pagi, Niel, udah nyamperin aja!"
"Habis ditinggal tiga hari Nin, rindu berat tahu."
Mayra dan Nindi menggodaku, namun tak lantas membuatku tersenyum. Kehadiran Daniel semakin mengingatkanku pada masalah besar yang menimpa.
"Kirana, aku ingin bicara." Daniel menggenggam lenganku, tanpa mengalihkan pandangan.
Suaraku seakan tercekat di tenggorokan, sehingga aku hanya mampu menjawabnya dengan anggukan. Kemudian dia mengajakku berjalan meninggalkan Nindi dan Mayra. Aku menurut dan mengikuti langkahnya. Kuabaikan teriakan Nindi dan Mayra yang terus menggodaku.
Kami berhenti di taman belakang. Daniel mengajakku duduk di bangku panjang, di bawah pohon mangga. Di antara bunga bougenvil yang berwarna-warni, kami duduk berdua dalam diam. Tak ada sepatah kata yang kami ucapkan, sekian detik lamanya hanya gemirisik angin yang mengisi kekosongan.
"Kirana!"
Setelah cukup lama bergeming, akhirnya Daniel membuka suara.
"Ada apa?" tanyaku dengan parau. Dalam hati, aku sangat berharap dia mau mengubah keputusan, namun entahlah, melihat raut wajahnya yang kusam, sepertinya dia tidak membawa kabar baik.
"Aku punya solusi untuk masalah ini, kuharap kamu mau setuju, Ra," kata Daniel.
"Aku tidak mau meninggalkan agamaku," sahutku pelan, namun tegas.
"Tidak, Ra. Kau tidak perlu meninggalkan keyakinanmu." Daniel menjawab sembari menggenggam kedua tanganku.
"Apa itu artinya ... kau yang ikut keyakinanku?" tanyaku ragu-ragu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
jgn blng kl kurana disuruh menggugurkan kandungan nya😭😭
2022-10-15
0
Nina insiyyah
jangan bilang suruh di gugurin
2022-02-12
1
Little Peony
Jangn bilang suruh gugurin?!
Daniel tak jambak kamu ya kalau sampai kasih solusi laknat
2021-08-04
0