Aku, Apa Adanya
Nico, buru-buru memarkirkan motorsport-nya. Bergegas berlari menuju kelasnya. Hari ini adalah pertemuan pertama mata kuliah Analisa Numerik.
Sebenarnya ini adalah ketiga kalinya dia mengambil mata kuliah itu. Namun, nilai D yang tak pernah lenyap dari KHS-nya membuat dia terpaksa mengulang lagi tahun ini. Hanya mata kuliah itu, mata kuliah itu saja yang membuat Nico KO. Yang lain kalau nggak jago pasti jago banget.
Entah kenapa dia sangat lemah dengan semua yang mengandung unsur Matematika. Sebenarnya bukan Analisa Numerik saja yang mempertemukan dia dengan angka-angka, Kalkulus I, Kalkulus II, Kalkulus Peubah Banyak dan Aljabar Linier.
Nico dapat melewatinya cukup puas dengan nilai C. Semua berkat usahanya yang tak pernah absen mata kuliah itu. Gencar mengambil hati dosen atau sekadar memanfaatkan wajah gantengnya.
Nafasnya masih tersengal-sengal saat meraih gagang pintu kelas. Nico tercenung saat mendapati kelas sudah penuh dengan mahasiswa-mahasiswa berwajah tegang menatap ke arahnya.
Nico mengitari pandangannya ke sekeliling ruangan.
Nico heran, padahal jadwalnya masih 30 menit lagi tetapi kelas sudah nyaris penuh, hanya dua deretan bangku depan yang masih kosong.
Sial, pikirnya.
Kenapa Nico sampai lupa kalau dosen mata kuliah ini adalah Pak Suprapto. Dosen killer yang membuat semua mahasiswa rajin menundukkan kepala saat berada di kelas. Pasrah Nico melangkah duduk di deretan kedua, matanya kelayapan mencari sahabat-sahabatnya Ardi, Dito dan Rommy.
Setelah melihat keseluruhan ruangan akhirnya laki-laki itu menemukan mereka yang cengengesan duduk di bangku belakang. Nico mengambil ponselnya dari balik saku jaketnya dan langsung mengirim pesan.
"Kenapa loe nggak siapin bangku buat gua di belakang?" ketiknya di layar ponsel.
"Gua pikir loe nggak ngambil kelas ini," balas Dito.
Ketiga temannya ini juga mengulang Analisa Numerik, memang sulit untuk lolos mata kuliah satu ini.
Mata Nico kembali menoleh dan melotot ke arah Dito. Mereka tahu persis kalau tahun ini dia akan mengulang mata kuliah ini lagi.
"Maksud gua, napa loe nggak ngambil di kelas lain? Disini 'kan ada Rebecca, sadar nggak? Loe mau, wajah pucat loe diliatin gebetan?" sambung Dito di WA sambil cekikikan.
Apa? Sial, batin Nico.
Benar juga kelas ini adalah kelas Rebecca, adek kelas cantik yang baru dikenalnya akhir semester yang lalu. Nico menepuk jidatnya sambil menunduk melirik ke arah lain dibelakangnya. Rebecca and the geng. Sibuk mengipas-ngipasi wajahnya. Padahal ruangan ini telah dilengkapi pendingin ruangan. Sepertinya sudah menjadi style mereka berkipas-kipas ria biar kelihatan elegan.
Semoga masih ada mahasiswa lain yang telat dan mengisi deretan bangku di depan, bisik hati sekaligus harapan Nico.
Perasaan akan sedikit lega jika ada mahasiswa yang duduk di depan dan siap dimangsa lebih dulu. Nico menyesal kenapa bisa lalai datang ke kampus. Tak sigap seperti mahasiswa-mahasiswa lain.
Tapi aneh juga adek-adek kelas ini, pada tahu semua kalau pak Prapto mesti dijauhi, mereka pasti dapat bocoran dari kakak kelasnya, umpat Nico dalam hati.
Tak banyak yang datang setelah Nico, padahal lima menit lagi kuliah akan di mulai. Meski begitu Nico masih tetap berharap ada beberapa orang mahasiswa bego lagi yang datang lebih telat darinya. Terus berharap agar bangku di depannya bisa terisi penuh.
Huh, Nico membuang nafas berat sepertinya tak ada lagi mahasiswa yang bisa menutupinya di bangku deretan depan. Detik-detik pak Prapto datang, tiba-tiba pintu terbuka, semua menahan nafas, wajah tegang, mata melotot, jantung deg-degan.
Seorang mahasiswi masuk. Semua langsung menghembuskan nafas lega. Gadis mungil itu melangkah sambil menunduk ke sebuah bangku. Lalu duduk dengan tenang. Tanpa melihat kanan kiri mengeluarkan buku dan langsung membacanya.
Cuek banget nih cewek, batin Nico. Jangan-jangan dia nggak baca berita, lanjut Nico dalam hati sambil melihat gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tak ada yang istimewa, wajah biasa, penampilan biasa. Bahkan tak tersentuh makeup sama sekali, batin Nico.
Laki-laki itu langsung melirik ke arah Rebecca. Lalu kembali menoleh pada gadis yang duduk sederetan dengan bangkunya ini. Nico seperti sedang membandingkan kedua gadis itu.
Kenapa bisa begitu beda padahal mereka sama-sama gadis. Angkatan yang sama, mungkin umurnya juga sama, batin Nico.
Nico membayangkan berapa biaya yang menempel di wajah Rebecca dengan makeup naturalnya. Makeup yang tak terlihat tetapi bisa membuat seorang gadis jadi bertambah cantik.
Jika dihitung? Jeans murahan, kemeja biru polos, ransel yang nggak jelas merk-nya, bahkan jika ditambah dengan kuncitan buluknya itupun nggak bakalan bisa menandingi pengeluaran Rebecca untuk wajahnya. Rebecca memang luar biasa, batin Nico sambil tersenyum sendiri.
Memikirkan hal itu rasa galau dihatinya sedikit berkurang, tak tahu kalau nanti Pak Prapto datang. Tak lama berselang pintu kelas kembali terbuka. Kali ini Pak Prapto benar-benar datang. Meletakkan map di atas meja dosen lalu memandang ke sekeliling ruangan.
Pemandangan yang biasa baginya, melihat mahasiswa-mahasiswa menumpuk di belakang. Pak Prapto memperkenalkan diri sebentar bagi mahasiswa yang baru masuk dikelasnya. Kemudian memulai kuliahnya.
Setelah mengajar beberapa saat, Pak Prapto akan berhenti sejenak untuk bertanya. Itu sudah menjadi ciri khas Pak Prapto untuk memastikan mahasiswanya telah mengerti atau sekadar ingin menakut-nakuti mereka.
"Ada yang belum paham sampai di sini?" tanya Pak Prapto.
Semua mahasiswa sontak menunduk, ada yang pura-pura menulis, ada yang pura-pura berpikir, ada yang pura-pura mencari sesuatu di dalam tas. Tetapi tak ada yang berani memandang Pak Prapto.
Hindari kontak mata! Itu semboyan mereka agar selamat dari dosen satu ini. Tak mendengar jawaban apa pun, Pak Prapto kembali melanjutkan kuliahnya. Kuliah menjadi terasa sangat lama. Sedetik terasa semenit, semenit terasa satu jam. Begitulah pergantian waktu yang terasa begitu lama di ruangan ini.
Di sepuluh menit terakhir Pak Prapto membersihkan whiteboard yang telah terisi penuh oleh catatan-catatan saat menjelaskan kuliah tadi.
Apa kuliah akan berakhir? Semoga kuliah segera berakhir, do'a para mahasiswa.
Mimpi! Sepuluh menit itu sama dengan sepuluh jam penyiksaan. Pak Prapto tak mungkin memberikan discount waktu untuk mata kuliahnya. Pak Prapto kembali menulis di whiteboard, satu soal sudah terpampang di sana.
"Karena tidak ada yang bertanya, berarti semuanya sudah paham," ucap Pak Prapto penuh sindiran.
"Saya akan memilih nama dalam absen ini secara acak," ucapnya sambil mengambil map berisi daftar absen mahasiswa.
"Nama yang dipanggil, maju ke depan dan selesaikan soal ini," katanya sambil mengetuk whiteboard dengan spidolnya.
Deg. Rasanya jantung mau copot.
Gimana nih kalau ke panggil, mana nggak ngerti lagi, batin Nico dan juga mahasiswa lain tentunya.
"Cuma satu soal saja," senyum sadis Pak Prapto.
"Karena semuanya sudah paham, jadi tak akan ada masalah," lanjutnya kembali tersenyum ala tokoh licik.
"Tapi ... jika jawabannya salah, silahkan berdiri di depan kelas sampai ada yang bisa menyelesaikan soal ini dengan benar," ucap Pak Prapto santai tetapi sangat menyakitkan hati.
Kelas riuh, semua galau, buru-buru membaca catatan, langsung berdoa berharap nama hilang dari daftar absen, atau mendadak jam Pak Prapto bergerak lebih cepat dan lain sebagainya.
Waduh, malu banget kalau berdiri di depan kelas, mana ada Rebecca lagi, batin Nico.
Pak Prapto juga tak peduli dengan penampilan, mau orang itu ganteng atau cantik.
'Ganteng-ganteng goblok' kata-kata seperti itu seenaknya melompat dari mulutnya. Biasanya ganteng-ganteng serigala ini malah ganteng-ganteng goblok.
'Cantik tapi tak punya otak' ucapan seperti itu juga pernah keluar dari mulutnya.
Sampai sekarang Nico masih ingat ucapan Pak Prapto yang ditujukan pada seorang mahasiswi cantik dikelasnya waktu itu. Gadis itu seperti trauma, tak berani berdandan cantik lagi setiap kali masuk mata kuliah satu itu. Kalau ada makeup yang bisa membuat wajahnya menghilang mungkin menjadi pilihannya setelah kejadian itu.
Benar-benar tak menghargai usaha orang untuk tampil cantik, batin Nico.
Pak Prapto mulai memanggil nama, yang dipanggil pun maju menghadap ke papan tulis. Mulai menulis jawaban yang tak yakin benar, dengan dengkul yang gemetar, tangan mendadak dingin, kening yang keringatan. Baru menulis dua baris, terdengar suara Pak Prapto memecah sunyi.
"Sana, berdiri agak di pojok!" ucap Pak Prapto sambil menunjuk pojokan kelas.
Sepertinya bapak itu yakin bakal banyak mahasiswa yang akan baris berbaris di situ.
Yang lain? Mata langsung terbelalak, jantung kembali berdebar menunggu siapa yang bernasib malang berikutnya. Lega sebentar saat seseorang memegang spidol di depan. Berdebar lagi saat telunjuk Pak Prapto menyusuri nama yang ada di daftar absen.
Wajahnya serius menatap deretan nama-nama itu, padahal mungkin dalam hatinya malah bernyanyi lagu cap cip cup kembang kuncup pilih mana yang mau di cup.
Sudah tujuh orang yang berbaris di depan kelas sambil menunduk berdoa. Berharap ada yang bisa menjawab soal itu dengan benar atau berharap temannya ikut ke panggil biar sama-sama pegel atau sama-sama malu.
"Kalau gua adu mata kuliah lain, Pak Prapto pasti kalah," bisik Nico ke adek kelas disebelahnya.
"Pak Prapto paling jagonya cuma mata kuliah ini doang," ucapnya lagi.
Adek kelas itu manggut-manggut tak mengerti. Nico menoleh ke samping kanan. Gadis biasa itu sedang melihatnya. Melihat Nico yang menoleh ke arahnya, gadis itu langsung menunduk dan melirik ke arah jam tangannya.
Hmm pasti dia berharap jam kuliah segera habis, batin Nico sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang meremehkan.
Nggak ngaruh, sampai sore pun dijabanin sama Pak Prapto, pikir Nico melihat kegalauan gadis itu yang sebentar-bentar melihat jam.
Pak Prapto masih lanjut memanggil nama satu per satu.
"Belum ada satu pun yang menjawab soal ini dengan benar!" suara bariton Pak Prapto semakin menambah suasana horor di ruangan itu.
"Atau, ada yang ingin langsung masuk ke barisan? Jadi nggak perlu pura-pura berpikir di depan papan tulis," ucap Pak Prapto sakartis. Tiba-tiba gadis biasa itu mengacungkan tangan.
"Mau langsung berbaris di depan?" tanya pak Prapto sinis.
"Saya mau ... men ... menjawab soal pak," jawab gadis itu sambil berdiri ragu-ragu.
"Cobalah!" ucap Pak Prapto.
"Siapa namamu?" tanya Pak Prapto sambil memberi spidol pada gadis biasa itu.
"Reana ... Pak," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.
Mendengar suara Reana yang tak menyakinkan, Pak Prapto merasa tak yakin gadis itu bisa mengerjakannya. Namun, bapak itu tetap membiarkannya mencoba. Reana berdiri siap di depan papan tulis, lalu menoleh ke arah pak Prapto.
"Kalau benar ... saya bisa langsung pulang 'kan Pak?" tanya gadis itu mengingatkan janji Pak Prapto.
"Seisi kelas ini boleh pulang, kalau kamu bisa menjawab dengan benar," ucap pak Prapto sambil menunjuk seluruh ruangan.
Gadis itu, Reana, membersihkan whiteboard yang telah ditulisi teman-temannya. Kemudian mulai menulis baris demi baris, angka demi angka, langkah demi langkah.
Semua menatap hening kearahnya, memperhatikan baris demi baris yang tertulis rapi di papan tulis. Hingga setengah whiteboard terisi, pak Prapto masih belum menghentikannya.
Analisa Numerik, satu soal bisa menghabiskan dua halaman bahkan lebih double folio. Reana hampir menghabiskan papan tulis itu sedikit lagi, semua tercengang, menganga, terkagum.
Berharap gadis itu benar-benar bisa menyelesaikannya dengan benar. Berharap bisa segera terbebas dari camp penyiksaan itu. Begitu juga harapan Nico, dia ingin segera keluar dari neraka ber-AC itu. Reana mengakhiri jawabannya dengan memberi dua garis bawah. Pak Prapto manggut-manggut.
"Gadis ini penyelamat kalian, kalian semua boleh pulang," ucap Pak Prapto pada semua mahasiswa.
Semua mahasiswa bersyukur, do'a mereka terkabul. Segera semua mahasiswa bergerak membenahi buku-buku dan ingin segera kabur.
Selamat.. selamat, ucap mereka dalam hati.
Termasuk Nico yang saat ini masih merasakan nikmatnya duduk di bangku. Sementara Ardi sudah mendahuluinya berdiri di depan kelas.
Bangku keramat, I love you, ucap Nico dalam hati, lalu melirik ke arah Rebecca di depan kelas.
Gadis itu terlihat malu karena tak bisa mengerjakan soal, tapi cuma sebentar. Setelah itu dia berdiri dengan anggun seperti menunggu pengumuman juri pemilihan Puteri Indonesia.
"Sebelum pulang, kalian catat dulu jawaban ini," ucap pak Prapto. Menghentikan mahasiswa yang kasak kusuk ingin segera pulang.
"Saya sudah mencatatnya Pak, apa saya boleh pulang?" tanya Reana, tiba-tiba dihadapan pak Prapto.
Pak Prapto mengangguk setuju, dia yakin gadis itu telah menyelesaikan soal itu dari tadi. Reana bergegas keluar setelah mengucapkan terima kasih. Setengah berlari dia mengejar waktu yang terlewati karena masalah kuliah hari ini.
Ya, dia harus segera pergi. Melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan di sebuah restoran keluarga. Nico terpana, bagaimana gadis itu bisa mengerjakan soal itu dengan mudah.
Terbuat dari apa isi kepalanya? Batin Nico.
Jika Ardi tidak mengagetkannya mungkin Nico masih saja menatap ke arah gadis itu pergi.
"Siapa dia?" pertanyaan bodoh Nico meluncur begitu saja.
"Reana, emang loe nggak dengar?" sahut Dito.
Nico terdiam, kenapa juga dia bertanya begitu. Jelas sekali Nico seperti orang yang terobsesi terhadap sesuatu yang tak bisa dia miliki, yaitu kecerdasan mengerjakan soal Analisa Numerik.
Ardi, Dito, Rommy dan Nico bagaimana mereka bisa bersahabat? Semua berawal saat pertama kali mereka di terima di kampus ini. Nico mulai mencari-cari orang yang terlihat cerdas.
Orang cerdas harus jadi lawan atau diajak temenan.
Kadang Nico senyum sendiri mengingat itu, salah persepsi. Rommy yang berkacamata tebal terlihat seperti orang yang sangat cerdas. Bisa menjadi teman diskusi dalam menunaikan tugas-tugas kuliah.
Kacamata tebal, badan kurus, seperti orang yang lebih mementingkan belajar daripada makan, analisa Nico saat itu. Tapi apa mau di kata, tak sesuai dengan ekspektasi. Kacamata tebal tak menjamin orang menjadi cerdas.
Kalau Ardi dan Dito memang sudah berteman dari dulu karena mereka satu SMA bahkan pernah satu kelas.
Hobi mereka sama yaitu taruhan, imbalannya bisa traktiran makan, tiket konser atau barang-barang yang diincar. Hobi tak bermutu tapi bisa menular pada Nico dan Rommy. Untung tak menjadi wabah.
Berbeda dengan Nico yang berteman dengan Rommy karena ingin menyerap kecerdasannya. Ardi dan Dito memiliki alasan yang lebih sederhana yaitu mencari teman cerdas untuk menyontek. Walhasil, mereka bersatu karena memiliki satu persamaan yaitu sama-sama tertipu kacamata tebal.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Lily
kacamata tebal memang meresahkan 😂
lain kali jangan menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja ya Nico, Ardi dan Dito 🤣
2024-02-27
0
Kinky Can
❤❤
2024-02-12
0
Bang Wind
❤
2023-09-26
2