Semburat sinar jingga dari sang surya yang mulai menyapa, mengiringi langkahku yang sedikit tergesa. Aku terus mengayunkan kaki, sembari menghirup semerbak wangi mawar yang tumbuh di sepanjang jalan. Desir angin, berembus pelan menggoyangkan dedaunan. Menjatuhkan buliran embun yang sebening kristal.
Sesekali kulirik jarum jam yang melingkar di lengan kiri, sudah pukul 06.00. Lantas aku semakin mempercepat langkah. Letak kampus masih cukup jauh dari tempatku saat ini, sedangkan aku harus tiba di sana sebelum pukul 06.30.
Hari ini adalah hari ulang tahun Universitas Trijaya, universitas yang menjadi tempatku mengenyam pendidikan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kampus merayakannya dengan acara pentas seni. Semua mahasiswa dan mahasiswi diperkenankan andil dalam acara ini. Menyanyi solo, band, dance, deklamasi, ataupun bakat yang lain. Acara tahunan ini adalah ajang untuk menampilkan talenta, baik bagi mahasiswa senior, maupun mahasiswa baru.
Aku sudah dua tahun mengejar ilmu di sana, dan aku juga ikut berperan dalam acara itu. Aku akan mendeklamasikan puisi yang kubuat sendiri. Sejak kecil, aku sangat gemar menulis sajak. Setiap kali rasa sedih mendera, aku selalu menuangkan emosiku dalam aksara. Itu sebabnya, aku memilih jurusan Bahasa Indonesia dan Sastra.
Beberapa menit kemudian, bangunan kampus yang kokoh mulai tertangkap kornea. Aku tersenyum lebar sambil berlari-lari kecil menuju pintu gerbang. Kulihat sudah banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di sana.
Menit berikutnya, langkahku terhenti karena menabrak sosok asing yang tiba-tiba muncul di depan mata. Aku nyaris terjatuh, namun untungnya dia menarik tanganku dengan cepat. Lantas kami berdua saling berdiri dalam jarak yang teramat dekat. Sepasang netraku menatap, menilik manik matanya yang kecokelatan.
"Kamu tidak apa-apa?"
Pertanyaannya menyadarkan aku dari lamunan, lalu dengan cepat aku membuang pandangan. Rasa malu perlahan menghampiri, kala mengingat tatapanku yang cukup lama tertuju padanya. Kendati demikian, aku masih belum menepis tangannya yang menggenggam lenganku dengan erat.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawabku dengan pelan.
"Maaf ya, aku menghalangi jalanmu." Dia tersenyum sembari melepaskan genggamannya.
"Tidak apa-apa, justru aku yang seharusnya minta maaf. 'Kan aku yang menabrakmu," sahutku dengan senyum lebar.
"Kalau begitu saling memaafkan saja, lebih indah, 'kan?"
Kulihat dia menaikkan kedua alisnya, dan entah kenapa hal itu sangat menarik perhatianku. Tanpa sebab yang pasti, jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari beberapa detik lalu.
"Nama kamu siapa?"
Lagi-lagi kudengar suaranya mengalun begitu saja. Mungkin karena aku diam, jadi dia berinisiatif untuk bertanya.
"Kirana," jawabku masih dengan senyuman.
"Kirana, nama yang cantik. Sangat cocok dengan wajahmu yang anggun dan ceria."
Aku menunduk, menyembunyikan wajahku yang mulai memanas. Mendengar pujian sederhana darinya, sanubari ini berbunga-bunga. Kirana Mentari, artinya cahaya matahari. Sesungguhnya aku heran, kenapa Ibu memberiku nama itu. Aku lahir dini hari, bersamaan dengan hujan yang turun mengguyur kota. Tidak ada sinar bintang, bulan, apalagi matahari.
"Rafael Daniel Vernandez, orang-orang sering memanggilku Daniel. Tapi aku tidak keberatan, andai saja kau ingin memanggilku dengan nama yang lain."
Kulihat dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Lantas aku menyambutnya. Dan seakan ada aliran listrik yang menyengat tubuhku, tatkala kulit kami saling bersentuhan.
"Kamu kuliah di sini?" tanya Daniel. Suaranya terdengar ringan, seperti tanpa beban. Berbeda jauh dengan diriku yang sangat gugup dan salah tingkah.
"Iya."
"Semangat ya, semoga harimu menyenangkan!"
Dia menepuk pundakku dua kali, kamudian pergi meninggalkan aku yang masih terpaku.
"Daniel."
Tanpa sadar aku menggerakkan bibir, dan menggumamkan namanya. Entah siapa dia, kenapa sekali temu saja perhatianku sudah tercuri olehnya.
"Woi! Pagi-pagi udah ngelamun!"
Teriak seseorang sambil menepuk punggungku dari belakang.
Tanpa menatap pun aku tahu siapa dia. Suaranya yang cempreng, serta tawa yang keras jauh dari kata anggun. Membuatku langsung yakin jika dia adalah Mayra. Salah satu sahabat dekatku di universitas ini.
"Bisa nggak sih May, kalau nyapa orang itu yang sopan dikit." Aku menyindir sembari memutar bola mata.
"Aku tadi sudah berkali-kali manggil kamu, dengan suara yang anggun, dan sikap yang lembah lembut, persis putri di zaman dinasti kuno. Tapi kamu diem aja, cuek bebek, nggak menghargai usahaku yang sudah mencapai batas maksimal," celoteh Mayra dengan cepat dan tanpa jeda.
Cerewet, mungkin itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya. Kendati demikian, dia adalah gadis yang ramah, jujur, dan sederhana. Meskipun sebenarnya, dia adalah anak dari pengusaha kaya raya yang cukup berpengaruh di Kota Malang.
"Iyakah, kok aku nggak dengar ya?"
"Kamu ngelamun. Eh tunggu-tunggu, kok mukamu merah, Ra? Kenapa, lagi jatuh cinta, ya?" Mayra menatapku sambil tersenyum lebar.
"Enggak ada." Kupalingkan pandangan, tak ingin Mayra menilik wajahku lebih jeli lagi.
"Eh beneran, Ra. Mukamu merah, aku nggak bohong. Hayo ngaku, kamu tadi ketemu siapa?"
Mayra terus berbicara sembari mengikuti langkahku yang mulai pergi meninggalkannya.
"Ra, tunggu!" teriak Mayra.
Kala itu, jarak kita memang cukup jauh. Aku terus mempercepat langkah, sambil berusaha menepis bayangan Daniel.
"Ra, tunggu!"
Aku menghentikan langkah, saat mendengar teriakan Mayra untuk yang kesekian kalinya.
"Pagi-pagi udah ngajak lari-lari, kalau make up ini luntur tanggung jawab, ya," gerutu Mayra.
"Olahraga May, biar sehat," jawabku dengan asal.
"Aku udah sehat, lihat nih, sempurna 'kan?" Mayra berkacak pinggang, sambil berputar pelan. Memamirkan postur tubuhnya yang memang sempurna.
"Kok pinggangmu sedikit berisi, May," gumamku menggoda Mayra. Dia adalah gadis yang senantiasa menjaga berat badan, dia akan kalang-kabut jika ada yang menyebutnya gemuk.
"Kamu serius, Ra?" Mayra menatapku dengan tajam. Membuatku merasa geli, dan gagal menahan tawa.
"Kamu bohongin aku, ya. Dasar reseh!" gerutu Mayra.
"Hei, buruan! Bentar lagi acaranya dimulai, kalian lama banget sih!" teriak seseorang dari kejauhan.
Aku menatap ke sumber suara, dan kudapati sosok Nindi sedang berdiri di dekat parkiran. Dia adalah sahabat kami, diantara kita bertiga, Nindi adalah gadis yang paling bijak.
"Ayo cepat, semua sudah siap-siap! Teman-temanmu sudah ganti kostum lho, May," ucap Nindi, ketika aku dan Mayra sudah berdiri di hadapannya.
"Semalam aku lupa memasang alarm, jadi bangunnya kesiangan deh," jawab Mayra.
Lantas kami bertiga melangkah cepat menuju aula.
"Puisimu gimana, Ra? Sudah beres, 'kan?" tanya Nindi.
"Sudah dong," jawabku dengan senyum lebar. Memamirkan gigi gingsul dan lesung pipit yang menjadi kebanggaanku.
"Keren!" Nindi memujiku sambil mengacungkan dua jempol.
Dalam acara kali ini, aku dan kedua sahabatku tidak tampil bersama. Karena punya hobi dalam dunia musik, Mayra akan tampil sebagai dancer bersama teman yang lainnya. Sedangkan Nindi, dia memilih untuk menjadi penonton. Kendati dia cerdas dan bijak, namun dia sangat pemalu. Tidak punya kepercayaan diri untuk tampil di depan umum.
Kami terus melangkah, sambil berbincang dan sesekali tertawa. Walapun kami berbeda, namun persahabatan terjalin dengan erat.
Aku dan Nindi adalah gadis yang terlahir di tengah keluarga sederhana, berbeda jauh dengan Mayra. Sedangkan Nindi, dia adalah gadis non Muslim. Keyakinannya berbeda dengan aku dan Mayra. Namun, kami menjadikan perbedaan itu sebagai warna yang memperindah tali persahabatan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
fanthaliyya
😍😍
2022-10-15
0
Little Peony
Bagus thor 😍
2021-08-04
0
MACA
jejak
2021-07-25
0