*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
“Dalam waktu yang mendesak seperti ini, lebih baik Kang Mas Adipati membuat sayembara bagi Ningsih!”
“Jalan satu-satunya adalah menemukan siapa orang jahat yang telah meneluh Ningsih.”
“Bau busuknya sungguh luar biasa. Sehari dua hari tidak mungkin bisa hilang, atau bahkan bisa lebih buruk lagi. Daripada membuat malu dan merusak nama baik Adipati, bisa dipertimbangkan agar Ningsih diasingkan sementara di Hutan Angker.”
Itulah sejumlah masukan dari kerabat yang benar-benar dipertimbangkan oleh Adipati Yono Sumoto.
Karena kondisi Ningsih Dirama yang sangat mendesak, maka Adipati Yono Sumoto membuat sayembara seperti kisah-kisah dongeng zaman dahulu.
“Barangsiapa yang mampu menyembuhkan dan mengembalikan kondisi putri Adipati Yono Sumoto dari teluh jahat dalam dua hari, maka permintaannya akan dikabulkan!”
Demikian bunyi sayembara yang disebar secara manual, bukan digital. Juru sayembara memukul gong dan berteriak mengumumkan sayembara di berbagai tempat di Kadipaten Mendiko. Di pasar-pasar, di sawah-sawah, di jalan-jalan, hingga di tempat judi.
Maka hebohlah warga sekadipaten. Meski hadiah yang ditawarkan tidak disebutkan secara spesifik, tetapi iming-iming itu begitu menggiurkan, yang artinya, jika orang yang berhasil menyembuhkan putri Adipati minta seluruh harta, tentunya akan dikabulkan. Atau bahkan jika minta menikah dengan Ningsih Dirama, pasti akan dipenuhi.
Seluruh tabib dan dukun, dari yang punya hak paten atau sertifikasi kedukunan sampai yang abal-abal atau dukun kaleng-kaleng, berlomba-lomba mendaftar untuk mencoba menyembuhkan putri penguasa itu. Tidak sedikit pun pendekar lelaki yang ikut uji keberuntungan.
Ternyata prosesnya berlangsung cepat, sehingga tidak terjadi penumpukan peserta. Bagi tabib atau dukun yang langsung mual atau muntah, dianggap gugur. Banyak tabib dan dukun yang belum juga masuk ke kamar putri Adipati, langsung muntah karena begitu dahsyatnya bau busuk yang bersumber dari tubuh Ningsih Dirama.
Banyak pula tabib berkualitas yang lolos tantangan bau busuk. Namun, mereka gagal di tahap eksekusi. Teluh yang menimpa Ningsih Dirama bukan sekedar penyakit yang diberi begitu saja lalu ditinggal, tetapi penyakit yang diberi dan dijaga. Karenanya, setiap upaya pengobatannya, si tabib atau si dukun harus bertarung melawan kekuatan gaib yang melindungi penyakit aneh itu. Tidak jarang peserta harus keluar dari kamar dalam kondisi terluka dalam atau muntah darah.
Melihat para tabib dan dukun yang keluar dari dalam rumah dengan kondisi yang tidak baik-baik saja, Adipati Yono Sumoto dan para kerabatnya jadi bingung tidak habis pikir.
Sebagai usaha maksimal, Adipati juga berusaha mencari dalang jahat dari serangan teluh tersebut.
Sugeng Sukoso. Itulah nama yang muncul sebagai orang yang diduga kuat menjadi dalang jahat dari teluh. Nama itu pertama kali disebut oleh Surina Asih. Menurut Surina Asih, pemuda bernama Sugeng Sukoso selama ini jatuh cinta kepada Ningsih Dirama. Di masa lalu, ia beberapa kali terlihat mencoba mendekati Ningsih Dirama.
Dijodohkannya Ningsih kepada seorang raja tentunya membuat Sugeng Sukoso sakit hati. Kira-kira seperti itu analisanya.
Dengan bermodalkan data masa lalu itu, Adipati Yono Sumoto memerintahkan prajurit kekadipatenan menangkap Sugeng Sukoso.
Sugeng Sukoso yang adalah pemuda tampan peternak belut sawah, harus menerima kenahasan. Tanpa mengerti apa-apa tentang tragedi Ningsih Dirama, Sugeng ditangkap dan dihakimi. Segala pembelaannya tidak diindahkan.
Bukan lagi setengah mati Sugeng mencoba membela diri bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi sudah mati-matian ia berusaha meyakinkan orang-orang suruhan Adipati. Namun, Adipati Yono Sumoto yang sudah frustasi sudah gelap mata dan akal.
Sugeng disiksa agar mau mengaku. Namun, pada dasarnya bukan dialah pelakunya, sehingga tidak ada pengakuan apa pun yang diperoleh. Akhirnya Sugeng menyerah, tubuhnya sudah tidak sanggup menerima siksaan.
Tubuh Sugeng Sukoso yang penuh luka parah dan sudah tidak bergerak lagi, dibuang ke dalam sebuah sumur kering yang dalam.
Hingga dua hari kemudian, tidak ada hasil menggembirakan dari upaya yang dilakukan oleh Adipati Yono Sumoto. Semua tabib, dukun, hingga pendekar yang mengaku sakti, gagal total. Sementara itu, bau busuk pada penyakit Ningsih Dirama semakin menjadi-jadi. Para kerabat harus menggunakan kain menutupi hidung mereka, mencoba mengurangi bau busuk yang sudah tercium sampai ke luar rumah.
Pada akhirnya, Adipati Yono Sumoto menemui putrinya, Ningsih Dirama. Mau tidak mau, Adipati harus berbicara kepada putrinya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Sambil menggunakan kain sebagai masker antibau, ia berbicara dari luar jendela kamar, itupun pada jarak sejauh dua tombak. Sementara Ningsih berdiri di balik jendela kamarnya dengan wajah yang hancur, sudah tidak bisa dikenali lagi. Ia hanya terus menangis, tapi sudah tidak meraung-raung lagi.
Sementara anggota keluarga yang lain hanya bisa menyaksikan dari jauh pertemuan ayah dan anak itu.
“Maafkan Bopo, Nduk. Dengan sangat berat hati, Bopo harus mengatakan bahwa Bopo tidak bisa menolongmu lagi. Demi kebaikan kita semua, kau harus kami ungsikan ke Hutan Angker sampai kondisimu pulih!” ujar Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo,” ucap Ningsih Dirama sambil menangis.
Setelah melihat upaya banyak tabib dan dukun yang mencoba mengobatinya, Ningsih Dirama akhirnya hanya bisa berpasrah diri. Bahkan jika ia memang harus mati oleh penyakit itu, ia pun akan pasrah.
“Bersihkanlah dirimu dan gunakan pengharum sebanyak mungkin. Hari ini kau akan dibawa ke Hutan Angker!” perintah Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo!” ucap Ningsih Dirama patuh.
Sementara nun jauh di sana, sang ibu jatuh tidak sadarkan diri karena tidak kuat menahan sedih hatinya.
Setelah itu, Ningsih Dirama dikirimi segentong air wangi dan sejumlah minyak wangi nyong-nyong. Itu bertujuan untuk melawan bau busuk yang dimiliki olehnya.
Sebuah kereta kuda tertutup disiapkan. Kereta itu ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta kuda itu menebarkan aroma harum yang sangat tajam. Entah berapa liter pengharum yang dituang di kereta. Perbekalan pakaian dan makanan sudah disiapkan, termasuk senjata untuk membela diri dari ancaman hewan buas saat tinggal di hutan.
Dan pada akhirnya, tibalah waktunya.
Ningsih Dirama melangkah keluar dari rumah. Ia menutupi seluruh tubuhnya dengan kain berwarna merah. Wajahnya pun ia tutupi. Ia berjalan menunduk menuju kereta kuda yang sudah parkir.
Bau busuk dan wangi bertarung di udara, memberi nuansa yang tidak biasa. Namun, bau busuk masih lebih dominan. Meski demikian, setidaknya bau busuk bisa cukup berkurang karena mendapat tekanan dari berbagai macam aroma wewangian.
Melihat putrinya sudah masuk ke dalam bilik kereta kuda, Rumih Riya kembali jatuh pingssan. Sebagai seorang ibu, ia begitu berduka harus melihat putri kesayangannya pergi dalam kondisi mengenaskan dan ke tempat yang berbahaya pula.
Perjalanan ke Hutan Anker akan dikawal oleh enam prajurit berkuda pilihan. Sais pun adalah sais pilihan. Mereka berstatus pilihan karena kuat menahan bau busuk. Hidung mereka masing-masing ditutupi ikatan kain yang telah diberi minyak wangi yang menyengat.
Di saat itu pula, di tempat lain.
Seorang lelaki bertelanjang dada sedang berlari menyusuri jalan perkebunan di salah satu desa di Kadipaten Mendiko. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun itu tiba di sebuah rumah sederhana dari bambu. Rumah itu posisinya terpencil, tidak memiliki rumah tetangga yang lain selain hanya kebun-kebun.
Lelaki berkumis itu menaiki tangga bambu lalu mengetuk pintu yang tertutup.
Tidak ada tanggapan dari dalam rumah, tetapi terdengar derak lantai yang dipijak oleh langkah kaki. Pintu dibuka dari dalam.
“Naiklah, Jamiko!” perintah orang pembuka pintu sambil berbalik masuk lagi.
Lelaki tidak berbaju yang bernama Jamiko segera naik dan masuk ke dalam. Pintu ia tutup kembali.
Di dalam rumah. Jamiko duduk berhadapan dengan Ki Uyeng Dewo. Tampak orang tua itu baik-baik saja setelah dua hari lalu terluka dalam.
“Ningsih Dimara sudah diberangkatkan ke Hutan Angker, Ki,” lapor Jamiko.
“Baguslah. Artinya, ketika wanita malang itu sudah dilepas di hutan, tugas kita sudah selesai,” kata Ki Uyeng Dewo. “Nanti malam, sampaikan pesan ke Surina agar melunasi janji-janjinya!”
“Baik, Ki,” ucap Jamiko patuh.
“Kau boleh pulang. Nanti hadiah untukmu bisa kau minta setelah Surina melunasi utangnya,” kata Ki Uyeng.
“Baik, Ki. Aku permisi, Ki!” pamit Jamiko.
Jamiko lalu beranjak pergi, keluar lalu pergi meninggalkan rumah terpencil itu.
“Sudah selesai ya?” tanya satu suara perempuan dari ruangan dalam.
Sebelum Ki Uyeng Dewo menjawab, dari dalam berjalan muncul seorang wanita tua gemuk. Meski wajahnya berwarna oleh bedak dan gincu tebal, tetap saja ia terlihat tua karena warna rambutnya yang putih dan kulitnya yang kendor. Wanita berpakaian hijau gelap gombrong itu lalu duduk di hadapan Ki Uyeng Dewo.
“Aku sudah membantumu dengan mengirimkan Teluh Perusak Raga kepada anak Adipati itu. Hanya satu mintaku, jika suatu hari perkara ini bocor, jangan sekali pun kau menyebut namaku!” tandas si nenek.
“Hehehe! Kau tidak perlu khawatir, Gadis Teluh. Sebagai hadiah dariku, setiap bulan aku akan mengirim lelaki muda ke kediamanmu,” kata Ki Uyeng Dewo sambil terkekeh.
“Tapi jangan lelaki muda yang tidak bisa bergoyang!” sentak wanita tua yang disebut bernama Gadis Teluh, matanya menatap tajam kepada Ki Uyeng Dewo yang hanya terkekeh. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
Seasson "Cinta di Hutan Angker" adalah kisah ayah ibunya Joko Tenang. Harap bersabar menunggu satu seasson usai, baru kembali ke kisah perjalanan Joko Tenang dan Istri-istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
delete account
sabar semoga ada yang ketahuan ada kejahatan siapa🤔
2024-05-31
3
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
busyet deh,
2024-05-27
0
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
sadis, gak bukti.
2024-05-27
0