BAB 3

Setelah Ridwan tancap gas, kulihat senyuman di wajah Anis seakan terkuras. Aku bisa memastikan bahwa Ridwan telah mengatakan sesuatu yang cukup membekas. Sehingga membuat gadisku itu duduk melemas.

Apa?

Gadisku?

Ya, anggap saja begitu!

Karena ini adalah kisahku. Walaupun sebenarnya aku hanyalah seonggok perunggu dari jutaan emas di dunia halu. Namun, tak mengendorkan tekatku untuk terus maju.

Kuberanikan diri untuk angkat suara. Walau bagaimanapun kesalahpahaman ini ada sangkut pautnya denganku juga. Aku tak ingin menempatkan Anis dalam masalah yang bisa membuatnya terluka.

"Biar nanti aku yang bicara sama Kak Ridwan," kataku menenangkan.

Ia memaksakan senyuman, yang aku tahu itu hanyalah untuk menjaga kode etik kesopanan.

Karena ingin memberinya waktu untuk menyendiri, akhirnya aku memutuskan untuk pamit undur diri.

Namun, ketika kedua tungkaiku menjejaki mulut pintu, kalimat dari sepasang bibir Anis pun menghalangiku.

"Aku ikut kamu, Ru. Bawa aku ke mana pun. Aku butuh udara segar." Seakan dikuasai emosi negatif, Anis seakan tak mau ambil pusing.

Aku terhenyak. Tak menyangka dengan permintaanya. Bukannya tidak bahagia, tentu saja aku bahagia, jika dia duduk dan bertengger di belakang sepeda motorku. Tetapi, apakah tidak semakin berbahaya?

Maksudku, bagaimana jika Ridwan mengetahui ini semua. Bisa kupastikan akan terjadi perang dunia ketiga. Tetapi aku tidak ingin mengecewakannya. Maka dari itu, aku setuju-setuju saja. Lagi pula, aku tidak akan macam-macam dengannya.

Kutancapkan gas sepeda motorku membelah jalanan kota. Selama perjalanan tak sedikitpun Anis melontarkan kata-kata. Bahkan aku hampir berpikir bahwa ia sedang menangis dalam diam. Namun, tebakanku meleset.

Beberapa menit kemudian kudengar ia mengatakan sesuatu, 'TAMAN KOTA'.

Kuparkirkan motorku di pelataran taman. Dapat kami lihat banyaknya remaja yang menghabiskan malam mereka di pojokan.

Ah, biasalah! Remaja zaman sekarang!

Anis berjalan mendahuluiku menuju muka taman. Terdapat anak tangga yang menghubungkan antara tempat parkiran dan bagian dalam.

Ia memilih anak tangga itu sebagai tempat duduknya. Aku pun menyusul dan duduk agak jauh darinya. Namun, masih bisa kutangkap sorot kesedihan yang menggerogoti wajah ayunya.

Tanpa banyak bicara, kami berdua hanya menontoni para remaja berseliweran di sekitar. Bagaimana caranya memulai percakapan? Otakku bahkan sedang berada di dalam mode bingung setengah berputar.

Di saat lidah ini hampir berucap, kulihat Ridwan dan teman-temannya juga berada di sana. Anis pun menyaksikannya.

Lalu, kami saling bertukar pandang. Ada niat ingin menghindar, namun terlambat. Ridwan sudah melangkah mendekat, dan menarik tangan Anis menjauh dengan ekspresi wajah emosi akurat.

Kupandangi mereka dari kejauhan. Bisa kulihat Anis sudah menangis dan samar-samar kudengar ia mengucapkan kata 'maaf'. Tetapi, Ridwan seolah tidak mau mendengarkan.

Dasar lelaki tak berperasaan!

Anggap saja aku sedang menyaksikan drama serial FTV dalam saluran televisi nasional. Yang sedang menampilkan lakon perdebatan antar dua sejoli dalam garis normal.

Beberapa saat kemudian, tampak Ridwan meninggalkan Anis sendirian, setelah tatapan tajamnya padaku ia lontarkan.

Kuhampiri Anis yang kini sudah menangis sesegukan. Tak berani kupegang pundaknya, walaupun sebenarnya itulah yang aku inginkan.

"Apa benar aku ini sama dengan cewek lain? Hiks ... hiks ...," tanyanya disela-sela isakan.

Aku mengernyitkan dahi mencoba memahami, kemana arah pembicaraannya saat ini.

"Siapa yang bilang begitu?" Pertanyaan pancingan untuk membuatnya sedikit lebih terbuka, kulontar balikkan.

"Ridwan," jawabnya singkat sembari membuang pandangan ke sembarang arah. Agaknya ia berusaha menyembunyikan air muka yang sudah tak lagi sumringah.

Aku diam sejenak, mencoba menemukan kalimat terbaik yang bisa meluruhkan perasaannya yang mungkin sangatlah hancur.

Ingin sekali kurengkuh tubuh mininya yang memang normal untuk ukuran gadis seusianya. Namun, hal itu hanya ada dalam anganku saja. Karena aku tidak mungkin melakukannya.

Kuraup oksigen sebanyak-banyaknya, agar memberiku ide cemerlang untuk berkata. Sebenarnya pertanyaan Anis sangatlah sederhana. Hanya, aku saja yang begitu mengkhawatirkannya, sehingga tak bisa lagi berdusta.

"Kakak beda kok sama cewek lain, Ridwan aja yang gak sadar diri. Bisa-bisanya ninggalin cewek sebaik Kakak," kataku yang terdengar seperti gombalan recehan.

Anis tersenyum sekilas. Mungkin ia sedang berpikir kalau aku ini sedang tidak waras.

Ya, aku memang tidak waras. Masih saja mengharapkan gadis yang sudah jelas-jelas mencintai lelaki yang lebih tidak waras.

Terpopuler

Comments

ÑööKië

ÑööKië

hmmm....... brasa Heru tuh kak aTa.. 🤭

cuma di rename ajah.. 😁🙏🏻🙏🏻😄😄😄

2022-06-03

0

Ayuwidia (hiatus)

Ayuwidia (hiatus)

Aku senyum-senyum baca kata-katamu ini, Bang 😁

2022-05-27

0

ᰔᩚ 𝙼𝚊𝚖 𝚄𝚖𝚎𝚢𝚜 ♡ᰔᩚ

ᰔᩚ 𝙼𝚊𝚖 𝚄𝚖𝚎𝚢𝚜 ♡ᰔᩚ

😂😂😂😂

2022-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!