Angin pagi berembus pelan, menghantarkan hawa dingin yang munusuk pori-pori. Di bawah terpaan sinar mentari yang baru terbit di kaki langit timur, aku melangkah menuju TPU Kota Malang. Aku menggenggam erat keranjang bambu yang berisi kelopak mawar, dengannya aku akan mengunjungi tempat terakhir Ayah.
"Pagi sekali, Neng?" sapa seorang pria yang berdiri di dekat pintu masuk.
"Iya," jawabku singkat, tanpa menatapnya.
Wangi khas kamboja menyeruak dalam hidung, kala aku berjalan di antara pusara-pusara yang berjajar. Jantungku berdetak dengan cepat, seakan ia meledak dalam beberapa detik lagi. Aku masih tak percaya, jika nama Ayah sudah terukir di batu nisan.
Kemarin, Ibu melarangku ikut ke pemakaman, karena saat itu kondisiku masih belum tenang. Selain itu, Mas Bayu dan Mas Denis masih dikuasai amarah, Ibu takut mereka akan kembali memarahiku di makam.
Hari ini pun sebenarnya Ibu masih berat memberikan ijin, karena Ibu tahu, semalam aku terus menitikkan air mata, tanpa mengistirahatkannya barang sekejap. Aku tak bisa membohongi diri sendiri, aku sama sekali tak bisa mengkhianati hati. Mendengar gema Yaasin dan tahlil, rasa perih benar-benar menancap di sanubari. Ayah telah berpulang ke pangkuan-Nya. Ayah telah pergi, dan tak mungkin kembali. Sudah tak ada jalan untuk bersua dengan Ayah.
Aku berhenti di dekat gundukan tanah yang masih basah. Aku duduk sembari menatap taburan kelopak mawar yang masih segar. Lantas ekor mataku melirik ke samping, memandangi nama Adi Wijaya yang tertulis rapi di sana.
"Ayah, kenapa secepat ini Ayah meninggalkan aku?" kuraba tulisan itu dengan pilu.
Sosok yang selumbari masih mengusapku penuh kasih, kini sudah terdiam di pembaringan terakhir.
Belum sempat aku mengucap kata maaf, Ayah sudah lebih dulu menutup mata. Ya Allah, sepahit inikah takdir hidupku?
Kuambil segenggam demi segenggam kelopak mawar, dan kutaburkan di atas makam Ayah. Dengan air mata yang berderai, aku memanjatkan doa semoga Ayah mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya. Tak lupa pula kuselipkan banyak kata maaf, meskipun aku tahu kesalahanku sangat fatal, dan sedikit kemungkinan untuk dimaafkan.
Usai memanjatkan doa, aku mengusap perutku yang belum membuncit. Aku mendekapnya dengan erat, berharap janin yang tumbuh di sana dianugerahi jiwa yang tegar.
Statusnya berbeda dengan anak-anak lain, aku takut dunia akan menghakiminya. Walau bukan dia yang melakukan dosa, tapi dia yang paling merasakan imbasnya.
"Baik-baik ya, Nak, di sana. Meskipun keadaan tak berpihak padamu, tapi ada Bunda yang selalu menyayangimu," ucapku sembari menunduk.
"Maafkan orang tuamu yang tak bisa memberikan status, Nak," sambungku masih dengan suara pelan.
Setelah puas menangis, hatiku sedikit lega. Lalu kuseka air mata dengan ujung kerudung yang kukenakan. Aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Kuulangi berulang kali, hingga hati ini benar-benar tenang.
"Kirana!"
Aku terkesiap, aku hapal benar suara siapa yang menyebut namaku. Daniel, apa yang dia lakukan di sini? Lantas aku beranjak, lalu membalikkan badan dan menatap ke arahnya.
"Maafkan aku, Kirana. Aku sudah menghancurkan hidupmu, aku sudah menyulitkanmu." Daniel memelukku dengan erat, dan kurasakan tetesan air membasahi pundakku. Dia menangis.
"Mama dan Papa melarangku datang ke rumahmu kemarin, maafkan aku tidak bisa hadir di acara pemakaman ayahmu, Kirana. Maafkan aku yang telah menimbulkan masalah serumit ini. Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa mengendalikan diri. Cintaku malah mengantarmu pada luka, maafkan aku, Kirana." Daniel terus mengucapkan kata maaf, dan hal itu membuat air mataku kembali tumpah.
"Lepaskan aku!" Aku berusaha menarik diri dari dekapan Daniel.
"Kirana, kenapa?" tanya Daniel setelah jarak kembali terbentang di antara kami.
"Kehamilanku yang membuat Ayah pergi. Sangat tidak pantas jika aku berpelukan dengan Daniel di sini. Lagi pula hubunganku dengan dia sudah jelas berakhir, sudah saatnya berhenti berbicara tentang cinta," ucapku dalam hati.
"Kirana!"
"Masihkah kamu bertanya kenapa, Daniel?" jawabku.
Daniel menghela napas panjang, "aku mengerti, maafkan aku, Kirana." Lagi-lagi kata maaf yang keluar dari mulutnya.
"Kata maafmu tidak akan mengubah keadaan, Daniel. Jika kamu memang cinta dan tidak pengecut, seharusnya kamu berani bertanggung jawab! Kau sudah merusak dia, kau sudah menghancurkan masa depannya, dan kau lari dari semua itu! Kau hanya mau menikmatinya, tanpa mau menikahinya. Laki-laki macam apa kamu, hah!" teriak seseorang yang baru saja datang.
Dia mendorong tubuh Daniel dengan napas yang memburu, terlihat jelas jika ia sedang emosi. Sebelah tangannya mencengkeram kerah kemeja Daniel, dan sebelahnya lagi mengepal tepat di depan wajah. Tatapan matanya sangat tajam, seolah ia benar-benar bernafsu untuk menghabisi Daniel.
"Hentikan!" pekikku.
"Diam, Kirana! Biarkan aku memberinya pelajaran, aku tidak terima dia memperlakukanmu seperti itu!" teriaknya tanpa menatapku.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
baca ceritanya semua perasaan diaduk aduk ....duuuh 😭😭😭😭
2022-10-15
0
Rahmawaty❣️
Darren ya ini
2022-10-02
0
Rahmawaty❣️
Jgn bilang cinta daniel . Karna cinta tak akan pernh memberikan luka😪
2022-10-02
0