*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Sehari dua hari, Ningsih Dirama akhirnya tahun cara menyalakan api. Namun, kondisinya tetap sama, berbau karena luka-luka penyakitnya selalu basah dan mengeluarkan cairan baru terus-menerus.
Ia sudah memilih satu tempat untuk membuat rumah-rumahan, yaitu di bawah sebuah pohon besar yang memiliki akar raksasa yang unik, sehingga Ningsih tinggal menancapkan satu kayu dan memberinya dedaunan sebagai atap.
Ia juga menyediakan tongkat kayu untuk menghalau binatang hutan jika ada yang datang mendekat, seperti ular, monyet, atau serangga-serangga berbahaya.
Meski ia menderita penyakit aneh dan menjijikkan, tetapi Ningsih tidak menderita kelemahan pada fisiknya. Ia tetap bisa melakukan berbagai pekerjaan di hutan, meski itu membuatnya susah payah.
Di hari keduanya di Hutan Angker, Ningsih Dirama merasa ada sepasang mata yang suka mengawasinya.
“Ah, hanya perasaanku saja,” pikirnya, saat awal-awal ia merasakan ada yang mengawasinya.
Namun kemudian, rasa diawasi itu sering muncul, bahkan beberapa kali ia melihat dedaunan semak belukar bergoyang tanpa angin ketika ia menengok. Beberapa kali juga ia mendengar ada suara seperti kaki menginjak daun kering atau ranting kering kecil. Hal itu membuat Ningsih melalui hari dengan rasa was-was.
“Apakah ada manusia lain di hutan ini? Atau itu makhluk dedemit penunggu hutan?” batin Ningsih.
Namun, di hari keempat Ningsih tinggal di hutan itu, ada kejadian yang begitu membuatnya merinding.
Saat Ningsih sedang membakar seekor kadal untuk dimakan, ia kembali merasakan ada yang mengintainya dari balik semak di sisi kanannya.
Ningsih tetap memanggang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya meraih tongkat kayu andalannya.
“Siapa di sana?!” teriak Ningsih sambil menengok tiba-tiba, memandang ke arah semak belukar setinggi dada.
Gsruk!
Saat itu juga, ada suara gaduh di balik semak belukar seiring ada gerakan kuat pada daunnya.
“Jangan kabur!” teriak Ningsih lalu memberanikan diri langsung bangkit berlari ke arah semak. Kayu di tangan kanannya sudah ia angkat tinggi-tinggi ke belakang, siap dipukulkan.
“Hihihihik…!”
Seketika Ningsih berhenti berlari dengan wajah pucat. Perasaannya gemetar ketika mendengar suara tawa nyaring yang berlari menjauhinya.
“A… apa itu?” ucapnya dengan suara bergetar.
Suara tawa yang didengarnya seperti suara perempuan, tetapi dia yakin itu bukan suara perempuan murni, bahkan lebih cenderung seperti suara anak kecil. Jika suara itu milik orang dewasa, pasti ia bisa melihat wujudnya karena tinggi semak hanya sepinggang hingga sedada.
“Mana mungkin ada anak kecil di dalam hutan menyeramkan seperti ini?” pikir Ningsih Dirama.
Akhirnya, dengan membawa rasa takut dan banyak pertanyaan, Ningsih kembali ke perapiannya. Namun, ia harus kecewa bercampur marah, kadal panggangnya telah hilang. Ia tidak tahu siapa yang mencurinya, apakah manusia, dedemit atau hewan hutan.
Namun, Ningsih tidak perlu menunggu berganti hari untuk mengetahui kebenaran tentang penghuni di hutan itu.
Di sore hari, saat ia pulang dari sungai dengan membawa sebatang bambu berisi air, tiba-tiba ia berhenti.
Dek! Dek! Dek!
Samar-samar ia mendengar suara kayu, tetapi ia tidak bisa memastikan suara itu bersumber dari kayu yang diapakan. Ningsih masih beruntung karena saat itu ia tidak ikut acara kuis tebak suara.
Ningsih memutuskan untuk meletakkan bambu yang dibawanya di bawah sebuah pohon dengan baik, agar airnya tidak tumpah percuma. Ia lalu berjalan ke barat, arah yang ia duga asal dari suara kayu itu.
Ternyata benar, semakin jauh ia berjalan, suara itu semakin jelas terdengar. Belum lagi Ningsih tiba atau sampai melihat sumber suara itu, mendadak suara itu berhenti.
Krekr!
Seiring terdengarnya suara kencang kayu patah, Ningsih melihat ada sebatang pohon tinggi yang bergerak perlahan miring lalu meluncur tumbang ke bumi.
Bsruukr!
Ningsih Dirama terbelalak melihat pohon besar yang tinggi tumbang.
“Hihihik…!”
Tiba-tiba terdengar pula suara tawa yang tadi siang Ningsih dengar. Suara tawa itu terdengar begitu gembira, seolah senang dengan tumbangnya si pohon besar.
Rasa penasaran Ningsih Dirama semakin tinggi. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya ke tempat tumbangnya pohon itu. Dan ketika semakin dekat, Ningsih memilih bersembunyi di balik pohon besar dan mengintai dari kejauhan.
Dari tempatnya, ia bisa melihat sebuah pohon besar telah rebah dan melintang di tanah hutan. Di dekat pokok pohon yang masih menyatu dengan tanah, berdiri seorang lelaki berambut gondrong tanpa baju. Ningsih hanya bisa melihat punggung kekarnya yang berotot keras dan celana hitamnya. Bahu kekar kanannya menjadi sandaran sebuah kapak bergagang panjang.
Di atas batang pohon yang tumbang, tampak seorang anak kecil berpakaian serba hijau sedang melompat-lompat kegirangan. Bocah berambut gondrong agak kemerahan itu, seperti sedang bermain-main di atas batang pohon sambil tertawa-tawa nyaring.
“Anjas! Anjas!” panggil si anak kecil tiba-tiba.
Ningsih terkejut ketika melihat anak kecil itu melompat tinggi di udara dengan tubuh berputar seperti putaran yoyo, lalu mendarat di depan kaki si lelaki besar. Maka terlihatlah bahwa anak itu hanya setinggi paha orang dewasa.
“Anjas, lilili… lihat ke sasasa… sana! Hihihik!” kata si anak kecil gagap lalu sambil tertawa ia menunjuk ke arah pohon tempat Ningsih bersembunyi.
“Ak!” jerit tertahan Ningsih karena begitu terkejutnya. Ia langsung menarik seluruh kepalanya ke balik pohon. Jantungnya seketika berdetak kencang. Ia sepertinya benar-benar ketahuan.
“Hihihik…!” tawa si anak kecil, masih berada di tempatnya.
“Bagaimana ini?” ucap Ningsih lirih kepada dirinya sendiri.
“Tidak bagaimana-bagaimana, Nisanak. Keluarlah, tidak usah sembunyi!”
Gong!
Seperti ada pukulan gong di atas ubun-ubun Ningsih yang membuatnya terkejut bukan main. Suara lelaki itu terdengar begitu dekat, seolah ia berbicara dari balik batang pohon. Ningsih dilanda kebingungan.
Selanjutnya, tidak ada suara lelaki itu lagi. Yang terdengar hanya suara anak kecil sakti tadi, yang bisa berputar di udara seperti putaran yoyo. Tidak berapa lama, suara tawa si anak kecil juga berhenti terdengar.
“Tidak mungkin aku diam seperti ini terus…” ucap Ningsih dalam hati.
Ia lalu memutuskan untuk bergerak. Ia kembali menjulurkan wajahnya untuk mengintip.
“Hah!” desah Ningsih terkejut, ternyata lelaki tidak berbaju itu masih ada berdiri di balik batang pohon, seolah sengaja sabar diam menunggu dirinya keluar.
Lelaki yang ternyata masih muda itu tersenyum kepada Ningsih Dirama. Jelas-jelas pemuda yang ternyata tampan itu sudah melihat wajah buruk Ningsih.
Ningsih buru-buru kembali menarik wajahnya ke balik pohon. Selain ia terkejut karena lelaki itu seorang pemuda tampan berkumis tipis, ia juga sangat malu.
“Daripada kau hidup sendiri di hutan ini, alangkah baiknya jika kita hidup bersama. Oh maaf, maksudku hidup dalam lingkungan yang sama. Aku dan Gurudi bukan orang jahat,” ujar pemuda itu dengan lembut.
Sejenak Ningsih terdiam. Otaknya berpikir cepat, karena ia harus menentukan pilihan saat itu juga.
“Si… siapa kau, Kisanak?” tanya Ningsih tergagap, tanpa berani menunjukkan wujudnya kepada lelaki itu.
“Namaku Anjas Perjana. Aku tinggal di hutan ini. Kau adalah tamu yang belum meminta izin kepadaku,” jawab pemuda yang mengaku bernama Anjas Perjana tersebut.
“Ke… kenapa kau tidak terganggu oleh bau busukku?” tanya Ningsih.
“Hahaha!” Anjas tertawa pelan. “Pada hari pertama kau datang aku sudah terganggu oleh bau busukmu. Tapi akhirnya aku terbiasa, sama seperti kau terbiasa oleh bau busukmu sendiri.”
“Jadi, kau sudah tahu kedatanganku di hutan ini sejak hari pertama?” tanya Ningsih terkejut, tapi belum berani keluar.
“Iya. Gurudi bahkan selalu mengintipmu. Katanya mau berkenalan denganmu, tetapi dia terlalu malu. Hahaha!” kata Anjas dengan nada akrab dan santai. “Baiklah, pilihan ada di tanganmu. Tapi aku dan Gurudi tidak akan menyakitimu atau berniat jahat kepadamu.”
Anjas Perjana lalu berbalik dan melangkah pergi. Ningsih bisa mendengar langkah kaki pemuda itu, padahal tadi ketika ia datang, tidak terdengar sedikit pun.
Ningsih Dirama dengan ragu-ragu lalu mengeluarkan wajahnya, mengintip kembali Anjas Perjana.
“Hihihik! Anjas! Dididi… dia mememe… mengintip lagi! Hihihik…!” teriak Gurudi kepada Anjas sambil menunjuk ke arah Ningsih. Ia tertawa panjang menilai hal itu lucu.
Buru-buru Ningsih bersembunyi lagi saat Anjas Perjana menengok ke belakang.
Anjas Perjana yang melihat sekilas gerakan bersembunyi Ningsih Dirama hanya tersenyum. Ia lalu melanjutkan langkahnya ke arah batang pohon yang sudah tertidur di tanah. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
Elmo Damarkaca
Ha...ha ha ha🤣🤣🤣🤣
2023-05-02
2
Budi Efendi
lanjutkan mantappp
2023-01-29
0
aim pacina
🔥💪👍
2022-09-02
1