*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Ningsih Dirama begitu gembira memanjat pohon jambu air yang buahnya begitu melimpah dan warnanya merah-merah menggiurkan. Sedemikian banyaknya, dahan-dahannya sampai merunduk mendekati tanah.
Namun kemudian, gadis berbibir merah itu bingung harus menaruh di mana jambu-jambu yang sudah dipetiknya. Ia lupa membawa keranjang atau wadah.
Kebingungannya tidak berlangsung lama, karena ada sebuah keranjang bambu yang menggantung di sebuah dahan, agak jauh dari jangkauan tangannya.
Ningsih bergerak bergeser mencoba menjangkau keranjang tersebut. Namun, kakinya sudah berada di dahan yang kecil. Ada rasa takut jatuh yang muncul. Ningsih terus memaksakan mengulurkan tangannya.
“Dapat!” ucap Ningsih senang.
Krak! Bugk!
Tiba-tiba dahan yang Ningsih pijak patah. Tak ayal lagi, tubuh gadis cantik jelita itu langsung jatuh. Ketika tubuh Ningsih menghantam tanah, bumi serasa beguncang dan buah-buah jambu jatuh beramai-ramai.
Anehnya, buah-buah itu semuahnya jatuh menimpa dan kemudian menumpuk di tubuh Ningsih, bahkan nyaris mengubur tubuh gadis berpakaian hijau muda itu.
Cprak cprak cprak…!
Ningsih berusaha bangun, tetapi tiba-tiba buah-buah jambu itu pada membelah diri. Dan yang mengejutkan, dari dalam belahan-belahan jambu itu berkeluaran potongan tangan-tangan kecil yang kemudian berjalan dengan jari-jarinya. Begitu ramai.
“A… apa…? Aaa…!” kejut Ningsih ketakutan, lalu menjerit panjang.
Brak brak brak!
“Nduk! Ada apa, Nduk!” teriak satu suara wanita dewasa sambil menggebrak-gebrak pintu kamar. Hal itu terjadi setelah Ningsih berteriak berkepanjangan.
Brak! Brak!
“Ningsih! Buka pintunya!” teriak satu suara lelaki dengan keras. Ia mengetuk pintu kamar lebih keras dari istrinya.
“Hah hah hah!”
Ningsih terbangun dengan terengah-engah, seolah-olah usai berlari jauh. Suara ketukan pintu yang keras dan cepat, serta suara panggilan yang kencang, membuatnya terbangun.
“Ningsih, apa yang terjadi?!” teriak lelaki di balik pintu.
“Iya, Bopo!” sahut Ningsih kencang.
Buru-buru Ningsi merapikan pakaian tidurnya. Tampak wajah putihnya terlihat pucat dan berkeringat halus. Dengan jantung yang berdebar-debar, ia segera berlari kecil menuju pintu. Ia cabut pasak kayu yang mengunci pintu berdaun dua itu.
Maka tampaklah wajah kedua orangtuanya oleh temaram penerangan dian kamar. Wajah Rumih Riya tampak cemas. Wanita berusia lima puluh tahun itu begitu mengkhawatirkan putri nomor duanya tersebut, terlebih pada hari-hari menjelang kedatangan Prabu Raga Sata.
“Apa yang terjadi, Nduk?” tanya Rumih Riya cepat.
“Kau bermimpi buruk, Nduk?” terka lelaki bertubuh gagah yang usianya lebih tua dari Rumih Riya. Lelaki berkumis itu adalah ayah Ningsih Dirama, yaitu Adipati Yono Sumoto.
“Iya, Bopo,” jawab Ningsih.
“Kau sampai berkeringat seperti ini,” ucap Rumih Riya sambil menyeka wajah Ningsih dengan ujung kainnya. “Mudah-mudahan bukan pertanda buruk, Nduk.”
“Mbok jangan menakuti aku,” ucap gadis berbibir merah alami tersebut.
“Marti! Buatkan wedang hangat untuk Ningsih!” perintah Rumih Riya kepada seorang abdinya yang berdiri agak jauh di belakang.
“Baik, Ndoro,” sahut wanita gemuk yang hanya berpinjung setengah dada itu. Ia segera berbalik pergi ke dapur.
“Ada apa, Bopo?” tanya seorang perempuan muda dan cantik yang muncul dari sisi lain. Ia berambut panjang sepunggung tapi ikal. Ia mengenakan pakaian warna putih. Cahaya dian cukup untuk menunjukkan kecantikannya. Wajahnya mirip dengan Ningsih Dirama, tetapi ia tidak berbibir merah. Ia bernama Surina Asih, kakak Ningsih dengan usia lebih tua tiga tahun.
“Adikmu mimpi buruk,” jawab Adipati Yono Sumoto.
“Oh. Hati-hati, Ningsih. Kalau mimpi buruknya sangat serius, biasanya pertanda tidak bagus,” kata Surina kepada adiknya. Setelah berkata, ia lalu berbalik pergi untuk kembali ke kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamar adiknya.
“Sudah, biar Mbok temani tidur,” kata Rumih Riya sambil mengajak putrinya kembali masuk ke dalam kamar. Lalu katanya kepada suaminya, “Kang Mas, alangkah baiknya jika besok pagi memanggil Ki Uyeng Dewo buat jaga diri.”
“Iya,” jawab Adipati Yono Sumoto. Ia lalu menutup pintu kamar putrinya dan kembali ke kamarnya.
Ningsih Dirama kemudian melanjutkan malamnya dengan tidur ditemani oleh sang ibu.
Namun, tanpa Ningsih ketahui terjadi sesuatu pada kulit tubuh dan wajahnya.
Hingga pagi menjelang.
“Nduk! Nduk! Bangun!”
Rumih Riya yang bangun lebih dulu dari putrinya, tiba-tiba berteriak panik sambil mengguncang-guncang tubuh putrinya.
“Kang Maaas! Kang Mas Adipati!” teriaknya pula memanggil suaminya.
Kebisingan yang ditimbulkan oleh ibunya membuat Ningsih Dirama terbangun dengan mengerenyitkan wajah.
“Ada apa, Mbok? Kenapa panik sekali?” tanya Ningsih heran lalu melihat ke sekitar yang tampak baik-baik saja.
“Wajahmu, Nduk!” jawab Rumih dengan menjerit histeris.
Ningsih mengerutkan kening. Dengan ragu-ragu dan takut-takut karena melihat reaksi ibunya, ia menyentuhkan tangan kanannya ke wajahnya.
Saat jari-jari lentik itu menyentuh kulit wajahnya, mendelik terkejutlah Ningsih. Ia merasakan ada benjolan-benjolan kecil pada wajahnya. Tangan kirinya juga cepat menyentuh wajahnya, maka semakin ramai benjolan kecil yang dirasakannya.
“Hah! Apa yang terjadi, Mbok?!” tanya Ningsih agak histeris.
Ia cepat melihat kepada kedua punggung tangannya. Dilihatnya juga ada benjolan-benjolan kecil pada kulit kedua tangannya, seperti terkena penyakit cacar. Namun, benjolan-benjolan berisi cairan itu warnanya agak kehijau-hijauan.
Ningsih bahkan cepat membuka baju luarnya untuk melihat keadaan kulit tubuhnya. Ternyata, semua anggota tubuh ditumbuhi benjolan-benjolan kecil.
“Ada apa lagi?” tanya Adipati Yono Sumoto yang muncul membuka pintu kamar itu.
Di belakang Adipati ada Surina Asih. Keduanya terkejut melihat kondisi Ningsih yang menjadi buruk rupa karena wajahnya nyaris dipenuhi benjolan-benjolan kecil.
“Apa yang terjadi, Bopooo! Hiks hiks hiks!” ratap Ningsih Dirama sambil menangis.
“Ini pasti guna-guna orang jahat, Kang Mas!” kata Rumih Riya, ia juga menangis meratapi kondisi putri kesayangannya.
“Surina, cepat suruh Kalang So memanggil Ki Uyeng Dewo!” perintah Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo,” jawab Surina Asih. Ia segera pergi meninggalkan kamar yang kini dipenuhi oleh suara tangis.
Para abdi keluarga Adipati segera berdatangan karena mendengar suara ramai tersebut.
“Tutup pintunya, Bopo! Tutup pintunya!” teriak Ningsih Dirama ketika melihat kemunculan para pembantu di luar pintu kamar. Ia sangat malu terlihat dalam kondisi seperti itu.
Adipati Yono Sumoto segera menutup pintu kamar.
“Ak!” jerit Ningsih Dirama tertahan, saat tanpa sengaja kukunya memecahkan satu benjolan di lehernya. Ia meringis sambil menyentuh benjolan yang pecah dengan ujung jarinya.
Ada cairan yang dirasakan dan melekat pada jarinya. Ada pula bau busuk dari cairan itu, tercium meski tidak didekatkan ke hidung.
Hal itu membuat Adipati Yono Sumoto dan istrinya semakin khawatir. Sebab, agenda yang tinggal dua hari lagi akan berantakan jika kondisi Ningsih Dirama seperti ini.
Menurut kabar yang mereka terima dari utusan Kerajaan Siluman beberapa hari lalu, Prabu Raga Sata akan datang langsung menjemput Ningsih yang akan dijadikan sebagai selir.
“Bagaimana ini, Kang Mas?” tanya Rumih Riya.
“Aku juga belum bisa memikirkan apa-apa. Tapi, jika ini adalah guna-guna, cara satu-satunya adalah menemukan siapa orang yang ingin menghancurkan keluarga kita,” kata Adipati Yono Sumoto.
“Apakah seharusnya kita minta bantuan Putri Bibir Merah?” usul Rumih Riya.
“Tidak akan pernah!” tandas Adipati Yono Sumoto. “Putri Bibir Merah sangat membenciku. Apalagi jika dia tahu bahwa aku menjodohkan Ningsih dengan Prabu Raga Sata untuk kedudukan selir.”
“Berarti kita hanya bisa berharap kepada Ki Uyeng Dewo,” kata Rumih Riya sedih.
Sementara Ningsih Dirama terus menangis mendapati kenyataan itu.
Ketika pagi mulai naik, barulah orang yang bernama Ki Uyeng Dewo datang. Ia adalah seorang lelaki tua agak pendek dengan jubah hitam terlihat kebesaran, ujung jubahnya sampai menyentuh lantai. Setiap kegiatan pengobatannya, Ki Uyeng selalu membawa sebuah keranjang bambu yang digendong di punggung. Keranjang itu tempat ia menyimpan berbagai macam bahan obat dan perlengkapan medisnya. Tidak hanya pakar di bidang medis, dia juga pakar di bidang supranatural.
“Ini bukan penyakit biasa, Gusti. Ini penyakit dari setan atas perintah seseorang,” kata Ki Uyeng Dewo setelah memeriksa kondisi fisik Ningsih Dirama dan kegaiban yang ada di sekitarnya.
Terkejutlah Ningsih Dirama dan kedua orangtuanya mendengar hal itu.
“Kurang ajar! Beraninya orang itu berurusan dengan Adipati Yono Sumoto!” geram Adipati Yono Sumoto marah.
“Apakah bisa disembuhkan, Ki?” tanya Rumih Riya.
“Aku belum bisa memastikan. Akan tetapi, akan aku coba lebih dulu, sebab ini adalah teluh yang kuat,” kata tabib berambut putih itu.
Sementara di luar, apa yang menimpa Ningsi kini menjadi pembicaraan bisik-bisik para abdi, yang kemudian ada saja yang bocor ke luar kediaman Adipati. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana".
Bantu dengan like dan komenmu!
*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Di kamar itu, hanya ada Adipati Yono Sumoto, Rumih Riya, Ningsih Dirama, Surina Asih, dan Ki Uyeng Dewo. Para abdi yang dimiliki oleh keluarga Adipati tidak diizinkan berada di sekitar kamar.
Ningsih Dirama berbaring dalam kondisi hanya berpinjung kain batik, yang menutupi badan atas hingga dada dan badan bawah hingga lutut. Terlihat kulit yang awalnya putih indah lagi mulus, kini justru membuat merinding jika melihatnya, karena banyaknya bentolan-bentolan berair pada kulit wajah dan tubuh.
Kini, Ningsih Dirama hanya sesegukan menerima nasibnya.
Di lantai kamar, Ki Uyeng Dewo sedang duduk bersila dengan mata tertutup. Di depannya ada sebaskom air putih penuh taburan bunga berbagai jenis, termasuk wadah yang berisi arang membara yang ditaburi banyak kemenyan.
Kedua tangan Ki Uyeng Dewo diulurkan di atas baskom dan bergetar hebat. Tangan tua itu bersih dari perhiasan cincin. Sementara sepasang mata Ki Uyeng terpejam kusyuk dan mulutnya komat-kamit membaca mantera bahasa alam jin. Yang lainnya tidak mengerti apa pun yang diucapkan oleh Ki Uyeng Dewo.
Blep!
Dalam proses itu, tiba-tiba wadah arang mengeluarkan api sendiri dan menyala berkobar agak besar.
“Puh!” tiup Ki Uyeng ke arah baskom.
Cprak!
Setelah itu, tiba-tiba air di dalam baskom melompat naik ke udara. Sebelum air itu turun, Ki Uyeng mengibaskan tangan kanannya, membuat air terciprat banyak menyiram tubuh Ningsih Dirama di atas ranjang.
“Aaa…!” jerit Ningsih Dirama ketika air mengenai kulitnya.
Air di baskom itu memang bukan sekedar air, air itu sudah diberi garam yang banyak dan beberapa bahan milik Ki Uyeng yang tidak jelas namanya.
Rupanya jeritan Ningsih tidak berhenti, tetapi berkepanjangan. Ia merasakan perih yang terus menggigit. Hal itu membuat Adipati dan istrinya semakin cemas. Sementara Surina Asih hanya mengerenyit jijik melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba benjolan-benjolan kecil pada kulit Ningsih Dirama pada mengencang agak membesar. Lalu tidak lama kemudian, benjolan-benjolan itu pecah dengan sendirinya susul-menyusul, mengeluarkan cairan hijau yang berbau busuk.
“Apa?!” pekik Ki Uyeng Dewo terkejut dengan mata yang awalnya terpejam, jadi mendelik.
Ia terdiam sejenak seraya menatap tajam perubahan buruk yang terjadi pada tubuh Ningsih Dirama.
“Bopooo! Simboook! Sakiiit!” jerit Ningsih Dirama. Ia merasakan sakit pada setiap pecahnya satu benjolan.
Adipati Yono Simoto hanya bisa mengerenyit bingung harus berbuat apa. Meski ia orang yang berkesaktian, tetapi ia tidak tahu cara mengatasi perkara penyakit seperti itu. Rumih Riya sebagai seorang ibu pun bingung seraya menangis di tempatnya.
Brak!
Tiba-tiba kebingungan dan pemandangan yang menjijikkan pada tubuh Ningsih dikejutkan oleh gebrakan Ki Uyeng. Ia menggebrakkan kedua tangannya ke lantai dengan keras. Kedua tangannya lalu digerakkan sedemikian rupa, sehingga akhirnya kedua telapak tangan itu bersinar putih redup.
Dengan bergetar hebat, kedua tangan Ki Uyeng Dewo didorong ke arah tubuh Ningsih Dirama.
Wutt! Bdukk!
“Hukrr!”
Tiba-tiba, tubuh Ki Uyeng Dewo terlempar sendiri ke belakang dan menabrak dinding papan kamar. Ia jatuh dengan memuntahkan darah.
“Mohon ampun, Gusti! Aku tidak sanggup melawan kekuatan teluh jahat ini!” teriak Ki Uyeng Dewo sambil merendahkan dirinya ke lantai menghormat kepada Adipati Yono Sumoto. “Aku takut justru membahayakan nyawa putri Gusti.”
Adipati Yono Sumoto tidak langsung menanggapi Ki Uyeng Dewo. Ia menarik napas panjang dalam kebingungannya.
“Tapi, apakah kau tidak memiliki petunjuk jalan keluar tentang teluh ini?” tanya Adipati akhirnya.
“Maafkan aku, Gusti. Aku sungguh tidak tahu, terbukti kondisi putri Gusti justru semakin buruk,” jawab Ki Uyeng sambil tetap merunduk dalam mendekati lantai.
“Baiklah, Ki Uyeng. Aku hargai usahamu!” ucap Adipati Yono Sumoto.
“Aku pamit, Gusti,” ucap Ki Uyeng. Ia lalu bangkit sambil memegangi dadanya karena ia terluka dalam. Tidak lupa ia membawa keranjang bambunya.
“Hoekh!” Surina Asih menjadi mual karena bau busuk dari penyakit Ningsi sudah merebak tajam memenuhi ruangan kamar itu.
Adipati Yono Sumoto dan istrinya juga terpaksa menekan cuping hidungnya untuk menyumbat pernapasannya.
“Hoekh!” Ningsih Dirama muntah karena tidak tahan mencium bau busuk dari tubuhnya yang sudah penuh dilapisi cairan hijau. Demikian pulah wajahnya.
Ningsih Dirama yang cantik jelita kini benar-benar terlihat menyeramkan dan menjijikkan.
Ketika Ki Uyeng membuka pintu kamar, maka bau busuk itu seketika merebak keluar kamar. Surina Asih cepat mengikuti Ki Uyeng keluar dari kamar. Ia tidak sanggup jika harus bertahan di dalam.
“Bagaimana ini, Kang Mas? Huuu…!” tanya Rumih Riya sambil menangis tersedu-sedu. Ia menyenderkan kepalanya pada dada kekar suaminya.
“Lebih baik kita keluar dulu untuk memikirkan jalan keluarnya,” saran Adipati Yono Sumoto.
“Bopooo! Simboook!” sebut Ningsih meratap.
“Nduk, bersabarlah. Bopo dan ibumu keluar dulu untuk memikirkan cara menolongmu,” kata Adipati Yono Sumoto sambil menahan pernapasannya.
“Nduk, maafkan Simbok. Simbok mau menemanimu, tapi… hoekh!”
Rumih Riya akhirnya tidak bisa menahan bau busuk yang terhirup olehnya. Ia pun muntah tanpa ada yang keluar dari dalam mulutnya. Ia buru-buru berlari ke luar kamar.
“Mboook!” teriak Ningsih histeris, merasa sangat sedih karena ditinggalkan oleh ibunya, orang yang sangat dekat dengannya. Ia pun menangis terseduh-seduh.
Adipati Yono Sutomo menatap putrinya dengan tatapan sedih. Dalam dadanya bergolak menahan emosi. Tak terasa air matanya kemudian menetes.
“Maafkan Bopo, Nduk. Bopo akan segera menemukan orang yang bisa mengobatimu!” ucap Adipati Yono Sutomo.
“Bopooo, jangan tinggalkan Ningsih sendiri!” ratap Ningsih dengan suara yang melemah.
Dengan berat hati dan tega, akhirnya Adipati Yono Sumoto pergi ke luar kamar. Ia tutup pintu kamar dari luar.
Maka tinggallah Ningsih Dirama seorang diri meratapi nasibnya.
Di luar sana, Rumih Riya menangis berkepanjangan. Di sisinya duduk Surina Asih mencoba menenangkan.
Sementara itu, gosip beredar cepat di kalangan abdi, lalu merebak cepat ke warga Kadipaten Mendiko.
Tok tok tok!
Tiba-tiba Ningsih mendengar suara ketukan palu di balik pintu kamarnya. Hal itu membuat Ningsi menatap penuh tanda tanya ke arah pintu. Dalam kondisi menahan perih dan bau busuk pada tubuhnya, Ningsi bergerak bangun lalu segera berjalan sempoyongan menuju pintu kamar.
Tok tok tok!
Suara ketukan itu terus terdengar kencang.
Namun, ketika Ningsih hendak membuka pintu kamarnya, ternyata tidak bisa, ternyata pintu itu telah dikunci dari luar oleh abdi suruhan Adipati Yono Sumoto.
Bak bak bak!
“Bopooo!” teriak Ningsih panik sambil memukul-mukul pintu kamarnya.
“Hoekh!”
Tidak ada jawaban dari panggilan Ningsih, kecuali suara lelaki yang mual hendak muntah karena mencium bau busuk.
“Bopooo! Jangan kurung aku, Bopooo! Simboook, tolong akuuu!” teriak Ningsih histeris sambil menangis. Bahkan ia pun memanggil nama pelayannya, “Mbok Martiii!”
Bau busuk yang begitu tajam dari penyakit aneh yang diderita Ningsih Dirama, membuat Adipati mengambil keputusan tega, yaitu mengurung Ningsih untuk sementara, di saat ia belum menemukan cara. Ia tidak ingin Ningsih nekat keluar dan menciptakan kekacauan besar.
Saat itu saja, bau busuk dari tubuh Ningsih sudah tercium ke semua sudut rumah Adipati. Hal itu sangat mengganggu aktivitas di rumah besar tersebut. Para abdi pun tidak ada yang kuat untuk bekerja di dalam rumah.
Akhirnya, Adipati Yono Sumoto menggunakan rumah yang lain, yang ada beberapa tombak dari rumah utama, sebagai tempat berkumpul.
Hari itu juga, Adipati Yono Sumoto mengumpulkan keluarga besarnya yang tinggal di kediaman Adipati atau yang masih tinggal di kadipaten itu. Adipati meminta masukan-masukan dari keluarga besarnya.
Sementara besok lusa, Prabu Raga Sata akan datang untuk menjemput Ningsih Dirama. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
“Dalam waktu yang mendesak seperti ini, lebih baik Kang Mas Adipati membuat sayembara bagi Ningsih!”
“Jalan satu-satunya adalah menemukan siapa orang jahat yang telah meneluh Ningsih.”
“Bau busuknya sungguh luar biasa. Sehari dua hari tidak mungkin bisa hilang, atau bahkan bisa lebih buruk lagi. Daripada membuat malu dan merusak nama baik Adipati, bisa dipertimbangkan agar Ningsih diasingkan sementara di Hutan Angker.”
Itulah sejumlah masukan dari kerabat yang benar-benar dipertimbangkan oleh Adipati Yono Sumoto.
Karena kondisi Ningsih Dirama yang sangat mendesak, maka Adipati Yono Sumoto membuat sayembara seperti kisah-kisah dongeng zaman dahulu.
“Barangsiapa yang mampu menyembuhkan dan mengembalikan kondisi putri Adipati Yono Sumoto dari teluh jahat dalam dua hari, maka permintaannya akan dikabulkan!”
Demikian bunyi sayembara yang disebar secara manual, bukan digital. Juru sayembara memukul gong dan berteriak mengumumkan sayembara di berbagai tempat di Kadipaten Mendiko. Di pasar-pasar, di sawah-sawah, di jalan-jalan, hingga di tempat judi.
Maka hebohlah warga sekadipaten. Meski hadiah yang ditawarkan tidak disebutkan secara spesifik, tetapi iming-iming itu begitu menggiurkan, yang artinya, jika orang yang berhasil menyembuhkan putri Adipati minta seluruh harta, tentunya akan dikabulkan. Atau bahkan jika minta menikah dengan Ningsih Dirama, pasti akan dipenuhi.
Seluruh tabib dan dukun, dari yang punya hak paten atau sertifikasi kedukunan sampai yang abal-abal atau dukun kaleng-kaleng, berlomba-lomba mendaftar untuk mencoba menyembuhkan putri penguasa itu. Tidak sedikit pun pendekar lelaki yang ikut uji keberuntungan.
Ternyata prosesnya berlangsung cepat, sehingga tidak terjadi penumpukan peserta. Bagi tabib atau dukun yang langsung mual atau muntah, dianggap gugur. Banyak tabib dan dukun yang belum juga masuk ke kamar putri Adipati, langsung muntah karena begitu dahsyatnya bau busuk yang bersumber dari tubuh Ningsih Dirama.
Banyak pula tabib berkualitas yang lolos tantangan bau busuk. Namun, mereka gagal di tahap eksekusi. Teluh yang menimpa Ningsih Dirama bukan sekedar penyakit yang diberi begitu saja lalu ditinggal, tetapi penyakit yang diberi dan dijaga. Karenanya, setiap upaya pengobatannya, si tabib atau si dukun harus bertarung melawan kekuatan gaib yang melindungi penyakit aneh itu. Tidak jarang peserta harus keluar dari kamar dalam kondisi terluka dalam atau muntah darah.
Melihat para tabib dan dukun yang keluar dari dalam rumah dengan kondisi yang tidak baik-baik saja, Adipati Yono Sumoto dan para kerabatnya jadi bingung tidak habis pikir.
Sebagai usaha maksimal, Adipati juga berusaha mencari dalang jahat dari serangan teluh tersebut.
Sugeng Sukoso. Itulah nama yang muncul sebagai orang yang diduga kuat menjadi dalang jahat dari teluh. Nama itu pertama kali disebut oleh Surina Asih. Menurut Surina Asih, pemuda bernama Sugeng Sukoso selama ini jatuh cinta kepada Ningsih Dirama. Di masa lalu, ia beberapa kali terlihat mencoba mendekati Ningsih Dirama.
Dijodohkannya Ningsih kepada seorang raja tentunya membuat Sugeng Sukoso sakit hati. Kira-kira seperti itu analisanya.
Dengan bermodalkan data masa lalu itu, Adipati Yono Sumoto memerintahkan prajurit kekadipatenan menangkap Sugeng Sukoso.
Sugeng Sukoso yang adalah pemuda tampan peternak belut sawah, harus menerima kenahasan. Tanpa mengerti apa-apa tentang tragedi Ningsih Dirama, Sugeng ditangkap dan dihakimi. Segala pembelaannya tidak diindahkan.
Bukan lagi setengah mati Sugeng mencoba membela diri bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi sudah mati-matian ia berusaha meyakinkan orang-orang suruhan Adipati. Namun, Adipati Yono Sumoto yang sudah frustasi sudah gelap mata dan akal.
Sugeng disiksa agar mau mengaku. Namun, pada dasarnya bukan dialah pelakunya, sehingga tidak ada pengakuan apa pun yang diperoleh. Akhirnya Sugeng menyerah, tubuhnya sudah tidak sanggup menerima siksaan.
Tubuh Sugeng Sukoso yang penuh luka parah dan sudah tidak bergerak lagi, dibuang ke dalam sebuah sumur kering yang dalam.
Hingga dua hari kemudian, tidak ada hasil menggembirakan dari upaya yang dilakukan oleh Adipati Yono Sumoto. Semua tabib, dukun, hingga pendekar yang mengaku sakti, gagal total. Sementara itu, bau busuk pada penyakit Ningsih Dirama semakin menjadi-jadi. Para kerabat harus menggunakan kain menutupi hidung mereka, mencoba mengurangi bau busuk yang sudah tercium sampai ke luar rumah.
Pada akhirnya, Adipati Yono Sumoto menemui putrinya, Ningsih Dirama. Mau tidak mau, Adipati harus berbicara kepada putrinya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Sambil menggunakan kain sebagai masker antibau, ia berbicara dari luar jendela kamar, itupun pada jarak sejauh dua tombak. Sementara Ningsih berdiri di balik jendela kamarnya dengan wajah yang hancur, sudah tidak bisa dikenali lagi. Ia hanya terus menangis, tapi sudah tidak meraung-raung lagi.
Sementara anggota keluarga yang lain hanya bisa menyaksikan dari jauh pertemuan ayah dan anak itu.
“Maafkan Bopo, Nduk. Dengan sangat berat hati, Bopo harus mengatakan bahwa Bopo tidak bisa menolongmu lagi. Demi kebaikan kita semua, kau harus kami ungsikan ke Hutan Angker sampai kondisimu pulih!” ujar Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo,” ucap Ningsih Dirama sambil menangis.
Setelah melihat upaya banyak tabib dan dukun yang mencoba mengobatinya, Ningsih Dirama akhirnya hanya bisa berpasrah diri. Bahkan jika ia memang harus mati oleh penyakit itu, ia pun akan pasrah.
“Bersihkanlah dirimu dan gunakan pengharum sebanyak mungkin. Hari ini kau akan dibawa ke Hutan Angker!” perintah Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo!” ucap Ningsih Dirama patuh.
Sementara nun jauh di sana, sang ibu jatuh tidak sadarkan diri karena tidak kuat menahan sedih hatinya.
Setelah itu, Ningsih Dirama dikirimi segentong air wangi dan sejumlah minyak wangi nyong-nyong. Itu bertujuan untuk melawan bau busuk yang dimiliki olehnya.
Sebuah kereta kuda tertutup disiapkan. Kereta itu ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta kuda itu menebarkan aroma harum yang sangat tajam. Entah berapa liter pengharum yang dituang di kereta. Perbekalan pakaian dan makanan sudah disiapkan, termasuk senjata untuk membela diri dari ancaman hewan buas saat tinggal di hutan.
Dan pada akhirnya, tibalah waktunya.
Ningsih Dirama melangkah keluar dari rumah. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan kain berwarna merah. Wajahnya pun ia tutupi. Ia berjalan menunduk menuju kereta kuda yang sudah parkir.
Bau busuk dan wangi bertarung di udara, memberi nuansa yang tidak biasa. Namun, bau busuk masih lebih dominan. Meski demikian, setidaknya bau busuk bisa cukup berkurang karena mendapat tekanan dari berbagai macam aroma wewangian.
Melihat putrinya sudah masuk ke dalam bilik kereta kuda, Rumih Riya kembali jatuh pingssan. Sebagai seorang ibu, ia begitu berduka harus melihat putri kesayangannya pergi dalam kondisi mengenaskan dan ke tempat yang berbahaya pula.
Perjalanan ke Hutan Anker akan dikawal oleh enam prajurit berkuda pilihan. Sais pun adalah sais pilihan. Mereka berstatus pilihan karena kuat menahan bau busuk. Hidung mereka masing-masing ditutupi ikatan kain yang telah diberi minyak wangi yang menyengat.
Di saat itu pula, di tempat lain.
Seorang lelaki bertelanjang dada sedang berlari menyusuri jalan perkebunan di salah satu desa di Kadipaten Mendiko. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun itu tiba di sebuah rumah sederhana dari bambu. Rumah itu posisinya terpencil, tidak memiliki rumah tetangga yang lain selain hanya kebun-kebun.
Lelaki berkumis itu menaiki tangga bambu lalu mengetuk pintu yang tertutup.
Tidak ada tanggapan dari dalam rumah, tetapi terdengar derak lantai yang dipijak oleh langkah kaki. Pintu dibuka dari dalam.
“Naiklah, Jamiko!” perintah orang pembuka pintu sambil berbalik masuk lagi.
Lelaki tidak berbaju yang bernama Jamiko segera naik dan masuk ke dalam. Pintu ia tutup kembali.
Di dalam rumah. Jamiko duduk berhadapan dengan Ki Uyeng Dewo. Tampak orang tua itu baik-baik saja setelah dua hari lalu terluka dalam.
“Ningsih Dimara sudah diberangkatkan ke Hutan Angker, Ki,” lapor Jamiko.
“Baguslah. Artinya, ketika wanita malang itu sudah dilepas di hutan, tugas kita sudah selesai,” kata Ki Uyeng Dewo. “Nanti malam, sampaikan pesan ke Surina agar melunasi janji-janjinya!”
“Baik, Ki,” ucap Jamiko patuh.
“Kau boleh pulang. Nanti hadiah untukmu bisa kau minta setelah Surina melunasi utangnya,” kata Ki Uyeng.
“Baik, Ki. Aku permisi, Ki!” pamit Jamiko.
Jamiko lalu beranjak pergi, keluar lalu pergi meninggalkan rumah terpencil itu.
“Sudah selesai ya?” tanya satu suara perempuan dari ruangan dalam.
Sebelum Ki Uyeng Dewo menjawab, dari dalam berjalan muncul seorang wanita tua gemuk. Meski wajahnya berwarna oleh bedak dan gincu tebal, tetap saja ia terlihat tua karena warna rambutnya yang putih dan kulitnya yang kendor. Wanita berpakaian hijau gelap gombrong itu lalu duduk di hadapan Ki Uyeng Dewo.
“Aku sudah membantumu dengan mengirimkan Teluh Perusak Raga kepada anak Adipati itu. Hanya satu mintaku, jika suatu hari perkara ini bocor, jangan sekali pun kau menyebut namaku!” tandas si nenek.
“Hehehe! Kau tidak perlu khawatir, Gadis Teluh. Sebagai hadiah dariku, setiap bulan aku akan mengirim lelaki muda ke kediamanmu,” kata Ki Uyeng Dewo sambil terkekeh.
“Tapi jangan lelaki muda yang tidak bisa bergoyang!” sentak wanita tua yang disebut bernama Gadis Teluh, matanya menatap tajam kepada Ki Uyeng Dewo yang hanya terkekeh. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
Seasson "Cinta di Hutan Angker" adalah kisah ayah ibunya Joko Tenang. Harap bersabar menunggu satu seasson usai, baru kembali ke kisah perjalanan Joko Tenang dan Istri-istrinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!