*Bibir Merah Pendekar (BMP)*
“Dasar sahabat tidak punya akhlak!”
Mungkin kata itulah yang akan diucapkan oleh Gimba kepada Joko Tenang, jika dia tahu hal apa yang dilakukan sahabatnya di atas punggungnya bersama dengan Tirana.
Lama tidak mendapat jatah “celap-celup” dari sang suami karena faktor bergilir, bukan piala bergilir, membuat Tirana melampiaskannya di saat ia dan Joko berada di punggung Gimba yang terbang menuju Kerajaan Siluman.
Bukan sekedar bercumbu di atas punggung Gimba, tetapi juga melakukan hubungan intim suami istri di sana. Punggung Gimba menjadi ranjang asmara di langit terbuka.
Namun, selama adegan itu, Gimba tidak berkomentar. Mungkin karena bulunya terlalu besar dan tebal sehingga ia tidak merasakan apa yang dilakukan oleh pasangan itu di atasnya. Atau mungkin ia memang bersikap cuek dengan dalih tidak mau terpancing. Jika Gimba terpancing birahi, burung siapa yang bisa jadi pelampiasannya?
Hari ini, sesuai agenda yang telah dicanangkan, tanpa perlu persetujuan dari DPR, Joko Tenang bersama Tirana akan terbang menuju Kerajaan Siluman. Sesuai petunjuk dari Permaisuri Nara, mereka harus terbang ke selatan melewati dua gunung. Setelahnya mereka akan menemukan gunung ketiga. Pada bagian tebing berbatu tinggi, di sanalah Kerajaan Siluman berada.
Dan benar, ketika matahari baru mulai mendekati garis barat, mereka sudah melihat gunung yang dimaksud. Maka sebelum mereka mendekati wilayah bertebing batu, Joko memerintahkan Gimba turun di sebuah hutan besar.
Ketika Joko Tenang dan Tirana turun dari atas Gimba, kondisi keduanya sudah rapi, layaknya tidak pernah melakukan “pertarungan” apa-apa.
Saat Gimba datang menjemput ke Kerajaan Sanggana Kecil, di leher Gimba ada sebuah kalung berbandul sebuah potongan bambu kecil sebesar jari telunjuk. Bambu kecil berwarna kuning itu memiliki lubang seperti peluit.
Menurut Gimba, itu adalah alat panggil untuk dirinya selama ilmu Bahana Alam Kahyangan masih tersegel bersama ilmu-ilmu Joko yang lainnya. Dengan meniup benda pemberian Resi Putih Jiwa itu, maka Gimba bisa dipanggil datang. Jadi Joko dan Gimba tidak perlu janjian ketemuan seperti anak cabe-cabean.
Joko lalu mengambil peluit itu dan menyimpannya.
Akhirnya Gimba pergi kembali ke Alam Kahyangan. Tinggallah Joko Tenang dan Tirana berdua. Meski hanya berdua di tengah hutan itu, mereka tidak berniat sedikit pun untuk mengulang adegan di atas burung. Mereka harus bergerak cepat agar tidak disergap malam di dalam hutan.
Ketika masih di atas langit tadi, Joko dan Tirana melihat daerah permukiman di sisi selatan hutan. Karenanya, mereka segera melesat ke selatan.
Namun, pada suatu tempat, mereka berhenti sejenak karena melihat sebuah pohon besar yang berdahan besar-besar. Di atas tiga dahan besar dari pohon itu ada tiga rumah bambu yang kondisinya sudah rusak parah, tapi masih terlihat jelas bahwa itu adalah bekas rumah. Kondisi ketiga rumah-rumahan itu sudah berantakan dengan bahan bambu yang sudah lunak termakan usia dan alam.
Tanpa Joko Tenang ketahui, di salah satu rumah bambu itulah dia pernah dilahirkan.
“Rasanya akan menjadi kehidupan yang bahagia jika kita memiliki rumah di atas pohon di tengah hutan belantara, tanpa ada yang mengganggu dan tidak memikirkan urusan dunia,” kata Joko Tenang.
“Benar, tapi di sisi dunia yang lain banyak sekali orang yang menderita karena kekejaman manusia. Jika kita sebagai orang sakti tidak peduli, maka sama saja kita menyetujui kekejaman itu,” kata Tirana.
Joko Tenang hanya tersenyum mendengar perkataan Tirana.
“Cukup lama kita tidak bersama dan hanya berdua saja,” kata Joko Tenang lalu merangkul bahu istrinya dengan satu tangan dan mengajaknya berjalan pergi.
Setelahnya mereka berlari pergi. Menjelang senja, mereka telah keluar dari hutan yang bernama Hutan Angker.
Di desa terdekat mereka bertanya-tanya tentang jalan menuju Kerajaan Siluman. Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya mereka mendapat arahan dari seorang warga berusia tua.
Untuk mempercepat perjalanan, mereka membeli dua kuda. Pada saat petang, Joko dan Tirana terus berkuda. Hingga akhirnya malam dan langit benar-benar gelap, barulah Joko memutuskan bermalam di sebuah kademangan.
Beruntung Joko Tenang dan Tirana, mereka masih menemukan sebuah penginapan kecil. Biarpun kecil, yang penting bisa digunakan untuk membersihkan diri, memacu kuda dan istriahat.
Pagi harinya, Tirana dibangunkan oleh rasa lembut yang melekat di bibirnya, bahkan bibirnya terasa tersedot dan digigit-gigit lembut. Sebelum membuka matanya, Tirana tersenyum lebar lalu merangkulkan kedua tangannya pada leher suaminya, kemudian menarik dan memeluknya dengan kencang, seolah tidak mau melepaskannya.
“Aku tidak bisa napas!” ucap Joko sambil berusaha mencarikan ruang kosong bagi lubang hidungnya.
“Hihihi!” tawa Tirana.
“Ayo bangun, Sayang. Kita lanjutkan perjalanan,” kata Joko.
“Sepertinya kau sudah rindu berat dengan Putri Sri Rahayu, padahal aku minta tambah,” ucap Tirana bernada manja.
“Hahaha!” tawa Joko Tenang. “Tidak masalah untuk sesuatu yang nikmat, kebahagiaan dan kesenangan istri itu nomor satu.”
Maka, pagi itu, bonus ekstra Tirana dapatkan dari suaminya.
Tok tok tok!
“Den!”
Tepat ketika Joko baru usai dari eksekusi water canon dan Tirana mendapatkan klimaksnya, tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk dan ada satu panggilan suara lelaki. Untung saja ketika mereka berpacu dalam melodi asmara, Joko dan Tirana memasang mode silent atau mode senyap.
“Ya?” sahut Joko Tenang dengan pernapasan yang juga tenang.
“Apakah Aden Pendekar ingin kami siapkan makanan pagi?” tanya pemilik penginapan.
“Tidak usah, Ki. Tolong siapkan air bersih saja untuk mandi!” kata Joko Tenang.
“Baik, Den.”
Setelah itu terdengar langkah kaki yang pergi. Dalam perjalanannya ini, Joko Tenang dan Tirana berpakaian ala pendekar, tidak ada kesan sebagai seorang bangsawan.
“Hihihi!” tawa Tirana karena hampir saja pemilik penginapan itu mengganggu adegan klimaks mereka berdua.
Usai mandi, keduanya pergi berjalan-jalan pagi di kademangan itu. Setelah berbincang sejenak dengan pemilik penginapan yang adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun, barulah Joko Tahu bahwa daerah itu bernama Kademangan Uruk Sowong.
Ketika sedang berjalan-jalan di pasar tradisional kademangan, Joko Tenang berhenti di depan pedagang buah apel merah. Melihat buah apel itu, Joko Tenang jadi teringat dengan wanita berambut kuning di dalam mimpinya. Entah kenapa ia jadi rindu dan ingin memimpikan kembali wanita yang menunggangi singa itu.
“Silakan, Den Pendekar. Dijamin segar dan manis semanis Den Pendekar,” kata si pedagang antusias.
Namun, belum lagi Joko Tenang berucap untuk membeli, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita berpakaian lusuh dan kotor berlari mengambil sebuah mangga pada dagangan pedagang lain. Wanita itu lalu berlari pergi tanpa membayar, yang artinya dia mencuri.
“Surina mencuri!” teriak seorang pedagang lain yang lebih dulu melihat pencurian itu.
“Surina pencuri!” maki pedagang mangga sambil bangkit dan cepat mengejar.
Maka ramailah seketika pasar itu, ketika beberapa pedagang dan pengunjung pasar menghadang lari wanita gembel berwajah buruk yang mencuri mangga, bahkan ada yang membawa kayu hendak memukul wanita kotor tesebut.
Wanita berwajah buruk tersebut menjadi panik. Buru-buru ia berlari mencoba meloloskan diri. Namun, ia terpojok di pagar bambu kawasan pasar.
“Pukuli saja sampai mati, biar tidak mencuri lagi!” teriak seorang warga.
“Tangkap lalu buang ke Hutan Angker!” teriak seorang pedagang.
“Benar, biar merasakah nasib adiknya yang dia teluh!” sahut seorang lelaki tua yang juga kesal dengan wanita itu.
“Pukul!” teriak satu pedagang memberi komando.
Maka warga dan pedagang yang sudah mengepung posisi wanita itu, serentak maju hendak memukuli si wanita kumal, baik dengan tinju, tendangan atau dengan kayu.
“Aaa!” jerit wanita itu ketakutan sambil berjongkok dan memeluk sendiri kepalanya. Mangga yang ia curi terjatuh ke tanah.
“Hah!” kejut para warga dan pedagang yang menghakimi si wanita kumal. Semua pukulan dan tendangan mereka tidak ada yang sampai pada tubuh si wanita. Mereka seperti memukul dan menendang sebuah dinding tidak terlihat yang ada satu jengkal dari tubuh si wanita kumal.
Mereka lebih terkejut karena tiba-tiba ada sesosok bidadari cantik yang tersenyum manis kepada mereka, memberi kesejukan pada pandangan mereka. Bidadari itu berdiri sambil satu tangannya menyentuh bahu si wanita kumal. Bidadari itu tidak lain adalah Tirana.
Semua warga dan pedagang yang menghakimi si wanita pencuri segera mundur karena takut. Sementara si wanita kumal berhenti menjerit saat tidak merasakan ada satu pun serangan yang menghakimi tubuhnya, kecuali satu sentuhan pada bahunya.
Wanita yang wajahnya rusak itu menurunkan kedua tangannya dari kepalanya. Pelan-pelan ia mendongak untuk melihat siapa yang menyentuh bahunya.
Tap!
Dengan tenaga dalamnya, tangan Tirana menyedot mangga yang ada di tanah ke dalam genggamannya.
“Siapa pedagang pemilik mangga ini?” tanya Tirana seraya masih tersenyum sejuk.
“A… aku,” jawab pedagang mangga.
“Aku bayarkan mangga ini untuknya,” kata Tirana sambil melempar satu kepeng uang kepada pedagang mangga.
Pedagang itu menangkap uang yang dilambungkan kepadanya.
“Bubarlah!” seru Tirana dengan wajah yang beruba datar.
Sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita sakti, para pedagang dan warga segera membubarkan diri.
“Bangunlah, Kakak. Mangga ini untukmu,” kata Tirana seraya tersenyum lembut kepada wanita yang usianya sudah hampir separuh abad itu.
“Siapa namamu, Kakak?” tanya Tirana ketika wanita itu menerima mangga sambil menatap tajam kepada penolongnya.
“Su… Surina,” jawab wanita tersebut dengan nada yang takut.
“Siapa wanita itu, Ki?” tanya Joko Tenang kepada pedagang apel yang tidak ikut-ikutan menghakimi Surina.
“Namanya Surina Asih, anaknya Demang Yono Sumoto. Dia perempuan jahat karena dulu meneluh adiknya sendiri. Keluarganya sudah membuangnya dan tidak mengakuinya lagi,” jelas si pedagang apel.
Joko Tenang lalu membayar sekeranjang apel merah yang dibelinya. Ia lalu mendatangi Tirana dan Surina Asih.
“Ini untukmu, Surina!” kata Joko Tenang sambil mengulurkan keranjang kepada Surina yang berdiri masih menyisakan rasa takut-takut.
Surina menatap sumringah sekeranjang apel merah tersebut. Ia lalu beralih memandang wajah Joko Tenang.
“Ah!” jerit Surina terkejut, sampai-sampai tubuhnya refleks mundur dan jatuh terduduk. Sikapnya berubah ketakutan luar biasa ketika melihat bibir merah Joko. Ia memejamkan matanya kuat-kuat sambil tangannya memukul-mukul acak ruang kosong di depannya. “Jangan bunuh aku, Ningsih! Aku tidak membunuhmu, jangan bunuh aku! Pergi! Pergiii!”
Surina berteriak-teriak sambil memejamkan matanya, seolah takut melihat wajah Joko yang tampannya kecantikan.
Hal itu jelas membuat Joko dan Tirana heran bukan main.
“Baik, kami pergi. Tapi apel ini untukmu, Surina,” kata Joko lalu mundur menjauh, sementara apel sudah pindah ke tangan Tirana.
“Jangan takut, kami orang baik,” kata Tirana sambil membelai kepala Surina. Ia letakkan keranjang apel di depan Surina.
Cup!
Tanpa merasa jijik atau sungkan, Tirana mengecup dahi Surina, sehingga ada lapisan sinar kuning yang masuk ke dalam wajah Surina. Sinar itu kemudian berubah menjadi rasa sejuk pada wajah Surina, lalu berproses menyebarkan rasa sejuk ke seluruh tubuh. Tirana memberikan ilmu pengobatannya yang bernama Kecupan Malaikat. Tirana tahu bahwa wanita itu mengalami sakit mental dan fisik.
Para warga pasar hanya terkejut terkesiap melihat apa yang Tirana lakukan.
Tirana lalu pergi meninggalkan Surina yang masih memejamkan matanya karena terlalu takut melihat wajah Joko Tenang. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan mantappp
2023-01-30
0
aim pacina
🙏🤲❤️
2022-09-02
1
Arby Bangka
ntar bau pandan semriwing kemana2
2022-05-06
1