*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
“Kau sudah sembuh, kau sudah cantik sekali, apakah kau tidak merindukan pulang?” tanya Anjas yang duduk di atas batu sambil memandangi Ningsih yang sedang mencuci baju di batu lain yang lebih rendah. Mereka dipisahkan oleh jarak kecil aliran air sungai di sela-sela batu.
Ningsih Dirama jadi menghentikan pekerjaan tangannya yang memukul-mukul kain baju dengan kayu. Ia memandangi wajah tampan yang terus memandanginya.
“Kau sudah tidak menginginkanku tinggal di sini?” tanya Ningsih dengan mimik sedih.
“Kalau kau tinggal di sini terus, aku akan sangat bahagia. Jadi aku punya pekerjaan baru,” kata Anjas sambil tersenyum lebar. Sepertinya ia benar-benar bahagia.
“Pekerjaan apa?” tanya Ningsih Dirama.
“Memandangi kecantikanmu,” jawab Anjas Perjana.
Ningsih sontak tersenyum lebar dan plus malu, ia tidak bisa berkomentar. Anjas hanya tertawa rendah.
“Jika aku pulang, mungkin aku akan diteluh lagi. Biarkan mereka menganggapku sudah mati. Aku bahagia di sini bersamamu dan Gurudi,” kata Ningsih Dirama setelah rasa bahagia dan malunya sudah reda.
“Tapi ada hal yang aku khawatirkan jika kau tinggal lama bersamaku di sini,” kata Anjas Perjana.
“Apa?” tanya Ningsih cepat, ada nada kekhawatiran dalam satu katanya.
“Jika kau tinggal lama di sini, aku akan menderita. Aku adalah seorang lelaki,” kata Anjas lalu berdiri dari berjongkoknya. Ia menatap ke arah lain.
Ningsih menunggu dengan sabar seraya menatap serius pemuda yang dicintainya diam-diam itu.
“Jika kau tinggal di sini terus, mau tidak mau aku akan selalu memandangi kecantikanmu. Tapi aku bingung, ketika nafsu lelakiku muncul karena memandangmu, aku bingung menyalurkannya. Dan itu membuatku menderita,” ujar Anjas tanpa memandang kepada Ningsih.
Ningsih mendelik dengan bibir merah yang sedikit menganga mendengar pengakuan Anjas Perjana. Itu ungakapan yang sangat tidak ia duga.
“Ka… kalau bagitu, salurkanlah!” ucap Ningsih kemudian, seraya menunduk malu.
“Maksudmu, Ningsih?” tanya Anjas agresif sambil beralih memandang serius kepada Ningsih yang menunduk. Ada rasa gembira yang seakan siap meluap bebas.
“Kita menikah,” jawab Ningsih lirih dan bertambah malu.
“Setuju! Hahaha!” teriak Anjas keras lalu melompat ke batu seberang dan memeluki Ningsih, membuat gadis itu kelabakan.
“Eh, apa yang kau lakukan, Anjas?!” jerit Ningsih kewalahan melayani pelukan kuat pemuda itu.
“Aku ingin menyalurkannya, aku ingin menyalurkannya!” kata Anjas penuh kegembiraan.
“Hah! Jangan! Kita belum menikah!” teriak Ningsih menjerit agak ketakutan.
“Hahaha! Aku hanya bercanda, Sayang,” ucap Anjas sambil tertawa dan berhenti mengerjai Ningsih. Ia bahkan sudah menyebut Ningsih “sayang”.
“Aku sangat mencintaimu, Anjas,” ucap Ningsih jadi ingin menangis, ia memeluk erat tubuh pemuda itu.
Anjas pun memberi pelukan yang hangat lalu mengecup kepala gadis itu.
Sebagai orang hutan yang bebas dan hanya ada mereka bertiga, Anjas Perjana memutuskan menikah sendiri dengan hanya disaksikan oleh Gurudi. Mereka membuat upacara pernikahan versi sendiri dan janji suci sendiri. Pokoknya setelah janji suci, menurut mereka pernikahan itu sudah sah, tidak ada urusan lagi dengan wali atau mahar. Yang penting sah.
Gurudi yang menjadi seksi sibuk. Dengan senang hati ia mengerjakan semua yang diatur oleh Anjas Perjana. Rumah bambu Anjas pun ia hias dengan berbagai macam bunga hutan yang warna-warni dan bebas gatal.
Dan akhirnya, Anjas Perjana dan Ningsih Dirama bersatu tubuh sebagai suami dan istri.
Selanjutnya, mereka melalui hari-hari sebagai pasangan suami istri yang penuh kebahagiaan. Hubungan mereka begitu harmonis penuh cinta. Kegiatan rumah tangga mereka lakoni dengan penuh kemesraan, pergi mandi berdua, mencuci pakaian berdua, memetik buah berdua, membelah kayu berdua, hingga ke kakus pun berdua.
Hutan itu menjadi rumah besar bagi Anjas Perjana dan Ningsih Dirama. Di saat tidak ada keberadaan Gurudi, ketika mereka ingin bergulat, di segala medan pun mereka lakoni.
Hari demi hari berlalu dan bulan demi bulan terlewati. Perut Ningsih Dirama membesar, bukan karena teluh, tetapi karena suntikan vaksinasi sang suami.
Kehamilan Ningsih memberikan kebahagiaan tambahan bagi pasangan itu. Gurudi pun semakin senang dan tambah rajin melayani majikan perempuannya. Ia begitu setia dan telaten sambil tertawa-tawa.
Pada masa kehamilah Ningsih, Anjas Perjana dan Gurudi beberapa kali melihat kedatangan sejumlah orang ke dalam hutan itu. Mereka tidak lain adalah Panglima Siluman Pedang dan para prajuritnya yang berseragam hijau gelap.
Anjas Perjana dan Gurudi tidak mengenal mereka. Anjas tidak mau ambil tahu apa kepentingan prajurit-prajurit kerajaan itu masuk ke hutan, yang jelas ia tidak mau kehidupan bahagianya diusik oleh urusan orang lain. Karenanya, Anjas melindungi kediamannya dengan perisai dan tabir gaib.
Meski Panglima Siluman Pedang orang yang berkesaktian tinggi, tetapi ia tidak bisa melihat keberadaan lingkungan kehidupan Anjas dan istrinya, padahal mereka lewat begitu dekat.
Panglima Siluman Setan berhasil menemukan sejumlah jejak sebagai bukti adanya manusia yang tinggal di hutan itu, tetapi tetap mereka tidak bisa menemukan keberadaan Ningsih Dirama yang mereka cari.
Mereka kemudian memutuskan pergi meninggalkan hutan, tetapi beberapa pekan kemudian mereka datang kembali melakukan pencarian. Hasilnya tetap sama. Tidak sekali dua kali mereka datang, tetapi sampai sepuluh kali.
Anjas Perjana tidak pernah menceritakan kepada Ningsih perihal kedatangan para prajurit itu ke dalam hutan, demikian pula Gurudi.
Hingga hari menegangkan pun tiba.
“Kakang Maaas! Sakiiit!” jerit Ningsih yang sedang berjuang untuk melahirkan bayi di dalam kandungannya.
“Tahan, Sayang! Semangat, semangat, semangat! Kau pasti bisa!” teriak Anjas penuh semangat campur panik, sambil memandangi lubang sarung yang dikenakan oleh istrinya.
“Heeek!” Ningsih mengeden keras mencoba mendorong bayinya agar menuju ke pintu keluar.
“Terus! Terus! Tarik tarik tarik”
“Hah, apanya yang ditarik, Kang Mas?” tanya Ningsih bingung.
“Maksudku dorooong, dorong terus! Dorong, dorong, dorong!” teriak Anjas meralat kepanikannya.
“Heeek…!” Ningsih kembali mengeden dengan wajah dan tubuh yang sudah banjir keringat perjuangan “surga di bawah telapak kaki ibu”.
“Kepalanya sudah terlihat!” teriak Anjas kencang penuh gembira. Lalu sambil merogoh ke dalam lubang sarung istrinya, ia kembali memberi aba-aba layaknya wasit lomba lari sprint, “Ayo, Sayang! Satu dorongan pamungkas. Bersediaaa, siaaap, dorooong!”
“Heeek…!” Ningsih memberika dorongan pamungkasnya yang panjang.
“Oeek…!”
Meledaklah tangis seorang bayi di tengah hutan belantara itu. Begitu lega dan gembiranya perasaan Anjas dan Ningsih.
“Hihihik…!”
Gurudi yang menunggu di tanah, langsung melompat-lompat kegirangan sambil tertawa-tawa kencang.
“Hah!” kejut Anjas dan Ningsih bersamaan.
Seberkas sinar putih menyilaukan memancar dari wajah bayi yang masih berlumur darah. Hal itu membuat Anjas dan Ningsih tidak bisa melihat jelas wajah putra mereka yang adalah lelaki.
Namun, sinar putih menyilaukan itu tidak lama, karena kemudian padam dengan sendirinya.
“Anak kita perempuan, Sayang!” seru Anjas yang menggendong bayinya. Kesimpulan Anjas itu karena ia melihat bibir bayinya berwarna merah terang seperti darah segar.
“Anak kita laki-laki. Lihat ada burung pipitnya!” ralat Ningsih dengan suara lirih.
“Oh iya, hahaha!” tawa Anjas menertawakan kekeliruannya. Padahal sebelumnya dia sudah melihat kelelakian putranya.
“Tapi sinar apa tadi itu, Kakang Mas?” tanya Ningsih, ia agak cemas melihat keanehan itu.
Anjas Perjana tersenyum, menandakan bahwa ia tahu jawabannya.
“Itu tanda bahwa ia adalah keturunan dari Dewa Kematian, kakekku. Dewa Kematian adalah orang sakti aliran putih,” jelas Anjas Perjana.
“Berarti putra kita memiliki tanda keturunan dari dua orang sakti, karena bibir merahnya menunjukkan bahwa dia adalah keturunan dari Ratu Bibir Darah,” kata Ningsih pula, seraya tersenyum tipis.
“Ratu Bibir Darah? Siapa itu?” tanya Anjas Perjana.
“Dia buyut perempuanku!” tandas Ningsih Dirama agak merengut, terkesan suaminya meremehkan leluhurnya.
“Hahaha!” Anjas hanya menertawakan ekspresi istrinya itu. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Buke Chika
😀😀😀😀😀Bahasa frontalnya si author bikin ngakak
2023-08-30
1
Budi Efendi
lanjutkan
2023-01-29
1
Rohan
Sukses selalu
2021-11-18
1