Reana sudah bersiap-siap untuk pulang, jam kerjanya telah habis. Setelah mengganti seragamnya Reana melangkah ke pantry room untuk berpamitan dengan Bu Shinta.
Tiba-tiba Nella menariknya kembali ke ruangan ganti. Nella memperlihatkan sebuah postingan pada Reana. Melihat judul postingan itu tangan Reana gemetar. Meraih ponsel Nella, menatapnya dengan nanar.
Gadis itu merekam kejadian kemarin, bisik hati Reana.
Teringat kejadian dimana salah satu teman Rebecca bertingkah seperti sedang merekam, Reana mencoba menggagalkannya. Tapi disaat Reana dan Rebecca berdebat, gadis itu tetap melanjutkan rekamannya.
Sebuah postingan video tentang pertengkarannya dengan Rebecca. Seperti kejadian lalu, judul video itu kembali menyudutkannya.
SEORANG PELAYAN MEMAKSA PELANGGAN MEMINUM JUICE YANG BERISI RAMBUT
Reana terhenyak duduk, dadanya sesak. Rasanya tidak sanggup lagi menjalani masa-masa seperti dulu. Saat tatapan sinis, umpatan, hujatan dari orang-orang disekeliling kampus.
Reana teringat akan restoran, video ini bisa berpengaruh terhadap nama baik restoran. Reana segera berlari ke ruangan pak Gunawan. Disana Reana mendapati Bu Shinta yang sedang duduk tertunduk.
Reana mengetuk meminta izin masuk. Pak Gunawan dan Bu Shinta menoleh kearah gadis itu. Sebenarnya Reana tidak tau apa yang harus dikatakannya, tidak tau apa yang ingin diungkapkannya. Kakinya melangkah begitu saja keruangan itu.
Melihat Reana datang, bu Shinta langsung berdiri, meminta izin pada pak Gunawan. Keluar membawa Reana bersamanya, pak Gunawan hanya menganggukkan kepala.
"Bu, saya ingin bicara dengan Pak Gunawan" ucap Reana berlinang airmata.
"Apa yang ingin kamu bicarakan dengannya?" tanya Bu Shinta.
Reana menggeleng, dia sendiri tak tau, tapi perasaannya mengatakan dia harus menemui Pak Gunawan. Dia akan menerima apapun yang diputuskan Pak Gunawan untuknya.
"Pak Gunawan, sudah tau mengenai postingan itu, tapi beliau tidak mengambil tindakan apa-apa" jelas Bu Shinta.
"Tapi, bagaimana dengan restoran?" ucap Reana, suaranya terdengar serak.
"Pak Gunawan yakin, postingan itu tak akan berpengaruh pada restoran" jawab Bu Shinta lagi.
"Benarkah Bu?" tanya Reana ragu.
Bu Shinta mengangguk pelan sepertinya dia sendiri ragu.
"Kamu sudah mau pulang kan? jalani saja harimu seperti biasa, jangan terlalu dipikirkan" ucap Bu Shinta sambil membelai rambut Reana.
Reana menoleh ke pintu ruangan pak Gunawan. Air mata menetes disudut matanya.
Orang-orang di restoran ini sangat baik, tapi apa yang kulakukan pada mereka. Aku hanya mendatangkan masalah, bisik hati Reana.
Malamnya Reana tak bisa tidur dengan tenang. Bayangan masa-masa berat di kampus kembali terlintas. Kali ini tidak hanya kampus, restoran pun ikut terkena imbasnya, itulah yang paling disesali Reana.
Gadis itu menangis dengan memeluk bantal berharap tangisnya tak terdengar. Hatinya tak kunjung tenang.
Tidur yang tak nyenyak membuat tubuh Reana lemas. Bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan yang tak enak. Namun Reana tetap melangkahkan kakinya ke kampus, Reana selalu mengutamakan pendidikannya. Bahkan disaat sakitpun Reana tak mau membolos kuliah.
'Ih... kalo gue digituin, gue cipratin juga, kalo perlu ama meja nya gue tendangin'
Kalimat pertama yang Reana dengar.
'Boro-boro makan disitu mending bagus, pelayannya sengak gitu'
Langkah Reana terhenti, kata-kata yang didengarnya membuat lututnya mendadak lemas hampir terduduk, namun dicobanya untuk bertahan.
Ucapan-ucapan kasar mulai diperdengarkan, kata-kata sindiran mulai diungkapkan. Sengaja atau tidak sengaja mereka membahas postingan itu saat bertemu atau melihat Reana disekitarnya.
Kenapa orang begitu mudah menilai sesuatu yang mereka sendiri tidak paham? jerit hati Reana.
Dikelas terdengar Rebecca dan kawan-kawannya tertawa. Mereka melirik sinis pada Reana, berbicara lalu tertawa. Reana duduk dibangku dan mencoba membaca buku. Namun suara tertawa Rebecca masih terngiang di telinganya.
Reana menggelengkan kepala tak ingin mendengarnya. Namun suara tertawaan itu masih terngiang bahkan saat kuliah dimulai. Reana meminta izin ke toilet, disana Reana segera membasuh mukanya.
Menyipratkan air sebanyak-banyaknya, gadis itu berharap kepalanya menjadi dingin dan suara tawa itu menghilang. Reana menatap ke cermin, air mengucur dari wajahnya. Nafas gadis itu tersengal-tersengal.
Seorang gadis tiba-tiba mendorongnya. Reana terhuyung kesamping wastafel. Gadis yang lain bahkan mendesak nya ke dinding.
"Belagu banget sih loe, merasa jadi Cinderella gitu" ucap gadis itu.
"Nggak tau diri banget siiih" ucap gadis itu sambil menunjuk-nunjuk kening Reana hingga kepala gadis itu membentur dinding.
Reana menangkap tangan gadis itu. Seberapapun takutnya dia, Reana tak suka diperlakukan seperti itu. Orang tuanya saja tidak pernah berbuat seperti itu kepadanya.
Reana masih menggenggam tangan gadis itu. Matanya menatap tajam, air matanya mengalir deras dari situ. Namun matanya membulat melotot menatap gadis itu. Bibirnya bergetar, giginya mengatup.
"Cukup... kau tidak tau bukan, seberapa nekatnya orang yang sedang terpojok" ucap Reana masih bergetar.
Matanya masih melotot tajam pada gadis itu. Bibirnya bergetar keras menahan marah. Gadis itu ketakutan buru-buru menarik tangannya dari genggaman Reana, lalu bergegas pergi.
"Ih... matanya serem" terdengar ucapan gadis itu dibalik pintu.
Reana terduduk merosot di dinding, tangisnya pecah, tangannya terasa dingin, darahnya seperti berhenti mengalir.
"Mama... Reana takut" jeritnya menggema di toilet.
Membayangkan balasan apa yang akan dilakukan gadis- gadis itu terhadapnya. Di zaman sekarang ini banyak perilaku bullying yang berakhir tragis. Tangisannya makin menjadi.
Lebih dari setengah jam Reana terduduk dilantai toilet. Air matanya telah mengering. Reana berdiri dengan lunglai, matanya nanar menatap cermin. Dia kembali membasuh mukanya, kembali ke kelas yang sedari tadi ditinggalnya.
Namun kuliah sudah berakhir, pintu kelas sudah terbuka. Reana hendak masuk ke kelas untuk mengambil ranselnya.
"Semua salahmu" teriak Rebecca.
Reana membalikkan badan, tak jadi memasuki ruangan kelas itu. Tersandar di balik pintu, kejadian tadi sudah membuatnya ketakutan, dia belum sanggup berhadapan dengan Rebecca lagi.
"Kakak telah mengabaikanku, setelah bertemu gadis itu kakak mencampakkan aku" ujar Rebecca masih menjerit.
"Mencampakkanmu, emangnya kapan kita jadian?" tanya Nico terheran-heran.
Tatapan Rebecca melunak.
"Aku tau kak Nico menyukaiku, aku tau kak Nico tertarik padaku" ucap Rebecca tak sekeras tadi.
"Siapa yang tidak tertarik padamu, kamu cantik, kamu anggun, kamu juga populer, cowok mana yang nggak tertarik sama kamu ?
"Tapi aku tak bisa memaksakan perasaanku untuk lebih menyukaimu, karena aku merasa tidak mampu, tidak mampu menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginanmu " lanjut Nico.
Reana urung mengambil ranselnya, dia tak ingin lebih lama mendengar percakapan kedua orang itu. Tapi dimana dia akan menunggu ? satu-satunya yang terpikir oleh gadis itu hanyalah perpustakaan.
"Tapi aku menyukaimu apa adanya" ucap Rebecca manja.
Nico beralih duduk disamping Rebecca.
"Karena kamu tidak tau seperti apa aku sebenarnya. Kita tidaklah cocok, aku menyukai kesederhanaan sementara kamu bergaya hidup glamor.
Semua yang kau lihat padaku, pakaian, jam tangan, motor, apartemen dan semua itu, aku merasa itu bukan milikku.
Itu hanya fasilitas dari orang tuaku.
Karena aku anak mereka dan mereka menyayangi ku. Jika aku mengembalikan semuanya, maka aku ini tidak punya apa-apa.
Aku bahkan tidak bisa menghasilkan uang sesenpun, apa kamu mengerti? " ucap Nico panjang lebar.
Rebecca mengangguk, meskipun yang diucapkan Nico tidak semuanya sesuai dengan pemikirannya.
Tapi itu menunjukkan bahwa mereka memang berbeda. Pemikiran dan gaya hidup mereka memang jauh berbeda.
Nico tersentak mengingat sesuatu, tujuannya datang ke kampus adalah ingin mencari Reana. Hari ini tidak ada jadwal Nico kuliah, tapi pagi-pagi sekali, Nico mendapat kiriman video dari Ardi.
Postingan pertengkaran Rebecca dan Reana di restoran, melihat itu hati Nico langsung gusar, Nico sangat mengkhawatirkan keadaan gadis itu.
Segera dia berangkat ke kampus, mencari ruangan mana yang digunakan gadis itu. Nico bahkan melihat ke papan pengumuman, mencari daftar mata kuliah dan ruangan mana yang digunakannya.
Tapi sesampainya disana Nico tak mendapati Reana. Kelas telah bubar tapi Reana tak terlihat, seorang mahasiswa mengatakan Reana hadir tapi meminta izin untuk keluar.
Kemana dia ? pikir Nico.
Nico justru melihat Rebecca dan teman-temannya. Kesempatan itu digunakannya untuk bicara dengan Rebecca empat mata.
Sekarang harus mencari kemana. Kantin ? nggak mungkin, Taman kampus ? tempat Reana dan temannya bicara waktu itu ? batin Nico bertanya-tanya.
Nico pun berlari kesana, ke taman belakang kampus, namun masih tak menemukan Reana. Hanya beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang tersenyum melihat Nico yang kebingungan mencari-cari.
Nico berjalan cepat melewati kantin. Ingatannya kembali pada saat pertama kali berhadapan dengan Reana. Saat itu Reana baru saja keluar dari gedung perpustakaan.
Sontak Nico berlari kearah perpustakaan, masuk kedalam mengitari ruangan. Perlahan-lahan akhirnya Nico menemukan sosok yang dicarinya.
Reana duduk sendirian, dihadapannya terbentang buku yang dipinjamnya. Nico menatap sayu pada gadis itu.
Apa yang dipikirkannya? batin Nico dalam hati.
Lama Nico menatap gadis itu, perlahan-lahan maju berdiri di depan Reana. Namun Reana tak berkutik, dia seperti berada di dunia lain.
Sementara Alika bersembunyi di antara rak buku pustaka. Nuraninya tak tega melihat penderitaan Reana. Teringat masa mereka masih bersama, Alika ingin Reana mau berbagi kesedihan dengannya.
Namun pertengkaran dan masalah antara dirinya, Hasbi dan Reana. Membuat Alika hanya bisa memandang gadis itu dari jauh. Alika tidak tau bagaimana cara memulai lagi persahabatan mereka yang telah retak.
Disisi lain Hasbi hanya bisa tertunduk sambil memegang ransel Reana. Apa yang dilakukannya terhadap Reana di depan restoran waktu itu, membuatnya tak berani menemui Reana.
Mungkinkah Reana mau memaafkanku ? bisik hati Hasbi.
Sejak kejadian itu Hasbi tak berani menemui Reana. Dia takut Reana mengabaikannya dan terlebih lagi dia takut Reana akan semakin membencinya. Hasbi hanya bisa memandang gadis itu diam-diam.
Nico bergerak perlahan duduk disamping Reana. Wajahnya menunduk hingga menyentuh meja, beralaskan kepalan tangan di dagunya, Nico memperhatikan wajah Reana. Reana masih belum menyadari kehadirannya.
"Aku belum pernah ke perpus sebelumnya" ucap Nico pelan.
Reana kaget, lamunannya terusik, perlahan dia menoleh kesampingnya.
"Aku tidak tau fungsi perpus juga tempat untuk melamun?" ungkap Nico pelan, mengingat peraturan di perpustakaan.
"Aku tidak melamun" dalih Reana pelan.
"Lalu apa yang sedang kamu lakukan, baca mantra?" ucapnya setengah berbisik sambil terus tersenyum.
"Baca buku" jawab Reana seadanya.
"Kamu tidak membalik halaman bukumu, lebih dari sepuluh menit" ujar Nico lagi.
Reana menghela nafas panjang.
"Tinggalkan aku sendiri" ucap Reana sepertinya tak mau lagi meladeni ucapan Nico.
"Nggak, aku ingin bersamamu senang atau susah, aku ingin dengar ceritamu, cerita senang atau cerita susah" ucap Nico dengan wajah yang masih tertumpu pada tangannya.
Reana menunduk, gadis itu menitikkan air mata. Kejadian demi kejadian yang menimpanya membuat gadis itu mudah menangis.
Nico bangun dari tumpuannya, memandang Reana dengan perasaan iba. Lalu meraih gadis itu kedalam pelukannya. Reana menumpahkan tangisnya, semakin kuat tangisannya semakin kuat Nico mendekapnya.
Alika bergerak pelan meninggalkan ruangan pustaka.
Dia merasa tak perlu lagi berada disitu. Matanya tertegun pada sosok Hasbi yang sedang berdiri dengan tatapan sayu pada Reana.
Laki-laki itu menitipkan sesuatu pada penjaga pustaka.
Tas ransel Reana, Hasbi pasti ingin mengembalikan ransel Reana, batin Alika.
Reana sudah memiliki seseorang disampingnya Bi... , seseorang yang akan selalu menghibur dan menjaganya. ucap Alika dalam hati.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Hera
huuu perang batin nih sepertinya
2022-06-07
2
Sri Hartini
lanjutt
2022-01-19
1
dewi putriyanti
semakin seruuu
2021-08-08
1