*Cinta di Hutan Angker (Cihua)*
Hutan ini dinamai oleh warga sekitar dengan nama Hutan Angker. Lokasinya ada di luar Kadipaten Mendiko. Alasannya singkat dan mudah, yaitu karena angker. Jangankan untuk memasukinya, mendekatinya saja sudah membuat nyali jatuh ke titik paling rendah.
Banyak cerita tentang Hutan Angker. Jelasnya, banyak kenangan buruk di hutan itu bagi warga sekitar.
Selain lebat, hutan itu juga memiliki karakteristik liar. Karena citra “angker” yang sudah kadung melekat pada identitasnya, membuat Hutan Angker jarang dimasuki oleh manusia, sehingga kealamiannya sebagai hutan paru-parunya dunia, terjaga dengan baik. Kaum satwa pun nyaman tinggal di hutan ini, serasa tinggal di hunian kelas mewah.
Namun pada senja ini, serombongan orang memberanikan diri untuk masuk ke dalam hutan. Mereka berani karena urusan darurat, yaitu membuang, atau istilah halusnya mengungsikan, putri Adipati Yono Sumoto yang terkena teluh jahat. Jika tugas itu tidak mereka tunaikan, maka mereka akan kena PHK atau dirumahkan oleh sang adipati. Maka, mau tidak rela, mereka harus tuntaskan tugas tersebut. Mereka masih bersyukur perintahnya hanya membuang, tidak seperti cerita dongeng negeri sebelah, yang selain membuang juga pakai perintah membunuh.
Dengan perasaan yang berdebar-debar pula, para prajurit kadipaten itu memasuki hutan sambil pandangan mereka melihat ke sana dan ke sini, khawatir ada banyak dedemit bergelantungan di atas pohon yang besar-besar. Suara khas burung dan binatang hutan lainnya terdengar sahut-menyahut, bukan karena senang menyambut kedatangan mereka, tetapi mereka menganggap ada pelaku pembalakan liar yang datang.
Ketika kuda dan keretanya sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih ke dalam, lantaran medan hutan yang tidak mendukung, maka secara resmi, Ningsih Dirama diturunkan di hutan tersebut.
“Hanya sampai di sini, Gusti!” sahut seorang prajurit yang memimpin perjalanan tersebut.
“Baik,” jawab Ningsih Dirama.
Ningsih Dirama lalu turun dari kereta. Ia membawa semua perbekalannya. Ia hanya berdiri menunduk, seakan malu memperlihatkan wajahnya kepada para prajurit itu.
“Maafkan kami, Gusti. Semoga Gusti baik-baik saja tinggal di hutan ini!” ucap prajurit itu.
Ningsih Dirama tidak menjawab. Ia hanya berdiri terdiam. Rombongan prajurit itupun dengan tega memutuskan berbalik pergi meninggalkan Ningsih Dirama.
“Hiks hiks hiks…!”
Barulah ketika para prajurit itu menjauh, Ningsih Dirama yang mencoba tegar akhirnya menangis sesegukan. Ia turun berjongkok di tempatnya, menangisi nasibnya.
Cukup lama ia menangis di tempatnya itu. Hingga akhirnya ia pun berpikir.
“Tidak mungkin aku hanya bisa menangis sepanjang waktu. Kini aku sendiri. Hanya diriku sendiri yang bisa membuatku bertahan, hanya aku sendiri yang bisa membuatku melewati bencana ini. Aku tidak boleh lagi memikirkan kecantikan. Aku tidak boleh lagi memikirkan Prabu Raga Sata. Aku harus memikirkan bagaimana caranya aku bisa bertahan di hutan liar ini….”
Maka mulailah Ningsih Dirama bangkit dan berjalan menembus hutan lebih dalam. Jika bukan dirinya sendiri, siapa lagi yang bisa ia andalkan. Hutan pun mulai menggelap karena hari memang mulai menuju petang.
Semakin gelapnya hutan, memaksa Ningsih harus menyalakan api. Berbagai cara ia coba untuk mengnyalakan api, tetapi tidak ada cara yang berhasil. Alhasil, ia memilih diam dalam kondisi gelap-gelapan di bawah sebuah pohon besar. Ia duduk meringkuk di sudut akar pohon yang besar.
Malam terus merayap. Hingga tengah malam, Ningsih tidak bisa tidur. Pikirannya berkecamuk di dalam ruang buntu. Perasaannya dihantui ketakutan karena berada di dalam gelap gulita, sementara banyak suara satwa yang hilir berganti terdengar, ada yang jauh dan ada pula yang sangat dekat.
Barulah ketika menjelang pagi, Ningsih Dirama tidak kuat menahan kantuknya. Ia tertidur.
Grrr!
Tiba-tiba suara geraman binatang buas terdengar yang membangunkan Ningsih dari tidurnya.
“Hah! Aaa…!” kejut Ningsih Dirama lalu menjerit panjang karena ketakutan. Karena ia duduk meringkuk di sudut akar besar sebuah pohon, jadi ia tidak bisa lari ke mana-mana.
Seekor harimau berkulit loreng berdiri diam menggeram, sudah memasang ancang-ancang sambil menatap tajam kepada Ningsih yang baru terbangun. Ia seolah siap melompat menerkam. Cukup sekali lompatan saja, maka akan habislah Ningsih tercabik-cabik.
“Pergi! Pergi! Jangan makan aku! Aku bau busuk, pasti tidak enak! Pergiii!” teriak Ningsih penuh ketakutan.
Ia memungut potongan ranting kecil sepanjang kelingking di dekat kakinya. Lalu dilemparkan kepada si harimau.
Ranting itu memang mengenai kepala si harimau, tetapi si raja rimba itu hanya menyeringai. Si harimau berjalan mondar mandir ke kanan dan ke kiri sambil pandangannya terus menatap kepada Ningsih Dirama yang tidak berkutik.
“Husy husy husy!” usir Ningsih dengan suara pelan, tapi bergetar. Ketakutannya sudah sampai di puncak, lututnya bahkan gemetar. Ia sudah pasrah. Hanya itu yang selalu bisa ia lakukan.
Grraur!
Harimau besar itu mengaum kencang ke arah Ningsih, tetapi tidak maju menyerang. Serasa copot jantung di dalam dada Ningsih.
Ningsih jadi terkejut sendiri, ketika si harimau memilih berbalik pergi. Meski selamat, Ningsih jatuh terkulai lemah dan lega. Akhirnya dia menangis lagi.
“Betapa malangnya nasibku…” ratapnya.
Sementara itu di kediaman Adipati Yono Sumoto.
Setelah kepergian Ningsih Dirama untuk diungsikan ke Hutan Angker, keluarga besar Adipati Yono Sumoto segera kerja keras membersihkan dan kemudian mewangikan rumah. Pasalnya, tidak lama lagi Prabu Raga Sata akan datang.
“Surina, segera percantik dan harumi dirimu. Semoga Prabu Raga mau menerimamu sebagai pengganti adikmu!” kata Adipati Yono Sumoto.
“Baik, Bopo!” ucap Surina Asih patuh, sementara di dalam hatinya ia jingkrak-jingkrak kegirangan tanpa beban.
Surina Asih lalu segera pergi luluran menggunakan bedak-bedak kecantikan. Abdi-abdi perempuan baramai-ramai membantunya. Berbagai macam air ia pakai untuk mandi, dari mandi air kembang delapan rupa, mandi air susu, sampai mandi air madu pun ia lakoni demi menjadi madu dan selir.
Benar dugaan keluarga besar Adipati Yono Sumoto. Rombongan dari Kerajaan Siluman akhirnya datang. Seorang prajurit penjaga batas kadipaten datang lebih dulu melapor tentang kedatangan rombongan tersebut.
Maka mendadak sibuklah Adipati Yono Sumoto dan keluarganya. Tidak hanya sebatas keluarga, warga kadipaten pun diminta sibuk untuk memberi sambutan penghormatan jika dilalui oleh rombongan dari kerajaan.
Rombongan dari Kerajaan Siluman adalah sebuah kereta kuda mewah warna kuning emas yang ditarik oleh dua kuda warna putih bersih. Kereta kuda itu dikawal oleh dua puluh satu orang prajurit berkuda berseragam hijau gelap.
Dari rombongan itu, terlihat seorang lelaki gagah berpakaian hijau terang memimpin rombongan. Namun, perawakannya lebih terkesan sebagai seorang pendekar dengan senjata pedang besar tersandang di punggung. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu bernama Panglima Siluman Pedang.
“Hamba Adipati Yono Sumoto dan keluarga menjura hormat kepada Prabu Raga Sata!” ucap Adipati lantang sambil turun berlutut beramai-ramai dengan keluarganya, menyambut kedatangan rombongan di gerbang kediaman adipati.
“Maaf, Adipati. Gusti Prabu Raga Sata tidak bisa datang langsung menjemput calon selirnya!” kata Panglima Siluman yang masih duduk di atas kudanya.
Terkejutlah Adipati Yono Sumoto dan keluarganya mendengar kabar itu, terutama Surina Asih yang sudah tampil secantik mungkin seperti gadis di ajang karnaval Hari Kartini.
“Bangkitlah, kalian semua!” perintah Panglima Siluman Pedang. Setelah Adipati dan kerabatnya bangun berdiri, ia kembali berkata, “Aku adalah Panglima Siluman Pedang. Aku yang diutus mewakili Gusti Prabu untuk menjemput Ningsih Dirama!”
“E… tapi, silakan masuk dulu, Gusti Panglima!” kata Adipati Yono Sumoto agak tergagap.
“Hmm, baik,” kata Panglima Siluman Pedang yang melihat ekspresi tidak normal dari Adipati Yono Sumoto.
Ketika Adipati dan istrinya Rumih Riya memasuki perbincangan serius dengan Panglima Siluman mengenai calon selir untuk Prabu Raga Sata, sang adipati dengan berat hati menceritakan apa yang sebenarnya terjadi terhadap Ningsih Dirama.
“Kau mempermainkan Gusti Prabu, Adipati!” tukas Panglima Siluman Pedang agak keras sambil berdiri dari duduknya.
“Maafkan hamba, Panglima!” ucap Adipati Yono Sumoto sambil turut berdiri dari kursi, tetapi dia membungkuk menghormat kepada sang panglima yang tidak perlu diragukan lagi kesaktiannya. Lalu katanya lagi beralasan, “Hamba tidak ada sedikit pun maksud mempermainkan. Putri hamba Ningsih Dirama benar-benar diteluh oleh seseorang, sehingga kami harus mengasingkannya ke Hutan Angker!”
“Tapi, Gusti. Jika Gusti Prabu berkenan, putri kami yang lain siap menggantikan posisi adiknya sebagai calon selir Gusti Prabu,” ucap Rumih Riya.
“Kalian…” sebut Panglima Siluman Pedang gusar dengan perkataan yang menggantung, menunjukkan betapa marahnya ia.
“Tolong maafkan kami, Gusti Panglima!” ucap Adipati Yono Sumoto sambil turun berlutut menyembah.
Hal yang sama cepat dilakukan oleh Rumih Riya.
“Coba kalian pikirkan, jika yang datang langsung adalah Gusti Prabu Raga Sata, kalian bisa dihabisi hari ini juga!” desis Panglima Siluman Pedang. “Terpaksa aku harus kembali ke Kerajaan untuk melaporkan kejadian ini. Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Tugasku hanya membawa Ningsih Dirama ke Kerajaan. Jika memang tidak ada, maka aku harus melapor.”
“Maafkan kami, Gusti! Maafkan kami!” ucap Adipati Yono Sumoto, seolah-olah statusnya adalah rakyat biasa.
“Sebelum aku kembali ke Kerajaan, coba perlihatkan putrimu yang lain itu!” perintah Panglima Siluman Pedang.
“Iya, iya!” ucap Adipati cepat, seolah mendapat celah angin untuk bisa selamat. Ia lalu menengok ke belakang dan memanggil, “Surina! Tolong keluar sebentar!”
Maka keluarlah Surina Asih dengan keanggunannya. Ia berhenti di dekat pintu lalu menjura hormat kepada Panglima Siluman Pedang.
“Hemm!” gumam Panglima Siluman Pedang sambil manggut-manggut saat melihat kecantikan Surina Asih.
“Namanya Surina Asih, Gusti, kakak dari Ningsih Dirama,” kata Rumih Riya.
“Baik, berharaplah Gusti Prabu tidak murka atas kejadian ini, Adipati!” kata Panglima Siluman Pedang.
Setelah itu, tanpa basa-basi Panglima Siluman Pedang melangkah pergi.
Sekali berkelebat, Panglima Siluman Pedang sudah duduk di kudanya sendiri.
“Ayo berangkat!” teriaknya.
Panglima Siluman Pedang yang datang sebagai utusan, pulang tanpa membawa seorang pun di dalam kereta kuda. (RH)
******************
Novel "8 Dewi Bunga Sanggana" adalah kelanjutan dari novel "Pendekar Sanggana". Bantu dengan like dan komenmu di setiap chapter, agar novel ini cepat sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 281 Episodes
Comments
then_must_nanang
kakak yg cemen.... busuk.. .
2024-07-06
1
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
seorang kk yang tega meneluh adik nya sendiri
2024-05-27
1
ˢ⍣⃟ₛ🇸𝗘𝗧𝗜𝗔𝗡𝗔ᴰᴱᵂᴵ🌀🖌
kasihan Ningsih di hutan sendirian
2024-05-27
1