*Bibir Merah Pendekar (BMP)*
Ketika Prabu Dira Pratakarsa Diwana alias Joko Tenang berjalan di antara langkah-langkah anggun ketujuh istrinya yang cantik-cantik, yang harum-harum memberi kenyamanan, tampak Sandaria berjalan dengan wajah asam di sisi belakang Joko Tenang. Sementara puluhan dayang istana berbaris berjalan di belakang.
Permaisuri yang berjalan di kedua sisi Prabu Dira adalah Ratu Getara Cinta dan Yuo Kai. Ratu Getara Cinta lalu berbisik sesuatu kepada Prabu Dira.
“Sandaria Sayang!” panggil Prabu Dira setelah mendapat bisikan dari Ratu Getara Cinta.
“Ya!” sahut Sandaria terdengar malas.
Prabu Dira berbicara tanpa memandang kepada Sandaria, “Aku dengar kau sangat terampil menaklukkan Pangeran Kubur tanpa pertarungan. Benar?”
“Emm….” Dengung Sandaria.
“Eh, coba maju sini, ceritakan kepada pemuda berbibir merah ini!” kata Prabu Dira sambil berhenti melangkah sejenak dan meraih tangan Sandaria agar maju dan berjalan di sisinya.
Ratu Getara Cinta sengaja bergeser untuk memberi ruang kepada Permaisuri Serigala itu.
Belum lagi Sandaria yang merengut itu berbicara, Joko Tenang sudah lebih dulu mendahuluinya.
“Eh, aku baru sadar,” kata Prabu Dira. “Pantasan tadi itu ada yang mengganjal saat memandangmu, Sandaria. Aku bertanya-tanya, kenapa hari ini Sandaria lebih cantik dari hari-hari yang lalu, oh ternyata karena rambutnya dikepang ramai-ramai.”
“Hihihi!” Sandaria berubah tertawa dengan wajah menunduk malu sambil mengerutkan hidung mungilnya. Namun, ia tidak berkomentar.
Sebelumnya Ratu Getara berbisik kepada suaminya agar mengomentari gaya rambut terbaru Sandaria.
“Hihihi!” tertawa rendahlah para permaisuri yang lain.
“Sepertinya kita juga perlu berkepang, Tirana,” celetuk Kerling Sukma.
“Benar. Ginari juga nanti akan aku kepang cantik,” sahut Tirana meladeni godaan Kerling Sukma terhadap Sandaria.
“Tidak masalah. Tapi kalian tidak akan mengalahkan kecantikan kepangan buatan Kakak Ratu!” sahut Sandaria seraya tersenyum jumawa.
“Hihihi!” tertawalah Ratu Getara Cinta dan permaisuri lainnya.
“Hahaha!” Prabu Dira pun tertawa rendah.
Akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan yang berhawa sejuk. Ruangan besar itu memiliki sejumlah aliran air jernih yang bermuara pada kolam-kolam kecil. Kolam-kolam itu dihuni oleh ikan-ikan kecil tetapi memiliki kecantikan karena warnanya yang beragam. Di pinggir setiap kolam kecil didesain memiliki satu kursi besar yang bertilam, sehingga kursi itu bisa dipakai duduk atau bertelekan. Jumlahnya ada sembilan kursi, dengan satu kursi yang berpenampilan lebih mewah dan besar. Semuanya terbuat dari kayu hitam yang keras dan kuat. Di setiap sisi kursi ada meja kayu kecil. Di atasnya sudah tersedia minuman dan beberapa jenis buah di atas keranjang. Kursi itu berformasi melingkar dan saling berhadapan secara umum.
Sesekali ada suara burung berkicau terdengar. Di salah satu sudut ruangan, agak jauh dari formasi kursi, ada sebuah sangkar burung yang cukup besar dengan sebuah pohon kecil tumbuh di sana. Sangkar besar itu dipagari tertutup secara penuh dengan jaring kawat. Meski tiga burung di dalamnya bisa bebas melompat ke sana dan ke sini, tetapi mereka tidak bisa terbang bebas.
Uniknya, meski ruangan itu posisinya ada di tengah-tengah bangunan Istana, tetapi ada angin alam yang bebas masuk, memberi kesejukan seperti berada di alam terbuka. Hal itu bisa terjadi karena arsitek mendesain istana itu memiliki lubang angin yang besar. Angin bersumber dari semua arah dinding luar istana. jadi, ke arah manapun angin bertiup, dia bisa menyuplai angin alam ke dalam ruang-ruang di dalam Istana.
Prabu Dira sudah duduk santai di singgasananya, di kursi yang paling besar dan mewah. Kedelapan wanita yang dicintainya sudah duduk semua di kursi masing-masing. Ada satu kursi yang kosong, karena Ginari duduk satu kursi bersama Tirana. Kursi itu cukup untuk diduduki oleh dua orang.
Sementara para dayang berdiri di belakang kursi setiap permaisuri. Di belakang kursi Yuo Kai berdiri keempat abdinya.
Tanpa mengucapkan mukadimah atau salam pembuka lebih dahulu, Prabu Dira memulai obrolan dengan para permaisuri.
“Jadi kalian sudah bertemu langsung dengan Permaisuri Pertama, Permaisuri Yuo Kai, seorang putri pewaris tahta ayahnya, tetapi justru aku bawa untuk beradu kasih dengan kalian semua. Yuo Kai memiliki karakter pecemburu, semoga dengan kedekatannya bersama kalian dan kasih sayang dari Permaisuri Nara dan Ratu, jiwa cemburunya bisa melunak,” ujar Prabu Dira memperkenalkan Permaisuri Pertama.
Permaisuri Yuo Kai hanya diam, duduk anggun dengan karismanya.
“Permaisuri Yuo Kai membawa dua orang pengawal pribadinya, yaitu Bo Fei….”
Ketika namanya disebut oleh Prabu Dira, Bo Fei memberi penghormatan kepada semua permaisuri dengang menempelkan tinju kanannya ke telapak kiri, seraya sedikit membungkuk.
“Dan Chang Chi Men yang berjuluk Dewi Selendang Maut….”
Chi Men pun menghormat sama seperti yang dilakukan oleh Bo Fei. Chi Men adalah seorang wanita separuh baya berkulit putih besih dalam balutan hanfu berwarna hitam. Pakaiannya bersabuk warna kuning.
“Kedua pelayan setianya bernama Mai Cui dan Yi Liun….”
Mai Cui dan Yi Liun adalah dua gadis berperawakan kurus, tetapi keduanya terhitung cantik dengan kulit putih bersih dan sanggul yang cantik, sanggul yang sulit ditemukan di Tanah Jawi. Keduanya menghormat dengan cara menekuk sedikit lututnya sehingga tubuhnya sempat turun dan wajahnya menunduk hormat.
“Aku minta maaf kepada kalian semua, para permaisuriku, karena aku telat pulang. Dalam perjalanan ketika melalui lautan sebuah negeri, kami terhadang oleh badai dan Gimba terkena petir,” ujar Prabu Dira.
Mendengar hal itu, semua permaisuri, kecuali Nara dan Yuo Kai, terkejut.
“Kami jatuh, tapi selamat. Gimba terpaksa meminta tolong kepada Resi Putih Jiwa pemilik Alam Kahyangan untuk membawanya pulang dan mengobatinya di sana. Jadi aku dan Permaisuri Pertama terdampar beberapa hari di Negeri Burma. Kami sempat melanjutkan perjalanan dengan kapal perahu, sampai akhirnya Gimba kembali datang menjemput kami,” tutur Prabu Dira.
“Kami hanya sempat cemas karena Kakang Prabu tidak pulang sesuai perhitungan,” kata Ratu Getara Cinta.
“Bukankah Kakang Prabu masih membawa satu orang yang belum Kakang Prabu perkenalkan?” tanya Permaisuri Nara.
Pertanyaan itu seketika menarik perhatian semua mata kepada Permaisuri Mata Hati. Sebab, mereka semua tidak melihat orang asing lainnya selain yang telah diperkenalkan oleh suami mereka.
“Siapa yang Permaisuri Nara maksud?” tanya Prabu Dira. Ia benar-benar tidak tahu siapa orang yang dimaksud oleh wanita sakti itu. Namun, jika Nara merasakan keberadaan seseorang yang tidak terlihat oleh orang lain, itu pasti benar adanya.
“Wanita berambut kuning sebetis yang ada di dalam tubuh Kakang Prabu,” jawab Permaisuri Nara.
Terkejutlah semua mendengar pengungkapan Nara, terutama Prabu Dira dan Yuo Kai.
“Yang aku tahu hanyalah Pedang Singa Suci yang bersemayam di dalam tubuhku,” kata Prabu Dira.
“Itu memang pedang sakti, tetapi hakikatnya dia adalah seorang wanita cantik berusia ratusan tahun, lebih tua dariku. Tapi dia bukanlah manusia seperti kita,” jelas Nara. “Aku tidak tahu seperti apa wanita itu berbicara kepada Kakang Prabu.”
“Sudah dua kali dia datang melalui mimpi,” kata Prabu Dira.
“Apakah dia juga minta dijadikan istri?” tanya Yuo Kai yang sudah curiga sejak kejadian di gua Gunung Paw Paw.
“Belum,” jawab Prabu Dira.
“Jika belum, berarti ada kemungkinan iya,” kata Kerling Sukma menyahut.
Semua menatap tanpa berkedip kepada Prabu Dira, seolah meminta kejelasan.
“Hahaha! Aku belum begitu tahu tentang pedang di dalam tubuhku, termasuk tidak mengenal wanita itu. Kami belum pernah berbicara dan saling tanya. Nanti jika aku bermimpi lagi bertemu dengannya, aku akan berkenalan,” kata Prabu Dira seraya tersenyum, ia merasa tersudut.
“Berarti Kakang Prabu sudah memiliki sebuan senjata pusaka?” tanya Tirana.
“Aku tidak berniat memiliki, tetapi pedang ini yang memilih bersemayam di dalam tubuhku,” jawab Prabu Dira.
“Aku jadi penasaran ingin melihat pedang itu,” kata Kusuma Dewi pula.
“Bentuknya seperti pedang buntung. Tetapi pedang ini tidak boleh dipegang oleh orang lain, dia akan membunuh siapa orang yang memegangnya jika tidak dikehendakinya,” kata Prabu Dira. Ia kemudian beralih topik pembahasan. “Untuk laporan-laporan perkembangan Kerajaan lebih baik disampaikan besok pagi dalam sidang. Saat ini aku hanya ingin menyampaikan bahwa dua hari lagi aku akan berangkat ke Kerajaan Siluman untuk memenuhi janjiku kepada Putri Sri Rahayu. Aku akan membawa serta Permaisuri Tirana.”
“Kau harus hati-hati, Kakang. Raja Kerajaan Siluman atau ayah dari Putri Sri Rahayu adalah dedengkot aliran hitam. Selain sakti, dia juga jahat dan licik,” kata Nara.
Terkejutlah para permaisuri yang lain mendengar status ayah dari Putri Sri Rahayu atau Bidadari Asap Racun.
“Apakah Putri Sri juga jahat seperti ayahnya?” tanya Sandaria.
“Tidak, Putri Sri Rahayu adalah orang yang baik. Tidak selalu buah itu jatuh di dekat pohonnya, terkadang dia jatuh jauh dari pohonnya karena pohonnya tumbuh di atas bukit yang miring,” jawab Tirana.
Pengistilahan Tirana membuat yang lainnya jadi tersenyum.
“Setelah aku berhasil mendapatkan Putri Sri Rahayu, aku tinggal menunggu satu calon istri lagi yang ada di Jurang Lolongan. Itu yang selain Ginari,” kata Prabu Dira. “Oh ya, karena aku akan pergi bersama Permaisuri Tirana, jadi pada dua malam berikutnya aku akan menghabiskan istirahatku bersama Ratu lalu Permaisuri Mata Hijau.”
Pengumuman tentang bagi jatah ranjang itu tidak ada yang merasa keberatan.
“Tapi, siapa yang akan mengurus Ginari di saat aku pergi bersama Kakang Prabu?” tanya Tirana.
“Aku!” teriak Sandaria cepat sambil angkat tinggi tongkat birunya.
“Baik,” kata Tirana.
“Oh iya, Kakang Prabu. Besok, setiap permaisuri akan memiliki pengawal dari Pasukan Pengawal Bunga. Jadi, Kakang Prabu juga harus memiliki seorang pengawal untuk menemani ke mana pun Kakang Prabu pergi. Kami sudah menunjuk seorang pendekar untuk menjadi pengawal Kakang Prabu,” ujar Ratu Getara Cinta.
“Siapa?” tanya Prabu Dira.
“Pengawal Gusti Prabu, masuklah!” seru Kusuma Dewi sambil memandang ke arah pintu masuk.
Semua mata pun terarah ke pintu ruangan yang dijaga oleh dua orang prajurit.
Dari balik dinding muncul seorang pemuda yang cukup tampan berambut gondrong. Ia berikat kepala biru terang dan mengenakan pakaian warna biru gelap. Ia membawa sebuah tongkat besi berwarna biru gelap pula yang tersandang di punggungnya. Ada tempat khusus untuk tongkat di punggung pemuda itu. Namun, ada kekurangan pada fisiknya, yaitu dia tidak memiliki tangan kiri.
Prabu Dira agak mengerutkan kening ketika melihat pemuda yang lebih tua darinya itu. Sementara si pemuda tersenyum ketika Prabu Dira memandangnya.
“Parsuto?!” teriak Prabu Dira terkejut, tetapi tersenyum lebar hendak tertawa.
“Parsuto menjura hormat, Gusti Prabu!” ucap pemuda yang dikenali oleh Prabu Dira. Ia turun berlutut menjura hormat.
“Hahaha…!” tawa Prabu Dira sambil turun dari kursinya dan pergi membangunkan pemuda bernama Parsuto itu. Parsuto kemudian dipeluknya. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Budi Efendi
mantap
2023-01-29
0
Rohan
Siip
2021-11-18
1
ALan
keren om
2021-11-01
1