"Dia sudah mencorengkan aib, Bu. Selamanya kita akan menahan malu, jika tetap membiarkan dia tinggal di sini."
"Tapi Kirana itu sedang hamil, Bay. Lagi pula, sejak kecil dia sudah tumbuh di keluarga ini. Dia tidak punya siapa-siapa diluar sana."
"Dia sudah membunuh Ayah, Bu, aku tidak terima itu. Suruh saja dia ikut pacarnya, lagian juga sudah hamil, sudah seharusnya bertanggung jawab."
"Keyakinan mereka berbeda, Bay, mana bisa Kirana menikah dengan Daniel. Tolonglah, biarkan dia tinggal di sini, dan jangan mengatakan apapun tentang masa lalunya. Kasihan dia, Bay."
"Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya, dasar anak pelacur."
"Bayu, jaga ucapan kamu!"
"Ibu." Aku menyibak tirai penyekat dan menatap Ibu dengan sayu. Aku sudah tak kuat lagi mendengar pembicaraan mereka, aku ingin menanyakan langsung perihal identitasku.
"Kirana! Sejak kapan kamu datang, Nak?" Ibu bertanya sambil beranjak dari duduknya. Raut wajahnya terlihat tegang, mungkin Ibu takut jika aku mendengar perbincangannya.
"Belum lama, Bu," jawabku singkat. Aku melirik ke arah Mas Bayu, namun dia membuang muka, seolah sangat enggan menatap diriku.
"Ya sudah, sekarang cepat makan ya, mumpung supnya masih hangat." Ibu tersenyum sambil mengusap-usap lenganku.
"Ibu!" panggilku setelah jeda beberapa detik.
"Iya, Nak."
"Sebenarnya ... aku mendengar perbincangan Ibu dan Mas Bayu," kataku dengan gemetaran. Setelah ini, aku benar-benar masuk dalam mimpi buruk. Pelacur, satu kata yang sangat menyakitkan. Mengapa Mas Bayu menyematkan sebutan itu pada ibuku?
"Tidak, tidak, Kirana. Kamu salah, tidak ada apa-apa, Nak. Kami ... kami hanya membicarakan hal sehari-hari," sahut Ibu dengan cepat.
"Ibu, tolong katakan yang sejujurnya. Aku benar-benar mendengar apa yang Ibu katakan, apakah kenyataannya memang seperti itu?" tanyaku mendesak Ibu.
"Nak, tidak. Ini, ini___"
"Bu, Kirana sudah dewasa, kita tidak bisa terus-terusan menyembunyikan fakta ini. Jelaskan saja siapa dirinya, sekalian biar belajar tahu diri," pungkas Mas Bayu sembari menatap tajam ke arahku.
"Bayu!" bentak Ibu.
"Terus saja sayangi dia, Bu, dan kesampingkan anak kandung sendiri. Aku sudah terbiasa dengan sikap Ayah dan Ibu yang seperti itu," gerutu Mas Bayu.
"Bayu, jaga ucapan kamu! Kamu___"
"Apa yang kamu dengar memang benar, Kirana. Kamu adalah anak Bibi, adik kandung Ayah. Ibumu bekerja sebagai wanita penghibur, melayani banyak pria, dan ... entah yang mana yang menjadi ayahmu. Saat melahirkan, Bibi mengalami pendaharan hebat, dan nyawanya tidak tertolong. Ayah dan Ibu mengasuhmu, dan menganggapmu seperti anak sendiri. Awalnya aku mengira kehadiranmu akan menjadi tawa, karena Ayah dan Ibu memang mengharapkan anak perempuan. Tapi aku tidak menyangka, kau malah menjadi duri dalam keluarga ini."
Bukan suara Mas Bayu, melainkan Mas Denis. Dia baru saja datang, dan tiba-tiba memotong perkataan Ibu. Dia menjelaskan sebuah fakta yang sangat menyakitkan. Sekarang aku paham, mengapa usiaku dengan kedua kakakku terpaut jauh, karena aku memang bukan anak kandung Ayah dan Ibu.
"Denis, Bayu, kenapa kalian melakukan ini, dimana hati kalian? Kirana sedang ditimpa masalah, kenapa kalian malah menambah bebannya? Dia tidak punya sandaran selain kita, tolong sisakan sedikit saja rasa iba kalian untuk dia. Dia sepupu kalian, ada darah yang sama, yang mengalir di tubuhnya. Dia itu ibarat amanah dari Ayah, apa kalian akan melalaikannya, hah!" kata Ibu dengan titik-titik air mata yang membasahi wajah rentanya.
Mendengar ucapan Ibu, aku dapat menarik satu kesimpulan. Apa yang diucapkan Mas Bayu dan Mas Denis adalah sesuatu yang benar. Sekarang aku tahu betapa pilunya kisahku di masa lalu.
"Aku akan tetap menganggap dia sebagai adik, jika dia tahu diri, Bu. Tapi apa yang dilakukannya, dia menorehkan aib besar, dan itu yang membuat Ayah tiada. Dia bukan amanah, Bu, karena aku yakin Ayah juga tidak akan memaafkan dia! Apa yang menimpanya saat ini, itu bukanlah musibah, tapi karma. Dia sengaja melakukannya, bukan diperkosa. Dia memang perempuan hina, sama seperti ibunya," kata Mas Denis yang lantas membuat darahku mendidih.
"Aku memang bersalah, Mas, kuakui saat ini aku memang hina. Tapi jangan pernah menghina ibuku! Semua manusia punya kesalahan, tapi jangan jadikan kesalahan itu untuk menghakimi mereka. Kau juga bukan orang yang sempurna, Mas. Aku tahu kau pernah melakukannya sebelum menikah!" teriakku dengan napas yang memburu.
Kutunjuk-tunjuk wajah Mas Denis dengan penuh amarah. Aku tidak takut meskipun emosinya akan tersulut. Aku tidak bisa tinggal diam saat dia merendahkan ibuku. Yang kuucapkan barusan bukan sekadar karangan, aku ingat dulu dia sering membeli alat kontasepsi. Hanya saja keberuntungan masih berpihak padanya, Mbak Laras tidak hamil sebelum dinikahi.
"Dasar perempuan tidak tahu diri, kurang ajar kamu!" Mas Denis melayangkan tangannya dan hendak menampar wajahku, namun aku berhasil menangkisnya.
"Jangan terlalu menghakimi orang lain, jika kamu sendiri tidak mau dihakimi, Mas!" kataku dengan tegas.
Mas Denis menepis tanganku dengan kasar sembari memberikan tatapan tajam, "bawa semua barangmu dan angkat kaki dari rumah ini!" geramnya.
"Denis, apa yang kamu katakan!Kirana adalah anakku, dia akan tetap tinggal di sini!" sahut Ibu dengan intonasi tinggi.
Banyak sanak saudara yang datang mendekat, termasuk Mbak Diana dan Mbak Laras, mereka berusaha melerai pertikaian kami. Ada di antaranya yang membelaku, namun ada juga yang menyalahkanku.
"Baiklah! Jika memang Ibu bersikeras membiarkan Kirana tinggal di sini, ke depannya aku tidak akan pernah bertandang ke rumah ini!" kata Mas Denis dengan tegas. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung pergi meninggalkan kami.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
balik lg ke takdir mungkin yaa
apa yg sdh tertulis mungkin ini yg hrs dijalani Kirana .....
2022-10-15
0
Wiwin Handayani
wajar sihh klo kakaknya marah mungkin klo aku udah dibunuh malah
2022-02-10
1
Rachel Gifanny
bengkak nie mata...nangis Mulu aku...
2021-06-24
0