BAB 16

Mobilku berhenti tepat di gerbang sebuah sanggar dimana tempat Anis melatih siswa bimbingannya.

"Motorku gimana, Ru?" tanyanya ketika sudah memasuki mobilku.

"Gampang," ucapku sembari putar balik, lalu memacu kendaraanku dengan kecepatan sedang.

"Kita mau kemana, sih?" tanyanya lagi yang mungkin mulai penasaran.

"Kejutan!" jawabku singkat. Anis pun tampak manggut-manggut dengan senyuman memikat.

Kuulas senyuman serupa dengan terus fokus pada jalanan di hadapan. Jalan yang akan mengantarkan kami ke kediaman. Kediaman abah dan ummiku yang terletak berbeda kecamatan.

Anis menoleh ke arahku ketika mobil yang kukendarai memasuki pekarangan rumah megah milik abahku.

"Kenapa kita ke sini, Ru?"

"Kenapa? Gak suka?"

"Bukan gitu, tapi aku ...."

"Udah, gak papa, ummi pasti seneng banget ketemu kamu."

Pasalnya sudah lama sekali Anis tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Mungkin ia merasa segan dan tak enak hati. Sudah kujelaskan padanya agar bisa relax diri, namun sepertinya ia masih saja tidak percaya diri.

"Anis apa kabar? Udah lama gak main ke sini." Ummi dengan wajahnya yang tetap ayu walau telah menginjak usia yang hampir kepala empat, bertanya dengan nada lembut.

"Baik, Tante. Saya ...."

"Anis baru balik dari rantauan, Mi." Kupotong kalimatnya yang terdengar ragu-ragu itu.

"Apaan, sih, kamu?" Ia berbisik di telingaku. Kini ia duduk tepat di sampingku berhadapan langsung dengan abah dan ummi.

Ummi tersenyum tipis, lalu bergegas ke dapur sejenak. Mungkin akan menyiapkan hidangan spesial untuk calon menantu idamannya itu.

Apa?

Menantu idaman?

Oh, ya, aku lupa menceritakannya. Anis adalah menantu idaman ummiku. Saat pertama kali Anis berkunjung ke rumah ini bersama Dini waktu ia duduk di bangku SMA, ummi sudah mulai menyukai perangai, adab, dan tutur bahasanya yang ramah.

Sejak itulah ummi mulai menyukai Anis, dan mengharapkannya sebagai menantu.

Sementara ummi berada di dapur, abah mengambil peran dan mulai menyapa gadisku itu.

"Sekarang kerja dimana, Anis?" Abahku, dengan suara baritonnya bertanya seolah sedang menginterogasi.

Anis menoleh sekilas ke arahku lalu menjawab, "Saya Pelatih Vocal freelance, Om. Tapi sekarang lagi kontrak sama sanggar kabupaten."

"Wah, hebat! Papamu sehat? Udah lama om gak ketemu sama beliau," lanjut abahku sembari menyesap asap kematian yang bertengger gagah di ujung jari tengah dan telunjuknya.

"Alhamdulillah papa sehat, Om."

Ingin rasanya aku tertawa lepas karena melihat ekspresi wajah Anis yang menegang seperti itu. Sekilas kulihat ia memelototiku karena sadar bahwa aku sedang menahan tawaku.

Beberapa menit kemudian, ummi kembali menghampiri kami, lalu menyuruhku membawa Anis menuju meja makan. Gadis itu tampak ragu berbalut rasa malu.

"Gak papa, Nis. Sana makan siang dulu sama Heru. Tante dan Om udah makan tadi." Ummi seakan mengerti dengan perasaan gadis itu.

"I-iya, Tante."

Ia lantas mengekori langkahku setelah berpamitan kepada abah dan ummi.

"Kamu tuh, bener-bener ya, bikin jantungku hampir copot tau gak?!" sergahnya ketika kami berdua sudah berada di meja makan.

"Emangnya kenapa?" Aku merespon sambil terkekeh geli. Kumasukkan satu sendok nasi beserta ikan dan sambal goreng favoritku dalam sekali suapan.

Anis melirikku sinis seakan tidak suka dengan tanggapanku. "Malu tau, Ru."

"Malu kenapa? Lagian abah sama ummi kayaknya seneng banget tuh bisa ketemu sama kamu," ucapku untuk menenangkan hatinya. Tetapi, memang begitulah kenyataannya, wajah abah dan ummi tampak sumringah setelah bertemu dengannya.

Setelah makan siang, aku pamit pada kedua orang tuaku untuk mengantar Anis pulang. Motor Anis yang tertinggal di sanggar pun telah diantarkan ke rumahnya oleh orang suruhanku.

Ketika hendak beranjak keluar, abah memanggilku. Kupinta pada Anis untuk menunggu di mobil, sementara aku kembali menghampiri abah.

"Ada apa, Bah?" tanyaku langsung.

"Kalau mau cari calon istri, ya kayak Anis itu. Pintar, baik, sopan lagi. Papanya juga sahabat abah. Jadi, untuk bibit dan bobotnya udah gak diragukan lagi. Bukan malah kayak gadis-gadis yang sering ke sini itu."

Abah sepertinya menyindirku. Memang benar, kedua orang tuaku selalu menegur jika ada gadis lain yang datang ke rumah menghampiriku. Katakan saja, mereka tidak menyukai gadis-gadis itu. Namun, apa boleh buat gadis-gadis itu yang mengejarku.

Wah, nasrisnya aku!

"Udah terlambat, Bah." Aku tertunduk lesu.

"Kenapa? Apa perlu abah yang bicara sama papanya Anis?" Abah sepertinya belum menangkap makna tersirat dari kalimatku.

"Anis itu calon istrinya orang, Bah. Dia udah punya tunangan."

Sejenak abah mematung. Bayangkan saja ekspresi wajahnya seperti wajahku saat itu yang hampir saja pundung.

Terpopuler

Comments

Ayuwidia (hiatus)

Ayuwidia (hiatus)

Tenang Bah, sekarang si Anis memang calon istri orang. Tapi di masa mendatang, Anis jodohnya si Babang Heru ... 😉

2022-06-03

0

Lien machan

Lien machan

anis deg"an di interogasi calon mertua ya🤣🤣

2021-11-30

0

Ria Diana Santi

Ria Diana Santi

Bah, mungkin Anis bukanlah jodohnya anaknya Abah. Yang penting, siapapun jodohnya Heru. Semoga, dia cantik, baik dan Shalihah. Amin! 🤲🏻💪🏻👌🏻Heru! 😉😉😌

2021-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!