BAB 4

Sejak kejadian malam itu. Anis tak lagi berani bertemu denganku. Kalau boleh jujur, hal itu sungguh sangat mengganggu. Mengganggu ketenangan jiwa dan ragaku.

Apakah Ridwan telah mengancamnya?

Atau mungkin hanya pengalihan semata?

Pengalihan atas status hubungan di antara mereka. Entahlah, bahkan aku pun mulai menerka dalam curiga. Apa benar ada hubungan spesial di antara keduanya? Atau mungkin hanya sebagai formalitas semata.

...💞💞💞...

Oh, ya, aku hampir lupa. Ada yang terlewatkan dari kisah ini. Agar para pembaca lebih memahami dan tidak bingung sendiri. Akan aku ceritakan sedikit seputar pendidikan kami.

Aku mengecam pendidikan di sebuah boarding school. Bukan pesantren pada umumnya. Tolong jangan salah menerka!

Istilah boarding school memang sering dikaitkan dengan 'Pesantren'. Padahal, tidak selalu begitu, mungkin karena istilahnya saja yang memang keren.

Ada beberapa yayasan umum di negara ini yang juga menggunakan sistem boarding school. Termasuk sekolahku. Berbagai jenjang pendidikan ada di dalam naungan yayasan. Mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Canggih sekali bukan?

Nah, Ridwan adalah seniorku di Yayasan. Karena waktu itu, ia sudah duduk di bangku kelas dua belas. Satu tingkat di atas Anis.

Benar 'kan kataku waktu itu? Aku pasti kalah telak kalau ingin bersaing dengan Ridwan. Dari segi jenjang pendidikan saja, aku sudah tersisihkan. Apalagi masalah bakat dan keterampilan.

Namun, bukan aku namanya jika menyerah dengan keadaan. Bagiku, masalah hati tidak memandang unsur kepandaian. Bahkan yang sering menjadi masalah adalah ketidaktetapan pendirian.

Dan hal itu, tidak ada di dalam kamusku! Biarlah hatiku tercabik-cabik hingga hancur. Biarlah Anis tak pernah menganggap keberadaanku. Yang jelas, aku akan tetap pada garis lurus. Mencintainya hingga napas terakhirku.

...💞💞💞...

Ini adalah libur semester. Semua pelajar yang menjadi keluarga besar yayasan, menghabiskan libur panjang bersama keluarga kesayangan.

Hari itu kami berkumpul di rumah salah satu temanku. Namanya Fatoni, namun ia tidak masuk di dalam kisah ini.

Kulihat Anis dan Dini memarkirkan motornya di depan rumah Fatoni. Aku, Ridwan, dan teman-teman yayasan yang lainnya juga sudah terlebih dahulu tiba di sini. Ada acara ramah-tamah sekaligus rapat kecil yang akan digandrungi.

Setelah acara selesai, tak berani kudekati Anis. Karena Ridwan tak sedikitpun memberi celah. Diraihnya tangan Anis dan pergi dari rumah Fatoni.

Kuhela napas kasar hampir tidak habis pikir. Sebegitu posesifkah seorang Ridwan Sanusi? Bahkan ia sudah mengumumkan kepada teman-teman kami, bahwa ia dan Anis memiliki hubungan spesial baru-baru ini.

Aku mengernyit. Kenapa harus diumbar? Dengan melihat gelagat mereka saja sudah bisa ditebak. Namun, aku kembali curiga. Kudekati Dini yang sedang berbicara dengan Didi. Kukorek beberapa informasi yang mungkin tidak diketahui oleh orang lain.

Seusai mendengar penjelasan Dini, aku tersentak. Ternyata benar kecurigaanku selama ini. Anis hanyalah korban dari ke-PHP-an seorang laki-laki.

Dini mengatakan bahwa tidak ada ikatan yang jelas di antara kakak sepupunya dengan Ridwan. Yang malah membuat dadaku memanas secara perlahan.

Jadi, selama ini Ridwan telah membohongi kami semua? Tak kusangka sepicik itu pikirannya. Ia sengaja melabeli Anis sebagai kekasihnya, agar tidak ada laki-laki lain yang mendekat padanya.