Tak kupedulikan sinar surya yang menyengat, tak kuhiraukan tatapan mata yang menghujat. Aku berlari menuju pintu, aku ingin tahu apa yang terjadi pada ayahku.
Aku melesak masuk dan berhenti di depan meja, di tengah ruangan. Di sana, aku melihat satu sosok terbujur kaku di balik jarik cokelat berwarna gelap.
"Tidak mungkin ini Ayah," ucapku dalam hati.
Ekor mataku melirik ke sana ke mari, mencari sosok renta yang biasanya menatapku dengan penuh kasih sayang. Beberapa detik berlalu, tak juga kujumpai wajah Ayah, di mana beliau?
"Yang sabar ya, Ra. Tabahkanlah hatimu dalam melewati ujian ini."
Aku terpaku kala mendengar ucapan Mbak Vera, dia adalah tetangga samping rumah yang usianya tak terpaut jauh denganku.
Aku tak menjawab ucapannya, namun tanganku refleks menyibak jarik yang menutupi kepala jenazah.
"Tidak, ini tidak mungkin! Ayah, bangun Ayah! Ayah, bangun, Yah!"
Entah sekeras apa aku menjerit, ragaku seolah hilang kendali. Aku memeluk tubuh Ayah yang sedingin salju, kugenggam erat lengannya, dan kuguncang badannya. Aku berharap Ayah mau membuka mata dan menatapku dengan senyuman.
"Sabar, Nak, ini sudah takdir."
"Ikhlaskan dia, Nak."
"Tabahkanlah hatimu, Nak."
Satu demi satu suara silih berganti menguatkan hati, namun tetap saja semua ini terasa sakit dan perih. Aku tak bisa menahan tangis, kutumpahkan linangan air mata di dada Ayah. Ikhlas, adalah satu hal yang tidak bisa kulakukan saat ini. Aku butuh Ayah, aku sangat membutuhkannya, aku tidak sanggup kehilangan dia.
Aku terus meraung. Andai saja air mata ini ada batas, pasti ke depannya aku tak bisa lagi menangis. Di sela-sela isakan, aku terus meminta maaf pada raga Ayah. Aku berharap sukmanya masih berdiri di sampingku, dan mendengar kata maafku.
Di saat aku masih terbelenggu dalam pilu, tiba-tiba ada yang menarik tubuhku dengan kuat. Belum sempat aku melihat siapa gerangan, tubuhku sudah didorong dengan kasar. Aku kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya aku terjerembab di lantai.
"Dasar anak durhaka! Tidak tahu diri! Gara-gara kamu, jantung Ayah kambuh dan tidak tertolong! Kamu sudah membunuh Ayah, Kirana! Kamu durhaka!" Mas Bayu mengumpatku dengan kasar.
"Maafkan aku, Mas," bisikku dengan sesenggukan.
"Aku tidak butuh kata maafmu! Dasar anak tidak tahu terima kasih!"
Mas Bayu kembali membentak, dan kali ini sambil melayangkan tamparan keras di pipiku. Rasa sakit dan panas mulai menjalar, namun aku tak punya keberanian untuk melawan. Dalam hal ini, aku memang salah.
"Bayu, hentikan! Sadar Nak, dia itu adikmu!" Ibu berteriak sambil membimbingku beranjak.
Aku terus menunduk, menyembunyikan wajah di balik rambut yang berantakan.
"Dia sudah membunuh ayahku, Bu. Dia menjadi duri dalam keluarga kita," jawab Mas Bayu masih dengan intonasi tinggi.
"Ini sudah takdir, ini sudah digariskan oleh Allah, Nak." Ibu berkata sembari merangkul tubuhku.
"Jika dia tidak hamil, Ayah tidak akan kecewa. Ayah tidak akan kaget, dan jantungnya tidak akan kambuh. Ayah pasti masih hidup, Bu! Ayah dan Ibu sudah mengasuhnya, membiayai kebutuhannya seperti anak sendiri. Tapi apa balasannya! Dia menganggap kerja keras kalian sekedar mainan. Jangan paksa aku untuk mengakui dia, Bu. Dia bukan adikku!"
Aku terkesiap mendengar perkataan Mas Bayu. Seperti ini anak sendiri, apa maksudnya? Apakah ada rahasia keluarga yang tidak kuketahui?
"Mas, tenang. Redam amarahmu, kamu tidak malu menjadi tontonan orang," ucap Mbak Diana, istri Mas Bayu.
"Ayo kita masuk, Nak." Ibu mengeratkan rangkulannya, dan membawaku masuk ke kamar. Dalam dekapan Ibu, masih kudengar samar-samar teriakan dan umpatan kasar dari Mas Bayu.
Ibu membantuku duduk di tepi ranjang, lantas beliau mengambil sebotol air dan menuangnya ke dalam gelas.
"Minumlah!" kata Ibu.
"Tidak." Aku menggeleng.
"Sedikit saja, agar pikiranmu lebih tenang," ucap Ibu.
Tak ingin mengecewakan Ibu, akhirnya kuraih gelas itu dan kuteguk isinya. Meskipun rasanya sangat hambar dan tidak nyaman, namun air itu kutelan hingga tandas.
Ibu mengambil gelas kosong di tanganku, dan meletakkannya di atas meja. Kutilik setiap gerak-geriknya, dan hatiku kian tersayat kala melihat sepasang netranya tak berhenti mengerjap. Demi aku, Ibu berusaha terlihat tegar. Begitu besar pengorbanan orang tuaku, tetapi aku malah membalasnya dengan luka. Entah bagaimana caraku memperbaiki keadaan, semuanya sudah hancur dan berserakan.
"Ibu," panggilku, ketika suasana kembali hening.
"Iya, Nak."
"Apa ... apa maksud Mas Bayu?" tanyaku pelan.
"Tidak ada maksud apa-apa, Nak. Mas-mu hanya terbawa emosi sesaat, jangan terlalu dipikirkan, ya." Ibu mengusap rambutku dengan lembut.
Dalam hati, aku meragukan ucapan Ibu. Kendati bibirnya mengulas senyum, namun sorot matanya menyiratkan tatapan lain. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, Ibu sudah beranjak dan bersiap pergi.
"Tenangkan dirimu, Kirana. Jangan berpikir yang tidak-tidak." Ibu berucap sambil melangkah meninggalkan aku. Ibu terus berjalan, meskipun aku memanggilnya berkali-kali.
"Apa yang disembunyikan Ibu," ucapku dalam hati.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Musniwati Elikibasmahulette
pihak kampus sangat teledor
2023-08-05
1
Dewi Sariyanti
Kirana.... kirana..... aq jg gemes pengen marah2 ma kamu rasanya..... 😅
2022-10-27
1
fanthaliyya
tambah nyesek
kenyataan pahit
tambah berdosa sm ibu 🙏🙏
2022-10-15
0