"Kirana!"
Sosok yang sedari tadi memanggil, kini duduk tepat disebelahku. Genggamannya di pundak masih belum terlepas, bahkan kurasa kian mengerat.
"Ra, kamu nangis ya, kenapa?" tanya lelaki yang kerap disapa Darren.
Dia adalah Darren Alvando, alumni Universitas Trijaya. Dulu, dia menyemat gelar pangeran tertampan di kampus, walaupun aku pribadi tak pernah membenarkan hal itu. Sekarang, dia menjadi wakil direktur di perusahaan ternama, di Kota Surabaya. Entah kenapa nasibnya begitu mujur, setelah wisuda langsung mendapatkan jabatan yang mapan.
"Aku tidak apa-apa, Kak." Aku menjawab sembari mengusap bekas air mata dengan telapak tangan.
Sewaktu kuliah, aku dan Kak Darren tidak terlalu dekat, karena kami tidak seangkatan dan beda jurusan.
Namun sejak seminggu terakhir, Kak Darren tinggal di kontrakan yang tak jauh dari rumahku. Dia ada tugas mengawasi pembangunan ruko di kota ini. Kami sering bertemu, dan dari sana hubungan kami terjalin lebih akrab. Katanya, aku seumuran dengan adiknya yang sudah tiada.
"Tidak mungkin tidak apa-apa, kamu menyendiri di sini dan menangis. Pasti ada masalah, ya?" tanya Kak Darren.
"Tidak Kak, aku hanya penat aja. Terlalu banyak tugas, rasanya sedikit lelah," jawabku berbohong.
Kendati hati ini kesal dan ingin mengusirnya pergi, namun aku berusaha mengulas senyum dan bersikap biasa. Bagaimanapun juga aku tak boleh membuatnya curiga.
"Yakin?"
Kulihat tatapannya menelisik.
"Iya," jawabku lagi-lagi dengan senyum palsu.
"Masih banyak ya tugasnya, mau kubantu?" tawarnya padaku.
"Tidak usah Kak, aku tahu Kak Darren juga sibuk," ucapku masih dengan nada ramah.
"Kalau malem aku nganggur Ra, bilang aja kalau butuh bantuan. Yah meskipun aku nggak pernah kuliah jurusan Bahasa Indonesia dan Sastra, tapi otakku cukup oke kok." Dia berkata sembari tersenyum lebar, memamirkan barisan giginya yang putih dan rapi.
"Iya, Kak. Tapi kali ini ... aku masih bisa," jawabku.
"Aku salut sama kamu, Ra, sangat gigih dalam mengejar cita-cita. Aku yakin, suatu saat nanti kamu pasti menjadi orang sukses." Kak Darren menepuk-nepuk bahuku dengan pelan.
"Jangan terlalu memuji, Kak, aku tidak sebaik itu." Aku menunduk, merasa malu dengan pujian yang Kak Darren lontarkan. Aku hanyalah perempuan nista, tak sebaik yang orang kira.
"Setidaknya kamu lebih baik dari aku, Ra." Kak Darren ikut menunduk.
Di balik netranya yang hitam, aku melihat setitik kemelut yang sulit untuk kuselami. Entah apa yang ia sembunyikan, namun tampaknya itu bukan hal yang sederhana.
"Memangnya___"
"Kenapa kamu tadi datang sendiri, Ra, kemana Daniel?" Kak Darren memotong ucapanku begitu saja. Mungkin dia takut aku bertanya tentang privasinya.
"Kuliah," jawabku singkat. Dalam hati aku semakin menggerutu kesal, pertanyaannya memancing air mata.
"Kamu___"
"Kak Darren kenapa ada di sini?" pungkasku dengan cepat, aku tak mau dia terus-terusan bertanya tentang Daniel.
"Aku hanya bermaksud cuci mata mumpung senggang, dan tidak sengaja melihatmu menangis," jawab Kak Darren.
"Mmmm," gumamku pelan.
______
Jarum jam yang melingkar di lenganku menunjukkan pukul 11.00 siang, aku memasuki pelataran rumah dengan langkah lunglai. Tak ada kata lapar ataupun dahaga, kendati sedari pagi belum ada setetes air pun yang masuk ke perut.
Tubuhku gemetaran, keringat dingin bercucuran membasahi kaus yang kukenakan. Menatap pintu rumah yang terbuka lebar, rasa takut kian menghimpit. Jangankan untuk berteriak, menelan saliva pun aku merasa kesulitan.
"Assalamu'alaikum," ucapku parau. Butuh usaha keras untuk mengeluarkan suara.
"Waalaikumsalam."
Kudengar suara Ibu menyahutku dari dalam, lantas kumelangkah memasuki rumah. Baru saja tiba di ruang tamu, aku sudah disuguhi pemandangan yang menyesakkan.
Ibu sedang menyetrika di ruang tengah. Wajahnya dibasahi peluh yang sesekali diusap dengan lengan. Ekor mataku menatap tumpukan baju di sampingnya, sangat banyak. Selain berjualan kue, Ibu juga kerap kali mencari upah dengan menyetrika, kebetulan tetangga sebelah adalah pemilik laundry.
"Ibu istirahat saja, biar aku yang mengerjakan ini." Aku berucap sambil duduk di depan Ibu.
Ibu menatapku dengan lekat, guratan keriput di wajahnya semakin jelas kala tersenyum. Lantas Ibu mengusap puncak kepalaku, dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
"Tidak usah, Nak, ini tugas Ibu, tugasmu hanya belajar. Raih cita-citamu setinggi apapun yang kau mau, sudah kewajiban Ibu untuk membiayai setiap kebutuhanmu," ucap Ibu dengan lembut.
Aku meremas ujung kaus yang kukenakan, sebesar ini kepercayaan dan kasih sayang Ibu padaku. Begitu keras perjuangannya demi membiayai kuliahku. Namun apa balasan yang kuberikan? Aku menggantinya dengan aib yang sangat besar. Oh tidak, betapa bodohnya diri ini.
"Kalau begitu aku ke kamar dulu ya, Bu." Aku berkata sambil beranjak. Aku tak mampu lagi membendung air mata, dan aku tak ingin menumpahkannya di hadapan Ibu.
"Iya, Nak."
Aku mulai melangkah meninggalkan Ibu dan menuju ke kamar. Namun belum jauh aku berjalan, suara Ibu kembali kudengar.
"Ra, kamu telat ya?"
Jantungku berdetak cepat, seakan meloncat dari tempatnya. Apakah tubuhku berubah, dan kehamilanku sudah terlihat? Secepat itukah Ibu menyadarinya?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Auliayulie
duh jgn bilang klu nanti darren yg bertanggung jawab sementara kirana sangat benci ...deuh kasian darren jd nya
2022-02-10
1
Little Peony
Masa Ibu nya nemu tespek, nggak lah. Telat yg lain mungkin ya?
2021-08-04
0
Atik Nurjanah
Terima kasih.
2021-06-07
0