*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
“Ayo bergegas, Gurudi. Sebentar lagi hujan!” kata Anjas Perjana.
“Tititi… tidak apa-apa huhuhu… hujan, Anjas. Sususu… sudah lama tidak huhuhu… hujan. Aku mau huhuhu… hujan-hujanan. Hihihik…!” kata Gurudi lalu tertawa senang.
Anjas Perjana hanya tersenyum mendengar perkataan Gurudi. Ia begitu sayang kepada Gurudi. Ia menganggap Gurudi seperti adik sendiri, meski usia Gurudi lebih tua.
“Kali ini aku bingung, Gurudi. Aku diminta pulang. Jika aku bawa Ningsih ke Sanggana, pasti Kerajaan akan kacau. Jika Ningsih dan Joko aku tinggalkan sementara, mereka masih perlu perlindungan,” kata Anjas.
“Kakaka… kalau telat beberapa pupupu… purnama mungkin tititi… tidak apa-apa, Anjas. Tututu… tunggu kalau Jojojo… Joko sudah bibibi… bisa mememe… merangkak,” kata Gurudi.
“Kalau ayahku tahu kau mengusulkan seperti itu, kau pasti akan dipenjara!”
“Hihihik…!” Gurudi justru tertawa panjang.
Gludug!
Suara geluduk terdengar di langit atas hutan, tapi belum turun hujan. Mendung membuat hutan itu lebih cepat gelap sebelum waktunya.
“Oeek… oeek… oeek...!”
Tiba-tiba pendengaran tajam Anjas Perjana menangkap suara bayi yang jauh. Saat itu ia memang tidak begitu jauh dari kediamannya.
“Kenapa Joko menangis kencang seperti itu?” ucap Anjas heran.
“Cecece… cepat lihat ke sasasa… sana, Anjas!” teriak Gurudi, yang merasa khawatir ada sesuatu yang buruk terjadi.
Clap!
Laksana menghilang, Anjas melesat pergi menerobos hutan belantara. Tidak pakai L (lama), Anjas tahu-tahu sudah tiba di ata teras rumahnya.
“Oeek… oeek… oeek...!”
Alangkah terkejutnya Anjas, mendapati perisai gaibnya telah hilang dan melihat Joko Tenang menangis tergeletak begitu saja di lantai ruangan rumah. Sepintas ia merasa kesal kepada istrinya. Ia buru-buru menggendong Joko Tenang, meski ia agak kaku dalam menggendongnya karena tidak terbiasa.
“Sayang!” teriak Anjas setelah menggendong Joko Tenang. Ia mengguncang-guncangkan gendongannya sambil memberi gerakan mengayun untuk mendiamkan tangis Joko.
Sambil mencoba mendiamkan bayinya, Anjas Perjana segera mendeteksi keberadaan manusia lain di tempat itu. Namun, tidak ada orang lain selain ia dan Joko. Itu memberi kesimpulan bahwa Ningsih Dirama tidak ada di dekat-dekat tempat itu.
“Pasti para prajurit kerajaan itu…” desis Anjas lirih.
Rintik-rintik hujan mulai turun.
“Anjas! Anjas! Anjas!” teriak Gurudi sambil berlari datang. Dalam waktu singkat dia sudah melesat naik dengan mudahnya ke depan Anjas.
“Kau jaga Joko, Gurudi. Ningsih telah diculik orang-orang kerajaan itu!” kata Anjas lalu memberikan Joko yang sudah terdiam kepada lelaki kerdil itu.
“Iya iya iya!” ucap Gurudi agak tegang.
“Jika aku tidak kembali, bawa Joko Tenang ke kediaman Ki Ageng Kunsa Pari!” pesan Anjas.
“Iya iya iya!” jawab Gurudi.
Anjas Perjana lalu melompat turun dan membiarkan tubuhnya tersiram gerimis hujan. Ia mencari jejak di sekitar kediamannya dan ia menemukannya.
Jika mengingat keseringan kedatangan pasukan prajurit yang mencari Ningsih, Anjas hapal dari sisi hutan mana mereka sering masuk. Karena itu, Anjas langsung melesat mengejar ke arah jalan hutan yang biasa mereka lalui.
Hujan mulai melebat. Pakaian Anjas basah. Selain menerabas hutan, Anjas juga menerobos tirai hujan. Kemarahan sedang melandanya. Ia benar-benar marah karena wanita yang dicintainya telah diculik.
Arah pengejaran Anjas benar. Cukup jauh di depan sana, rombongan Prabu Raga Sata sedang berjalan menuju ke luar hutan. Mereka pun hujan-hujanan, tapi tidak bagi Prabu Raga Sata dan Ningsih. Keduanya berada di dalam bilik sebuah kereta kuda berwarna kuning emas.
Setelah meluapkan kemarahannya ketika berada di kediaman Anjas, Prabu Raga Sata tidak mengeluarkan sepatah kata pun kepada Ningsih selama mereka berada di dalam kereta. Ia hanya menatap tajam. Ia benar-benar marah mengetahui Ningsih Dirama telah menikah dan melahirkan bayi lelaki lain.
Ningsih hanya duduk menunduk dan diam. Ia hanya berharap bahwa suaminya akan datang menolongnya. Ia pun begitu khawatir karena terpaksa meninggalkan Joko begitu saja di lantai rumah.
“Ningsih!”
Tiba-tiba satu teriakan menggelegar terdengar keras mengalahkan suara hujan. Panggilan itu mengejutkan mereka semua yang ada di dalam rombongan.
“Panglima Siluman! Bunuh lelaki itu!” teriak Prabu Raga Sata dari dalam bilik keretanya.
“Baik, Gusti Prabu!” ucap Panglima Siluman Pedang.
“Jangan, Gusti Prabu! Jangan bunuh suamiku, aku mohon, Gusti Prabu!” teriak Ningsih sambil turun berlutut di depan kaki Prabu Raga Sata.
“Harga diriku telah kalian nodai. Seharusnya kalian berdua wajib mati, tapi aku terlalu cinta kepadamu, Ningsih. Maka cukup lelaki terkutuk itu yang aku bunuh!” kata Prabu Raga Sata gusar.
“Jangan, Gusti Prabu! Aku mohon!” ucap Ningsih menangis memelas. Ia bahkan memegangi kaki Prabu Raga Sata mengharap pengampunannya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang Anjas dari luar.
“Jangan meminta kepadanya, Ningsih. Bahkan untuk menyelamatkan nyawanya saja dia tidak akan sanggup!”
Kata-kata Anjas Perjana benar-benar menjadi minyak bagi api amarah Prabu Raga Sata.
Brak!
Tiba-tiba Prabu Raga Sata melompat naik ke udara dengan menjebol atap bilik kereta. Ia turun dan berdiri di sisi kusirnya. Ia menatap tajam kepada sosok Anjas Perjana yang berdiri di atas sebuah dahan pohon yang tumbuh melintang di atas jalan.
“Benar-benar mencari mati kau berani mengambil calon selirku!” teriak Prabu Raga Sata kepada Anjas.
“Hanya raja hina yang menculik istri seorang rakyat biasa. Kau memaksa penguasa rimba ini harus memamerkan cakar dan giginya. Kau memaksa seorang lelaki harus memanen nyawa di rumahnya sendiri!” seru Anjas lantang.
“Sombong sekali!” sentak Prabu Raga Sata yang merasa direndahkan.
“Raja tanpa hati sepertimu hanya bisa direndahkan dengan kesombongan!” seru Anjas Perjana lagi.
“Matilah, kau!” teriak Prabu Raga Sata sambil menghentakkan lengan kanannya.
Zwerss! Bluarr!
Sebuah bola sinar merah berekor seperti layangan melesat cepat menyerang Anjas Perjana. Namun, sinar merah itu meledak setengah depa di depan Anjas Perjana, seolah menghantam satu perisai gaib tidak terlihat.
“Kang Maaas!” pekik Ningsih sangat cemas dari balik bilik kereta yang sudah tidak beratap.
Cukup terkejut Prabu Raga Sata melihat serangannya tidak berguna bagi Anjas yang masih berdiri di atas pohon.
“Tenanglah, Ningsih, aku akan membawamu pulang setelah memberi pelajaran raja kerupuk ini!” kata Anjas.
“Prajurit, serang!” Kali ini yang berteriak adalah Panglima Siluman Pedang.
“Seraaang!” teriak separuh dari pasukan yang ada. Mereka beramai-ramai berkelebat berlari di udara menyerang massal ke arah Anjas dengan pedang terhunus di tangan kanan.
Wusss!
Anjas Perjana menghentakkan kedua lengannya menyambut serangan massal itu. Serangkum angin dahsyat menderu hebat menghempas hampir semua prajurit yang berlari di udara. Para prajurit berseragam hijau gelap itu terlempar dan jatuh secara acak.
Babak! Bubuk! Bobok!
Para prajurit yang masih selamat dari hempasan angin pukulan dahsyat tadi, tidak bernasib lebih baik. Anjas Perjana melompat menyambut mereka di udara. Lalu mereka dihajar dengan tendangan dan pukulan yang bergerak sangat cepat. Para prajurit itu jatuh satu demi satu dari udara seperti dedaunan yang berguguran.
Anjas Perjana turun mendarat di tanah, di depan pasukan yang belum bergerak. Ketika pasukan itu hendak menyerang, Anjas Perjana lebih dulu melesat maju menyerang. Namun, yang diserang Anjas bukanlah para prajurit, tetapi langsung ke arah Prabu Raga Sata dengan lewat di atas kepala para prajurit.
Set set set!
Namun, sebelum Anjas Perjana sampai kepada Prabu Raga Sata yang juga sudah bersiap, Panglima Siluman Pedang mendadak melesat masuk ke tengah jarak menghadang Anjas. Panglima Siluman Pedang menghadang Anjas dengan coretan-coretan mata pedang yang sangat cepat.
Laju tubuh Anjas Perjana terpaksa tertahan, tetapi mata pedang Panglima Siluman hanya menggoresi lapisan perisai yang tidak tampak, setengah depa dari tubuh Anjas.
Anjas terpaksa mendorong tubuhnya berkelebat mundur. Sementara Panglima Siluman turun mendarat di atas bahu dua orang prajuritnya.
Ketegangan tercipta di bawah guyuran hujan yang lebatnya sedang. Sementara Ningsih begitu tegang penuh kecemasan. Ia merasa, mungkin suaminya akan mustahil melawan Prabu Raga Sata dan pasukannya. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan thorrr
2023-01-29
0
Rohan
Good
2021-11-18
0
ALan
seru
2021-10-15
0