*Bibir Merah Pendekar (BMP)*
Sepekan lebih sebelum kepulangan Joko Tenang ke Karajaan Sanggana Kecil.
Surya Kasyara memacu kencang kudanya menuju Kadipaten Surosoh. Ia mendapat tugas khusus dari Ratu Getara Cinta untuk pergi menemui Tabib Rakitanjamu, seorang tabib sakti yang memiliki julukan tenar tetapi disembunyikan, yaitu Tabib Teguk Getir.
Tabib Rakitanjamu adalah seorang tua bertubuh kurus ringkih dan rambutnya berwarna putih. Ia mengenakan jubah putih lusuh dan membawa sebuah tongkat kayu yang ujungnya bercabang. Saat itu ia baru keluar dari sebuah rumah warga di Kadipaten Surosoh.
Di saat kakek bermata sayu itu berjalan pelan di jalanan, tiba-tiba dari arah samping berjalan sesorang pemuda dengan langkah yang kacau.
“Mabuk wanita itu memang begitu enak, tidak peduli gadis atau nenek-nenek, yang penting bisa goyang dan bisa gesek, nikmatnya serasa mau beranak!” ceracau pemuda yang mendekati Tabib Rakitanjamu dengan sorot mata yang seperti mau tidur. “Aduh aduh aduh!”
Langkah kacau si pemuda membuatnya tersandung oleh kakinya sendiri, membuat tubuhnya tersungkur menabrak ke arah Tabib Rakitanjamu.
Das! Buk!
“Akh…! Adaw adaw adaw!”
Karena tidak mau diganggu oleh si orang mabuk, Tabib Rakitanjamu lalu menghantamkan batang tongkatnya ke dada pemuda mabuk yang membawa bumbung tuak. Pukulan itu keras, membuat pemuda itu terlempar lalu jatuh terjengkang ke tanah. Apesnya, tulang ekor pemuda itu terkena batu di pinggir jalan.
Pemuda yang tidak lain adalah Surya Kasyara itu, memekik kesakitan luar biasa. Ia langsung berdiri sambil pegangi bokongnya dan melompat-lompat kecil di tempat karena terlalu sakitnya. Mabuknya mendadak hilang.
“Aduh, Tabib, mainnya sungguhan!” keluh Surya Kasyara.
“Heh! Kenapa kau tiba-tiba muncul di sini menggangguku, hah?!” hardik Tabib Rakitanjamu.
“Aku diutus,” jawab Surya Kasyara.
“Oleh siapa?” tanya Tabib Rakitanjamu.
“Aku diutus oleh Gusti Ratu Getara Cinta, ratu dari Gusti Prabu Dira alias Joko Tenang,” jawab Surya Kasyara yang masih mengerenyit kesakitan, karena bokongnya berdenyut-denyut.
“Apakah Joko sudah menjadi raja?” tanya Tabib Rakitanjamu.
“Sudah sepekan lamanya. Kerajaan Sanggana Kecil banyak menahan para pendekar yang terluka. Kami sangat membutuhkan Tabib Rakitanjamu untuk menjadi tabib kerajaan,” ujar Surya Kasyara.
“Jika aku pergi mengabdi di Kerajaan, lalu orang sakit di sini siapa yang akan mengurus?” tanya Tabib Rakitanjamu.
“Ayolah, Tabib. Di sini masih banyak tabib lain. Jangan sampai aku pulang dengan tangan kosong, bisa-bisa aku dijadikan umpan ikan telaga oleh Gusti Ratu. Lagi pula, Tabib bisa mengabdi kepada dunia persilatan aliran putih. Ini demi jayanya sebuah kerajaan untuk kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan bersatunya seluruh pendekar sakti aliran putih, akan menciptakan masyarakat yang adil, tenteram dan sejahtera!” kata Surya Kasyara berlagak menceramahi Tabib Rakitanjamu dengan materi wawasan kebangsaan.
Tok!
“Haddoww!” jerit Surya Kasyara kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya dengan ritme yang cepat, sementara kakinya mencak-mencak ke tanah.
Pukulan tongkat Tabib Rakitanjamu bukanlah pukulan biasa, tetapi pukulan yang memberi sakit tidak hanya di kepala, tetapi menusuk sampau ke bawah.
“Apakah kau sudah menyiapkan aku kuda, Anak Muda?” tanya Tabib Rakitanjamu.
“Belum, tapi akan segera aku carikan, Tabib!” jawab Surya Kasyara mendadak gembira, seolah sakitnya juga mendadak berhenti.
“Pergilah carikan aku kuda dulu!” suruh Tabib Rakitanjamu.
“Iya iya iya, tapi Tabib jangan ke mana-mana!” pesan Surya Kasyara mewanti-wanti.
Surya Kasyara lalu pergi meninggalkan Tabib Rakitanjamu untuk mencari kuda satu lagi. Satu hal yang terlupakan oleh Surya Kasyara adalah bahwa dia tidak memiliki uang untuk membeli seekor kuda.
“Apakah aku harus mencuri kuda? Atau, aku berjudi dulu baru membeli kuda?” pikir Surya Kasyara.
Tiba-tiba Surya Kasyara terkejut tanpa suara. Ia melihat seorang wanita muda lagi cantik tapi buta kedua matanya. Wanita itu mengenakan pakaian wanita desa berwarna hitam dengan pinjung warna putih. Kebutaan wanita itu terlihat dari sepasang kelopak matanya yang agak menghitam dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu jalan. Meski kulitnya tidak begitu putih, tetapi kebersihan wajahnya dari noda atau jerawat membuat kecantikannya nyaman dipandang.
Wanita itu bersama seorang pemuda berperawakan pendekar bertangan satu. Pemuda bersenjata tongkat besi di punggung itu, tidak memiliki tangan kiri. Ia bernama Parsuto.
“Rawaiti!” teriak Surya Kasyara dengan sepasang mata yang sudah berkaca-kaca.
Terkejutlah wanita buta dan Parsuto. Keduanya langsung menatap ke arah Surya Kasyara. Wanita buta menatap dengan wajahnya.
“Kakang Surya?” sebut wanita itu ragu, ia mengenali suara Surya Kasyara.
“Rawaiti, adikku!” teriak Surya Kasyara sambil berlari memeluk wanita yang memang adalah Rawaiti, adik Surya Kasyara yang sebelumnya disangka sudah dibunuh oleh anak buah mendiang Adipati Tambak Ruso.
“Kakang Surya!” sebut Rawaiti sambil menangis. Air mata membanjiri wajahnya. Meski buta, kelenjar air mata Rawaiti berfungsi, sehingga bisa mengeluarkan air mata.
“Hahaha! Adikku hidup lagi! Adikku hidup lagi!” teriak Surya Kasyara gembira setelah menangis haru. Ia tertawa-tawa sambil mengangkat tubuh adiknya dan digendong berputar di tempat.
Sementara Parsuto hanya tersenyum melihat pertemuan adik dan kakak tersebut. Sepengetahuan Rawaiti dan Parsuto, Surya Kasyara sudah mati dibuang di jurang oleh anak buah mendiang Adipati Tambak Ruso. Mereka mendapat cerita dari warga beberapa hari setelah Surya Kasyara dibuang ke jurang tiga tahun lalu.
“Kakang!” sebut Rawaiti sambil tersenyum bahagia. “Kenalkan, ini Kakang Parsuto. Dialah orang yang menolong aku sebelum dibunuh oleh Tulanggoyo. Kakang Parsuto sekarang adalah suamiku!”
“Wah, sudah menikah juga. Hahaha!” ucap Surya Kasyara. Ia lalu beralih kepada Parsuto. Tanpa canggung, Surya lalu memeluk Parsuto. Lalu ucapnya, “Terima kasih, Parsuto. Aku senang, sekarang adikku memiliki seorang pelindung, tidak seperti aku dulu. Dulu aku adalah pecundang, pemabuk, penjudi. Gara-gara aku, Rawaiti menderita. Huks huks!”
Surya Kasyara menangis dalam pengakuan dosanya.
“Tidak mengapa, Surya. Segala keburukan di masa lalu bisa kita ambil pelajaran berharga,” kata Parsuto bijak dan menghibur.
“Kakang masih suka mabuk?” tanya Rawaiti curiga, sebab ia melihat penampilan kakaknya yang tidak rapi dan membawa bumbung tuak.
“Yah, aku masih suka mabuk,” jawab Surya Kasyara. Lalu katanya lagi yang membuat adiknya kesal, “Tapi bohong! Hahaha!”
“Kakang Surya! Yang benar yang mana?” hardik Rawaiti dengan ekspresi serius.
“Aku sekarang seorang pendekar prajurit. Julukanku Pendekar Gila Mabuk, tetapi aku tidak suka mabuk. Tuakku hanya aku gunakan sebagai obat dan senjata. Guruku melarang aku mabuk,” jelas Surya Kasyara.
“Pendekar prajurit? Pendekar apa itu?” tanya Rawaiti.
“Sekarang aku mengabdi di Kerajaan Sanggana Kecil sebagai Pengawal Bunga. Ikutlah bersamaku ke Kerajaan Sanggana Kecil. Di sana juga ada Kadipaten Gunung Prabu, warganya hidup bertani dan berkebun. Tanah di sana subur, sangat baik untuk membangun keluarga bahagia. Dan kita mengabdi kepada raja sakti yang sangat baik, yaitu Prabu Joko Tenang,” tutur Surya Kasyara.
“Siapa nama rajanya?” tanya Parsuto setelah agak terkejut mendengar nama Joko Tenang.
“Prabu Dira bla bla bla, aku lupa nama lengkapnya. Nama lainnya Joko Tenang,” tandas Surya Kasyara.
“Joko Tenang?” tanya Parsuto lagi, membuat Surya Kasyara heran, demikian pula dengan Rawaiti.
“Iya. Apakah kau mengenalnya, Parsuto?” tanya Surya.
“Apakah Joko Tenang itu berbibir merah?” tanya Parsuto lagi untuk memastikan.
“Iya.”
“Wah! Ternyata sahabatku sudah menjadi raja. Hahaha!” ucap Parsuto lalu tertawa senang. Lalu katanya kepada istrinya, “Kita harus ke sana, Rawaiti!”
“Baik, Kakang,” jawab Rawaiti.
“Adduh!” keluh Surya Kasyara sambil menepuk dahinya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Rawaiti.
“Tabib Rakitanjamu pasti menungguku. Aku harus mendapatkan seekor kuda lagi untuk tunggangan Tabib ke Kerajaan, tapi aku tidak punya uang untuk membeli kuda,” keluh Surya Kasyara.
“Mungkin uang kami cukup untuk membeli kuda,” kata Parsuto memberi jalan keluar.
Akhirnya, Surya Kasyara bisa membeli seekor kuda, sehingga kudanya menjadi dua. Namun, ketika ia pergi ke tempat Tabib Rakitanjamu menunggu, orang tua itu sudah tidak ada.
Surya Kasyara terpaksa mencari. Namun, ia tidak menemukan Tabib Rakitanjamu. Hal itu membuat Surya Kasyara terpaksa harus bermalam di rumah sang tabib untuk menunggunya pulang.
Akan tetapi, Tabib Rakitanjamu tidak kunjung pulang hingga hari berganti. Surya Kasyara yang gelisah kembali mencari keberadaan Tabib Rakitanjamu. Ia bertanya ke mana-mana, tetapi sang tabib menghilang.
“Memang dasar dia tidak mau mengabdi di Kerajaan,” pikir Surya Kasyara yang akhirnya menyerah mencari Tabib Rakitanjamu.
Surya Kasyara memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Sanggana Kecil. Kuda yang sudah dibeli akhirnya ditunggangi oleh Parsuto bersama istrinya.
Setibanya di Kerajaan Sanggana Kecil setelah beberapa hari perjalanan, ternyata Tabib Rakitanjamu sudah tiba lebih dulu di sana. Alangkah kesalnya Surya Kasyara, tetapi ia hanya bisa menggerutu di belakang. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan thorrr
2023-01-29
0
Rohan
Good
2021-11-18
1
ALan
mantab om
2021-11-01
1