8 Dewi Bunga Sanggana
*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Ningsih Dirama begitu gembira memanjat pohon jambu air yang buahnya begitu melimpah dan warnanya merah-merah menggiurkan. Sedemikian banyaknya, dahan-dahannya sampai merunduk mendekati tanah.
Namun kemudian, gadis berbibir merah itu bingung harus menaruh di mana jambu-jambu yang sudah dipetiknya. Ia lupa membawa keranjang atau wadah.
Kebingungannya tidak berlangsung lama, karena ada sebuah keranjang bambu yang menggantung di sebuah dahan, agak jauh dari jangkauan tangannya.
Ningsih bergerak bergeser mencoba menjangkau keranjang tersebut. Namun, kakinya sudah berada di dahan yang kecil. Ada rasa takut jatuh yang muncul. Ningsih terus memaksakan mengulurkan tangannya.
“Dapat!” ucap Ningsih senang.
Krak! Bugk!
Tiba-tiba dahan yang Ningsih pijak patah. Tak ayal lagi, tubuh gadis cantik jelita itu langsung jatuh. Ketika tubuh Ningsih menghantam tanah, bumi serasa beguncang dan buah-buah jambu jatuh beramai-ramai.
Anehnya, buah-buah itu semuahnya jatuh menimpa dan kemudian menumpuk di tubuh Ningsih, bahkan nyaris mengubur tubuh gadis berpakaian hijau muda itu.
Cprak cprak cprak…!
Ningsih berusaha bangun, tetapi tiba-tiba buah-buah jambu itu pada membelah diri. Dan yang mengejutkan, dari dalam belahan-belahan jambu itu berkeluaran potongan tangan-tangan kecil yang kemudian berjalan dengan jari-jarinya. Begitu ramai.
“A… apa…? Aaa…!” kejut Ningsih ketakutan, lalu menjerit panjang.
Brak brak brak!
“Nduk! Ada apa, Nduk!” teriak satu suara wanita dewasa sambil menggebrak-gebrak pintu kamar. Hal itu terjadi setelah Ningsih berteriak berkepanjangan.
Brak! Brak!
“Ningsih! Buka pintunya!” teriak satu suara lelaki dengan keras. Ia mengetuk pintu kamar lebih keras dari istrinya.
“Hah hah hah!”
Ningsih terbangun dengan terengah-engah, seolah-olah usai berlari jauh. Suara ketukan pintu yang keras dan cepat, serta suara panggilan yang kencang, membuatnya terbangun.
“Ningsih, apa yang terjadi?!” teriak lelaki di balik pintu.
“Iya, Bopo!” sahut Ningsih kencang.
Buru-buru Ningsi merapikan pakaian tidurnya. Tampak wajah putihnya terlihat pucat dan berkeringat halus. Dengan jantung yang berdebar-debar, ia segera berlari kecil menuju pintu. Ia cabut pasak kayu yang mengunci pintu berdaun dua itu.
Maka tampaklah wajah kedua orangtuanya oleh temaram penerangan dian kamar. Wajah Rumih Riya tampak cemas. Wanita berusia lima puluh tahun itu begitu mengkhawatirkan putri nomor duanya tersebut, terlebih pada hari-hari menjelang kedatangan Prabu Raga Sata.
“Apa yang terjadi, Nduk?” tanya Rumih Riya cepat.
“Kau bermimpi buruk, Nduk?” terka lelaki bertubuh gagah yang usianya lebih tua dari Rumih Riya. Lelaki berkumis itu adalah ayah Ningsih Dirama, yaitu Adipati Yono Sumoto.
“Iya, Bopo,” jawab Ningsih.
“Kau sampai berkeringat seperti ini,” ucap Rumih Riya sambil menyeka wajah Ningsih dengan ujung kainnya. “Mudah-mudahan bukan pertanda buruk, Nduk.”
“Mbok jangan menakuti aku,” ucap gadis berbibir merah alami tersebut.
“Marti! Buatkan wedang hangat untuk Ningsih!” perintah Rumih Riya kepada seorang abdinya yang berdiri agak jauh di belakang.
“Baik, Ndoro,” sahut wanita gemuk yang hanya berpinjung setengah dada itu. Ia segera berbalik pergi ke dapur.
“Ada apa, Bopo?” tanya seorang perempuan muda dan cantik yang muncul dari sisi lain. Ia berambut panjang sepunggung tapi ikal. Ia mengenakan pakaian warna putih. Cahaya dian cukup untuk menunjukkan kecantikannya. Wajahnya mirip dengan Ningsih Dirama, tetapi ia tidak berbibir merah. Ia bernama Surina Asih, kakak Ningsih dengan usia lebih tua tiga tahun.
“Adikmu mimpi buruk,” jawab Adipati Yono Sumoto.
“Oh. Hati-hati, Ningsih. Kalau mimpi buruknya sangat serius, biasanya pertanda tidak bagus,” kata Surina kepada adiknya. Setelah berkata, ia lalu berbalik pergi untuk kembali ke kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamar adiknya.
“Sudah, biar Mbok temani tidur,” kata Rumih Riya sambil mengajak putrinya kembali masuk ke dalam kamar. Lalu katanya kepada suaminya, “Kang Mas, alangkah baiknya jika besok pagi memanggil Ki Uyeng Dewo buat jaga diri.”
“Iya,” jawab Adipati Yono Sumoto. Ia lalu menutup pintu kamar putrinya dan kembali ke kamarnya.
Ningsih Dirama kemudian melanjutkan malamnya dengan tidur ditemani oleh sang ibu.
Namun, tanpa Ningsih ketahui terjadi sesuatu pada kulit tubuh dan wajahnya.
Hingga pagi menjelang.
“Nduk! Nduk! Bangun!”
Rumih Riya yang bangun lebih dulu dari putrinya, tiba-tiba berteriak panik sambil mengguncang-guncang tubuh putrinya.
“Kang Maaas! Kang Mas Adipati!” teriaknya pula memanggil suaminya.
Kebisingan yang ditimbulkan oleh ibunya membuat Ningsih Dirama terbangun dengan mengerenyitkan wajah.
“Ada apa, Mbok? Kenapa panik sekali?” tanya Ningsih heran lalu melihat ke sekitar yang tampak baik-baik saja.
“Wajahmu, Nduk!” jawab Rumih dengan menjerit histeris.
Ningsih mengerutkan kening. Dengan ragu-ragu dan takut-takut karena melihat reaksi ibunya, ia menyentuhkan tangan kanannya ke wajahnya.
Saat jari-jari lentik itu menyentuh kulit wajahnya, mendelik terkejutlah Ningsih. Ia merasakan ada benjolan-benjolan kecil pada wajahnya. Tangan kirinya juga cepat menyentuh wajahnya, maka semakin ramai benjolan kecil yang dirasakannya.
“Hah! Apa yang terjadi, Mbok?!” tanya Ningsih agak histeris.
Ia cepat melihat kepada kedua punggung tangannya. Dilihatnya juga ada benjolan-benjolan kecil pada kulit kedua tangannya, seperti terkena penyakit cacar. Namun, benjolan-benjolan berisi cairan itu warnanya agak kehijau-hijauan.
Ningsih bahkan cepat membuka baju luarnya untuk melihat keadaan kulit tubuhnya. Ternyata, semua anggota tubuh ditumbuhi benjolan-benjolan kecil.
“Ada apa lagi?” tanya Adipati Yono Sumoto yang muncul membuka pintu kamar itu.
Di belakang Adipati ada Surina Asih. Keduanya terkejut melihat kondisi Ningsih yang menjadi buruk rupa karena wajahnya nyaris dipenuhi benjolan-benjolan kecil.
“Apa yang terjadi, Bopooo! Hiks hiks hiks!” ratap Ningsih Dirama sambil menangis.
“Ini pasti guna-guna orang jahat, Kang Mas!” kata Rumih Riya, ia juga menangis meratapi kondisi putri kesayangannya.
“Surina, cepat suruh Kalang So memanggil Ki Uyeng Dewo!” perintah Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo,” jawab Surina Asih. Ia segera pergi meninggalkan kamar yang kini dipenuhi oleh suara tangis.
Para abdi keluarga Adipati segera berdatangan karena mendengar suara ramai tersebut.
“Tutup pintunya, Bopo! Tutup pintunya!” teriak Ningsih Dirama ketika melihat kemunculan para pembantu di luar pintu kamar. Ia sangat malu terlihat dalam kondisi seperti itu.
Adipati Yono Sumoto segera menutup pintu kamar.
“Ak!” jerit Ningsih Dirama tertahan, saat tanpa sengaja kukunya memecahkan satu benjolan di lehernya. Ia meringis sambil menyentuh benjolan yang pecah dengan ujung jarinya.
Ada cairan yang dirasakan dan melekat pada jarinya. Ada pula bau busuk dari cairan itu, tercium meski tidak didekatkan ke hidung.
Hal itu membuat Adipati Yono Sumoto dan istrinya semakin khawatir. Sebab, agenda yang tinggal dua hari lagi akan berantakan jika kondisi Ningsih Dirama seperti ini.
Menurut kabar yang mereka terima dari utusan Kerajaan Siluman beberapa hari lalu, Prabu Raga Sata akan datang langsung menjemput Ningsih yang akan dijadikan sebagai selir.
“Bagaimana ini, Kang Mas?” tanya Rumih Riya.
“Aku juga belum bisa memikirkan apa-apa. Tapi, jika ini adalah guna-guna, cara satu-satunya adalah menemukan siapa orang yang ingin menghancurkan keluarga kita,” kata Adipati Yono Sumoto.
“Apakah seharusnya kita minta bantuan Putri Bibir Merah?” usul Rumih Riya.
“Tidak akan pernah!” tandas Adipati Yono Sumoto. “Putri Bibir Merah sangat membenciku. Apalagi jika dia tahu bahwa aku menjodohkan Ningsih dengan Prabu Raga Sata untuk kedudukan selir.”
“Berarti kita hanya bisa berharap kepada Ki Uyeng Dewo,” kata Rumih Riya sedih.
Sementara Ningsih Dirama terus menangis mendapati kenyataan itu.
Ketika pagi mulai naik, barulah orang yang bernama Ki Uyeng Dewo datang. Ia adalah seorang lelaki tua agak pendek dengan jubah hitam terlihat kebesaran, ujung jubahnya sampai menyentuh lantai. Setiap kegiatan pengobatannya, Ki Uyeng selalu membawa sebuah keranjang bambu yang digendong di punggung. Keranjang itu tempat ia menyimpan berbagai macam bahan obat dan perlengkapan medisnya. Tidak hanya pakar di bidang medis, dia juga pakar di bidang supranatural.
“Ini bukan penyakit biasa, Gusti. Ini penyakit dari setan atas perintah seseorang,” kata Ki Uyeng Dewo setelah memeriksa kondisi fisik Ningsih Dirama dan kegaiban yang ada di sekitarnya.
Terkejutlah Ningsih Dirama dan kedua orangtuanya mendengar hal itu.
“Kurang ajar! Beraninya orang itu berurusan dengan Adipati Yono Sumoto!” geram Adipati Yono Sumoto marah.
“Apakah bisa disembuhkan, Ki?” tanya Rumih Riya.
“Aku belum bisa memastikan. Akan tetapi, akan aku coba lebih dulu, sebab ini adalah teluh yang kuat,” kata tabib berambut putih itu.
Sementara di luar, apa yang menimpa Ningsi kini menjadi pembicaraan bisik-bisik para abdi, yang kemudian ada saja yang bocor ke luar kediaman Adipati. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana".
Bantu dengan like dan komenmu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
belakang punggung nya bolong gak om, kalo bolong takutnya yg suka bikin bokir lari terkencing kencing kalo ketemu 😂😂🏃♀️🏃♀️🏃♀️
2024-06-01
1
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
kalo menutup semua dada sampe atas bukan Pinjung namanya om tapi Daster, 100 ribu dapet tiga 🤣🤣
2024-06-01
1
🐼𝓐𝓡 -𝓡𝓾𝓶𝓲
waah.. si mbok nya Joko Tenang, waktu masih gadis suka manjat manjat juga toh 😂
2024-06-01
1