*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Ningsih Dirama duduk di ayunan tali kulit kayu yang diikat di antara dua pohon. Ia duduk berayun sambil menyusui putranya yang diberi nama Joko Tenang. Saat itu ia sedang menjadi penonton bagi pertunjukan suaminya.
Bem!
Anjas Perjana menghentakkan kaki kanannya ke bumi. Tenaga dalam yang menjalar cepat di permukaan tanah membuat sebatang kayu besar mencelat ke udara.
Set!
Anjas mengibaskan sepasang tangannya, melesatkan empat kiblatan sinar tipis kuning yang memotong tajam batang pohon itu.
Plok plok plok!
“Hebaaat!” sorak Ningsih Dirama gembira sambil bertepuk tangan, membuat Joko bayi dan dotnya terguncang-guncang.
Bem!
Anjas kembali menghentakkan jejakannya ke tanah. Lima potongan kayu yang masih besar-besar kompak terlempar tinggi ke udara.
Set set set…!
Selanjutnya Anjas mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan gerakan yang cepat. Maka kiblatan-kiblatan sinar kuning tipis melesat bersusulan dengan sangat cepat membelahi kayu-kayu itu menjadi potongan-potongan yang kecil-kecil.
“Waw!” teriak Ningsih semakin takjub dengan kehebatan suaminya sambil ramai bertepuk tangan sendiri.
“Hahaha!” tawa rendah Anjas jumawa.
Kini kayu-kayu yang layak untuk jadi kayu bakar berserakan di tanah.
“Anjas! Anjas! Anjas! Mamama… Macan Hihihi… Hitam muncul di tititi… timur! Hihihik!” teriak Gurudi yang tiba-tiba muncul sambil berlari girang.
Anjas Perjana lalu mendekat ke bawah ayunan yang tingginya sedada.
“Ayo kita pulang, Sayang!” ajak Anjas Perjana sambil mengulurkan kedua tangannya ke atas, ke arah tubuh istrinya.
Ningsih Dirama menurut. Ia masukkan dulu kendi asi bayinya ke balik pakaian. Ia lalu tinggal melorotkan tubuhnya dari ayunan sehingga jatuh ke tangan Anjas yang menyambutnya mesra. Seperti menurunkan anak kecil, Ningsih lalu diturunkan berpijak ke tanah.
“Apa itu Macan Hitam? Binatang buas?” tanya Ningsih sambil menggendong Joko Tenang kecil yang tertidur pulas dalam buaian ibunya.
“Macan Hitam cukup berbahaya, lebih berbahaya dari harimau yang hidup di hutan ini. Aku harus pergi mencegahnya agar tidak sampai berkeliaran ke daerah kita,” jawab Anjas.
Setibanya di rumah, Anjas pamit untuk pergi ke timur agak lama, tapi ia janji tidak akan sampai sore hari.
“Ningsih! Ningsih! Ningsih! Aku mamama… mau ikut Anjas!” Gurudi minta izin pula kepada Ningsih.
“Iya,” jawab Ningsih mengangguki Gurudi.
“Jangan pergi ke mana-mana sebelum aku kembali. Tempat ini akan aku pagari dengan ilmu perisai sehingga tidak akan ada binatang buas yang datang,” kata Anjas.
“Iya. Hati-hati, Kang Mas,” ucap Ningsih seraya tersenyum.
Cup!
Kecupan di pipi kanan Ningsih Anjas berikan sebelum pergi.
“Hihihik…!” tawa Gurudi melihat hal itu.
Anjas dan Ningsih hanya tersenyum melihat Gurudi kesenangan. Anjas lalu berjalan pergi, Gurudi mengikuti. Maka tinggallah Ningsih berdua dengan bayi cantiknya.
Rupanya agak jauh Anjas dan Gurudi pergi.
“Ada apa kalian datang ke hutan ini?” tanya Anjas kepada tiga orang lelaki saat tiba di suatu tempat di sisi timur hutan.
“Hormat kami, Yang Mulia Pangeran!” ucap ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu sambil berlutut satu kaki dan menghormat dengan kepala menunduk dalam.
“Bangkitlah!” perintah Anjas Perjana.
Ketiga lelaki yang wajahnya juga dicat hitam itu segera bangun berdiri.
“Katakan!” perintah Anjas yang ternyata adalah seorang pangeran.
“Gusti Mulia Raja Geger Mahapaksi Taruna memanggil pulang Yang Mulia Pangeran ke Kerajaan Sanggana,” ujar salah satu dari ketiga lelaki itu.
“Apakah hanya itu?” tanya Anjas.
“Selain untuk menerima tahta, Yang Mulia Pangeran juga akan dinikahkan dengan putri Pangeran Ungkar Babakan,” jawab prajurit itu.
Meski tampak tenang, Anjas sebenarnya terkejut di dalam hati. Ia tidak menyangka ayahnya akan cepat berniat turun tahta. Masalah rencana pernikahan, Anjas sudah tidak terkejut lagi. Meski ia belum pernah bertemu dengan putri dari Pangeran Ungkar Babakan, ia beberapa kali mendengar bahwa ia akan dijodohkan dengan putri pamannya, tetapi ia tidak begitu mempedulikannya.
Pada saat yang sama, satu rombongan besar prajurit berseragam hijau gelap bergerak tidak jauh dari tempat tinggal Anjas Perjana.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini rombongan itu jumlahnya lebih banyak, mungkin ada lima puluh prajurit dengan dua pemimpinnya.
Orang yang biasa yang memimpin adalah Panglima Siluman Pedang. Namun kali ini, ada seorang lelaki muda tampan berpakaian merah gelap berlapis jubah mewah berwarna hitam. Rambutnya yang digelung menggunakan mahkota kecil yang menunjukkan derajatnya sebagai seorang raja. Pemuda gagah berambut pendek itu adalah junjungan Panglima Siluman Pedang dan semua prajurit, yaitu Prabu Raga Sata.
Ia begitu menginginkan calon selirnya ditemukan, hidup atau mati. Kemurkaannya memuncak karena orang saktinya yang ia utus untuk mencari di Hutan Angker, selalu pulang tanpa hasil, kecuali laporan bahwa ia yakin ada orang yang tinggal di Hutan Angker. Itu satu tahun lamanya.
Kali ini, Prabu Raga Sata turun langsung untuk memimpin pencarian Ningsih Dirama. Ia pun membawa sepuluh prajurit pribadinya yang berseragam putih-putih.
Ia telah menolak rekomendasi Adipati Yono Sumoto tentang calon selir pengganti Ningsih Dirama. Bahkan karena kemarahannya, Adipati Yono Sumoto kini dimutasi turun pangkat menjadi seorang demang yang memimpin Kademangan Uruk Sowong.
Sebenarnya sudah agak lama rombongan itu melakukan pencarian. Mereka bahkan menemukan serakan potongan-potongan kayu hasil pertunjukan Anjas Perjana tadi.
“Orang yang tinggal di hutan ini memiliki kesaktian tinggi,” kata Prabu Raga Sata kepada panglimanya.
“Aku pun menduga demikian, Gusti Prabu,” ucap Panglima Siluman Pedang.
Pada ketika mereka lewat di dekat kediaman Anjas Perjana, Prabu Raga Sata berhenti. Ia memandang ke arah pohon yang dilihatnya tidak ada pohon.
Baik Prabu Raga Sata, Panglima Siluman Pedang, dan para prajurit tidak melihat keberadaan pohon besar tempat beradanya tiga buah rumah bambu di dahannya. Mereka pun tidak melihat keberadaan benda-benda yang menunjukkan bahwa tempat itu adalah sebuah lingkungan kediaman. Namun, Prabu Raga Sata bisa merasakan keberadaan perisai gaib di depannya.
Prabu Raga Sata lalu memperbaiki arah berdirinya menghadap ke kediaman Anjas Perjana yang di atasnya ada Ningsih Dirama dan putranya.
Zerss! Booom!
Tiba-tiba sepasang tangan Prabu Raga Sata bersinar biru. Selanjutnya Prabu raga Sata maju selangkah sambil kedua telapak tangannya menghentak, menghantam satu lapisan tidak terlihat.
Hantaman tenaga sakti itu mengguncangkan apa yang ada di dalam perisai dan tabir gaib. Alangkah terkejutnya Ningsih Dirama merasakan guncangan seperti gempa dahsyat itu. Suara hantaman itupun terdengar keras.
Buru-buru Ningsih Dirama keluar dari rumah bambunya sambil menggendong Joko Tenang yang tidak terbangun. Ia kembali terkejut saat melihat di bawah sana ada banyak orang, yang juga mendongak melihat ke arahnya.
Terkejut pula Prabu Raga Sata melihat kemunculan wanita cantik yang dicarinya. Seketika ia marah, terlihat dari sorot matanya. Ia marah karena melihat wanita yang begitu diinginkannya telah menggendong seorang bayi.
“Gusti Prabu!” ucap Ningsih Dirama dengan suara bergetar.
“Apa yang terjadi?!” tanyanya dengan berteriak. Ia lalu melompat naik ke salah satu dahan pohon yang sejajar tingginya dengan rumah bambu itu. Terlihat jelas wajah marah lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. “Kenapa kau menggendong bayi? Bayi lelaki siapa itu? Kau telah mengkhianatiku!”
“Ampuni hamba, Gusti Prabu!” ucap Ningsih Dirama cepat sambil berlutut di teras rumahnya. Ia menjadi takut menghadapi kemarahan Prabu Raga Sata.
“Oeeek!” tangis Joko Tenang karena terkejut oleh bentakan Prabu Raga Sata. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
✨𝓛𝓾𝓴𝓪 𝓬𝓲𝓷𝓽𝓪☘︎
lalu apa yang terjadi?/CoolGuy/ pada Joko itu menangis terus
2025-03-14
0
Budi Efendi
mantap thorrr
2023-01-29
0
aim pacina
🙏🤲❤️
2022-09-02
1