BAB 11

Keesokan harinya, kucoba menyapa Anis melalui chat dalam sebuah aplikasi hijau berbentuk kotak dengan icon tulisan berwarna hitam di tengah-tengahnya. Mungkin sekarang, aplikasi itu tak lagi setenar dulu, yang menjadi favorit anak-anak remaja bahkan dewasa pada masanya.

^^^Kak Anis, lagi sibuk gak?^^^

^^^Heru^^^

Entah dia masih menyimpan kontak ponselku atau tidak, aku tidak bisa menebak. Hanya balasannya yang bisa menentukan dan membuat misteri itu tersibak.

^^^Masih ada giat, Ru^^^

^^^Kamu dimana?^^^

^^^Oke, aku simpan ya^^^

Baiklah, jelas sudah. Ia tak lagi menyimpan kontakku. Namun tidak masalah, selagi hatinya masih bersamaku, maka seratus kontak pun akan kubiarkan membeku.

^^^Aku juga masih di kantor^^^

^^^Nanti malam bisa ketemu?^^^

Tak lagi bisa kutahan rasa rindu yang teramat membelenggu. Walaupun terdengar agak mendesak, namun tentu saja aku tak bisa memaksakan kehendakku.

Tiga puluh menit berlalu, masih tak ada jawaban dari Anis. Aku bahkan tidak bisa fokus dengan rancangan di dalam genggamanku yang hampir saja selesai, bahkan hanya tinggal menambahkan satu garis.

Kulirik arlogi berkepala hitam di pergelangan tanganku. Sesekali kuintip juga penunjuk waktu yang tertera di ponselku. Tetapi, tidak ada yang salah dengan penunjuk waktu itu. Memang karena Anis saja yang tak kunjung membalas pesanku.

Kuhela napas pelan, agar teman-temanku yang lain tidak terganggu. Aku sedang berada di salah satu kantor dinas pemerintahan daerah yang akan mengadakan perehapan total pada gedungnya. Dan aku mendapatkan kesempatan untuk membuat rancangan barunya.

Pekerjaanku sudah hampir selesai, namun hatiku semakin gelisah. Tak biasanya aku begini, seolah sedang tersesat tak tentu arah. Bagaikan kehilangan sesuatu yang sama sekali tak bisa aku jarah.

Ingin rasanya aku melakukan panggilan suara. Tetapi jempolku ini seakan mati rasa. Untuk menekan tombol panggilan saja seperti tak kuasa.

Dalam sejenak aku bergeming. Memandang kembali ke arah ponsel yang tak kunjung berdering.

Tepat pada menit ke enam puluh, nama Anis muncul pada notif di jendela layar atas. Kuukir senyuman mengembang bak kue blodar, lalu menarik napas. Lega sekali rasanya, setelah membaca pesan yang ia balas.

^^^Boleh, Ru^^^

^^^Mau ketemu dimana?^^^

Wah, jawaban yang sangat sesuai dengan harapan. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Karena sekarang bukanlah waktunya lagi untuk kami berpacar-pacaran.

^^^Jam 8, Kafe Greenfield^^^

^^^Lantai 2 meja nomor 10^^^

Tentu saja pesan itu aku balas setelah melakukan reservasi dengan pihak yang bersangkutan. Beruntung meja yang kuinginkan masih belum ada yang memesan. Anggap saja ini sebagai bentuk campur tangan Tuhan.

...💞💞💞...

Dengan kemeja panjang hitam dilinting setengah lengan, dipadupadankan dengan celana jeans berwarna biru langit, menjadi pilihan sebagai outfitku malam ini. Ditambah lagi jam tangan hitam melingkar posesif di pergelangan tangan ini.

Sudah hampir sepuluh menit aku tiba di sini. Mendahului Anis dan waktu yang telah kami sepakati.

Apa kalian pikir aku sedang mengajaknya berkencan?

Ya, anggap saja segitu. Walaupun sebenarnya mungkin tidak sama dengan apa yang ada di dalam pikiran gadisku.

Apa?

Gadisku?

Ya, aku masih menganggapnya sebagai gadisku. Sampai kapan pun itu.

Sepuluh menit kemudian, kulihat motor bebek berwarna hitam yang aku kenali pemiliknya, sudah terparkir sempurna. Aku masih bisa memonitor kehadirannya, karena meja yang aku pesan, berada tepat di pinggiran lantai dua.

Kurapikan kerah bajuku yang bahkan tak berantakan sama sekali, dan memaju mundurkannya seolah akan mengikuti seleksi dalam suatu kompetisi modeling antar kota.

Dengan jantung berdegup kencang, ku sentuh dada ini agar bisa normal kembali. Namun, gagal, debarannya malah semakin menjadi-jadi.

Ketika kedua tungkai Anis menjejaki lantai dua, embusan angin malam seolah menerpa wajahku dengan mode lamban. Para pemain biola seakan tengah khusyuk memainkan musiknya di sekitarku, yang sebenarnya itu semua hanya berada di alam khayalan.

Tanpa berkedip sedikitpun kudikte setiap langkah kaki Anis yang semakin bergerak mendekat. Kupandangi kedua bola matanya yang semakin dekat, tampak semakin mengkilat.

Ia duduk tepat di hadapanku dengan mengenakan gaun panjang berwarna senada dengan kemejaku.

Apakah ini yang dinamakan jodoh?

Jika memang benar, berdo'alah untukku, para jombloh!

Terpopuler

Comments

Ayuwidia (hiatus)

Ayuwidia (hiatus)

Dan ternyata, doa para jomblo diijabah ya Bang. Bener kata orang, jodoh nggak akan ke mana ...

Heru untuk Anis, pun Anis untuk Heru

2022-06-03

0

Ririn Rira

Ririn Rira

🤭🤭🤭

2022-05-30

0

Ririn Rira

Ririn Rira

😅😅😅

2022-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!