NovelToon NovelToon

Aku, Apa Adanya

BAB 1 ~ Gadis Biasa ~

Nico, buru-buru memarkirkan motorsport-nya. Bergegas berlari menuju kelasnya. Hari ini adalah pertemuan pertama mata kuliah Analisa Numerik.

Sebenarnya ini adalah ketiga kalinya dia mengambil mata kuliah itu. Namun, nilai D yang tak pernah lenyap dari KHS-nya membuat dia terpaksa mengulang lagi tahun ini. Hanya mata kuliah itu, mata kuliah itu saja yang membuat Nico KO. Yang lain kalau nggak jago pasti jago banget.

Entah kenapa dia sangat lemah dengan semua yang mengandung unsur Matematika. Sebenarnya bukan Analisa Numerik saja yang mempertemukan dia dengan angka-angka, Kalkulus I, Kalkulus II, Kalkulus Peubah Banyak dan Aljabar Linier.

Nico dapat melewatinya cukup puas dengan nilai C. Semua berkat usahanya yang tak pernah absen mata kuliah itu. Gencar mengambil hati dosen atau sekadar memanfaatkan wajah gantengnya.

Nafasnya masih tersengal-sengal saat meraih gagang pintu kelas. Nico tercenung saat mendapati kelas sudah penuh dengan mahasiswa-mahasiswa berwajah tegang menatap ke arahnya.

Nico mengitari pandangannya ke sekeliling ruangan.

Nico heran, padahal jadwalnya masih 30 menit lagi tetapi kelas sudah nyaris penuh, hanya dua deretan bangku depan yang masih kosong.

Sial, pikirnya.

Kenapa Nico sampai lupa kalau dosen mata kuliah ini adalah Pak Suprapto. Dosen killer yang membuat semua mahasiswa rajin menundukkan kepala saat berada di kelas. Pasrah Nico melangkah duduk di deretan kedua, matanya kelayapan mencari sahabat-sahabatnya Ardi, Dito dan Rommy.

Setelah melihat keseluruhan ruangan akhirnya laki-laki itu menemukan mereka yang cengengesan duduk di bangku belakang. Nico mengambil ponselnya dari balik saku jaketnya dan langsung mengirim pesan.

"Kenapa loe nggak siapin bangku buat gua di belakang?" ketiknya di layar ponsel.

"Gua pikir loe nggak ngambil kelas ini," balas Dito.

Ketiga temannya ini juga mengulang Analisa Numerik, memang sulit untuk lolos mata kuliah satu ini.

Mata Nico kembali menoleh dan melotot ke arah Dito. Mereka tahu persis kalau tahun ini dia akan mengulang mata kuliah ini lagi.

"Maksud gua, napa loe nggak ngambil di kelas lain? Disini 'kan ada Rebecca, sadar nggak? Loe mau, wajah pucat loe diliatin gebetan?" sambung Dito di WA sambil cekikikan.

Apa? Sial, batin Nico.

Benar juga kelas ini adalah kelas Rebecca, adek kelas cantik yang baru dikenalnya akhir semester yang lalu. Nico menepuk jidatnya sambil menunduk melirik ke arah lain dibelakangnya. Rebecca and the geng. Sibuk mengipas-ngipasi wajahnya. Padahal ruangan ini telah dilengkapi pendingin ruangan. Sepertinya sudah menjadi style mereka berkipas-kipas ria biar kelihatan elegan.

Semoga masih ada mahasiswa lain yang telat dan mengisi deretan bangku di depan, bisik hati sekaligus harapan Nico.

Perasaan akan sedikit lega jika ada mahasiswa yang duduk di depan dan siap dimangsa lebih dulu. Nico menyesal kenapa bisa lalai datang ke kampus. Tak sigap seperti mahasiswa-mahasiswa lain.

Tapi aneh juga adek-adek kelas ini, pada tahu semua kalau pak Prapto mesti dijauhi, mereka pasti dapat bocoran dari kakak kelasnya, umpat Nico dalam hati.

Tak banyak yang datang setelah Nico, padahal lima menit lagi kuliah akan di mulai. Meski begitu Nico masih tetap berharap ada beberapa orang mahasiswa bego lagi yang datang lebih telat darinya. Terus berharap agar bangku di depannya bisa terisi penuh.

Huh, Nico membuang nafas berat sepertinya tak ada lagi mahasiswa yang bisa menutupinya di bangku deretan depan. Detik-detik pak Prapto datang, tiba-tiba pintu terbuka, semua menahan nafas, wajah tegang, mata melotot, jantung deg-degan.

Seorang mahasiswi masuk. Semua langsung menghembuskan nafas lega. Gadis mungil itu melangkah sambil menunduk ke sebuah bangku. Lalu duduk dengan tenang. Tanpa melihat kanan kiri mengeluarkan buku dan langsung membacanya.

Cuek banget nih cewek, batin Nico. Jangan-jangan dia nggak baca berita, lanjut Nico dalam hati sambil melihat gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tak ada yang istimewa, wajah biasa, penampilan biasa. Bahkan tak tersentuh makeup sama sekali, batin Nico.

Laki-laki itu langsung melirik ke arah Rebecca. Lalu kembali menoleh pada gadis yang duduk sederetan dengan bangkunya ini. Nico seperti sedang membandingkan kedua gadis itu.

Kenapa bisa begitu beda padahal mereka sama-sama gadis. Angkatan yang sama, mungkin umurnya juga sama, batin Nico.

Nico membayangkan berapa biaya yang menempel di wajah Rebecca dengan makeup naturalnya. Makeup yang tak terlihat tetapi bisa membuat seorang gadis jadi bertambah cantik.

Jika dihitung? Jeans murahan, kemeja biru polos, ransel yang nggak jelas merk-nya, bahkan jika ditambah dengan kuncitan buluknya itupun nggak bakalan bisa menandingi pengeluaran Rebecca untuk wajahnya. Rebecca memang luar biasa, batin Nico sambil tersenyum sendiri.

Memikirkan hal itu rasa galau dihatinya sedikit berkurang, tak tahu kalau nanti Pak Prapto datang. Tak lama berselang pintu kelas kembali terbuka. Kali ini Pak Prapto benar-benar datang. Meletakkan map di atas meja dosen lalu memandang ke sekeliling ruangan.

Pemandangan yang biasa baginya, melihat mahasiswa-mahasiswa menumpuk di belakang. Pak Prapto memperkenalkan diri sebentar bagi mahasiswa yang baru masuk dikelasnya. Kemudian memulai kuliahnya.

Setelah mengajar beberapa saat, Pak Prapto akan berhenti sejenak untuk bertanya. Itu sudah menjadi ciri khas Pak Prapto untuk memastikan mahasiswanya telah mengerti atau sekadar ingin menakut-nakuti mereka.

"Ada yang belum paham sampai di sini?" tanya Pak Prapto.

Semua mahasiswa sontak menunduk, ada yang pura-pura menulis, ada yang pura-pura berpikir, ada yang pura-pura mencari sesuatu di dalam tas. Tetapi tak ada yang berani memandang Pak Prapto.

Hindari kontak mata! Itu semboyan mereka agar selamat dari dosen satu ini. Tak mendengar jawaban apa pun, Pak Prapto kembali melanjutkan kuliahnya. Kuliah menjadi terasa sangat lama. Sedetik terasa semenit, semenit terasa satu jam. Begitulah pergantian waktu yang terasa begitu lama di ruangan ini.

Di sepuluh menit terakhir Pak Prapto membersihkan whiteboard yang telah terisi penuh oleh catatan-catatan saat menjelaskan kuliah tadi.

Apa kuliah akan berakhir? Semoga kuliah segera berakhir, do'a para mahasiswa.

Mimpi! Sepuluh menit itu sama dengan sepuluh jam penyiksaan. Pak Prapto tak mungkin memberikan discount waktu untuk mata kuliahnya. Pak Prapto kembali menulis di whiteboard, satu soal sudah terpampang di sana.

"Karena tidak ada yang bertanya, berarti semuanya sudah paham," ucap Pak Prapto penuh sindiran.

"Saya akan memilih nama dalam absen ini secara acak," ucapnya sambil mengambil map berisi daftar absen mahasiswa.

"Nama yang dipanggil, maju ke depan dan selesaikan soal ini," katanya sambil mengetuk whiteboard dengan spidolnya.

Deg. Rasanya jantung mau copot.

Gimana nih kalau ke panggil, mana nggak ngerti lagi, batin Nico dan juga mahasiswa lain tentunya.

"Cuma satu soal saja," senyum sadis Pak Prapto.

"Karena semuanya sudah paham, jadi tak akan ada masalah," lanjutnya kembali tersenyum ala tokoh licik.

"Tapi ... jika jawabannya salah, silahkan berdiri di depan kelas sampai ada yang bisa menyelesaikan soal ini dengan benar," ucap Pak Prapto santai tetapi sangat menyakitkan hati.

Kelas riuh, semua galau, buru-buru membaca catatan, langsung berdoa berharap nama hilang dari daftar absen, atau mendadak jam Pak Prapto bergerak lebih cepat dan lain sebagainya.

Waduh, malu banget kalau berdiri di depan kelas, mana ada Rebecca lagi, batin Nico.

Pak Prapto juga tak peduli dengan penampilan, mau orang itu ganteng atau cantik.

'Ganteng-ganteng goblok' kata-kata seperti itu seenaknya melompat dari mulutnya. Biasanya ganteng-ganteng serigala ini malah ganteng-ganteng goblok.

'Cantik tapi tak punya otak' ucapan seperti itu juga pernah keluar dari mulutnya.

Sampai sekarang Nico masih ingat ucapan Pak Prapto yang ditujukan pada seorang mahasiswi cantik dikelasnya waktu itu. Gadis itu seperti trauma, tak berani berdandan cantik lagi setiap kali masuk mata kuliah satu itu. Kalau ada makeup yang bisa membuat wajahnya menghilang mungkin menjadi pilihannya setelah kejadian itu.

Benar-benar tak menghargai usaha orang untuk tampil cantik, batin Nico.

Pak Prapto mulai memanggil nama, yang dipanggil pun maju menghadap ke papan tulis. Mulai menulis jawaban yang tak yakin benar, dengan dengkul yang gemetar, tangan mendadak dingin, kening yang keringatan. Baru menulis dua baris, terdengar suara Pak Prapto memecah sunyi.

"Sana, berdiri agak di pojok!" ucap Pak Prapto sambil menunjuk pojokan kelas.

Sepertinya bapak itu yakin bakal banyak mahasiswa yang akan baris berbaris di situ.

Yang lain? Mata langsung terbelalak, jantung kembali berdebar menunggu siapa yang bernasib malang berikutnya. Lega sebentar saat seseorang memegang spidol di depan. Berdebar lagi saat telunjuk Pak Prapto menyusuri nama yang ada di daftar absen.

Wajahnya serius menatap deretan nama-nama itu, padahal mungkin dalam hatinya malah bernyanyi lagu cap cip cup kembang kuncup pilih mana yang mau di cup.

Sudah tujuh orang yang berbaris di depan kelas sambil menunduk berdoa. Berharap ada yang bisa menjawab soal itu dengan benar atau berharap temannya ikut ke panggil biar sama-sama pegel atau sama-sama malu.

"Kalau gua adu mata kuliah lain, Pak Prapto pasti kalah," bisik Nico ke adek kelas disebelahnya.

"Pak Prapto paling jagonya cuma mata kuliah ini doang," ucapnya lagi.

Adek kelas itu manggut-manggut tak mengerti. Nico menoleh ke samping kanan. Gadis biasa itu sedang melihatnya. Melihat Nico yang menoleh ke arahnya, gadis itu langsung menunduk dan melirik ke arah jam tangannya.

Hmm pasti dia berharap jam kuliah segera habis, batin Nico sambil menatap gadis itu dengan tatapan yang meremehkan.

Nggak ngaruh, sampai sore pun dijabanin sama Pak Prapto, pikir Nico melihat kegalauan gadis itu yang sebentar-bentar melihat jam.

Pak Prapto masih lanjut memanggil nama satu per satu.

"Belum ada satu pun yang menjawab soal ini dengan benar!" suara bariton Pak Prapto semakin menambah suasana horor di ruangan itu.

"Atau, ada yang ingin langsung masuk ke barisan? Jadi nggak perlu pura-pura berpikir di depan papan tulis," ucap Pak Prapto sakartis. Tiba-tiba gadis biasa itu mengacungkan tangan.

"Mau langsung berbaris di depan?" tanya pak Prapto sinis.

"Saya mau ... men ... menjawab soal pak," jawab gadis itu sambil berdiri ragu-ragu.

"Cobalah!" ucap Pak Prapto.

"Siapa namamu?" tanya Pak Prapto sambil memberi spidol pada gadis biasa itu.

"Reana ... Pak," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.

Mendengar suara Reana yang tak menyakinkan, Pak Prapto merasa tak yakin gadis itu bisa mengerjakannya. Namun, bapak itu tetap membiarkannya mencoba. Reana berdiri siap di depan papan tulis, lalu menoleh ke arah pak Prapto.

"Kalau benar ... saya bisa langsung pulang 'kan Pak?" tanya gadis itu mengingatkan janji Pak Prapto.

"Seisi kelas ini boleh pulang, kalau kamu bisa menjawab dengan benar," ucap pak Prapto sambil menunjuk seluruh ruangan.

Gadis itu, Reana, membersihkan whiteboard yang telah ditulisi teman-temannya. Kemudian mulai menulis baris demi baris, angka demi angka, langkah demi langkah.

Semua menatap hening kearahnya, memperhatikan baris demi baris yang tertulis rapi di papan tulis. Hingga setengah whiteboard terisi, pak Prapto masih belum menghentikannya.

Analisa Numerik, satu soal bisa menghabiskan dua halaman bahkan lebih double folio. Reana hampir menghabiskan papan tulis itu sedikit lagi, semua tercengang, menganga, terkagum.

Berharap gadis itu benar-benar bisa menyelesaikannya dengan benar. Berharap bisa segera terbebas dari camp penyiksaan itu. Begitu juga harapan Nico, dia ingin segera keluar dari neraka ber-AC itu. Reana mengakhiri jawabannya dengan memberi dua garis bawah. Pak Prapto manggut-manggut.

"Gadis ini penyelamat kalian, kalian semua boleh pulang," ucap Pak Prapto pada semua mahasiswa.

Semua mahasiswa bersyukur, do'a mereka terkabul. Segera semua mahasiswa bergerak membenahi buku-buku dan ingin segera kabur.

Selamat.. selamat, ucap mereka dalam hati.

Termasuk Nico yang saat ini masih merasakan nikmatnya duduk di bangku. Sementara Ardi sudah mendahuluinya berdiri di depan kelas.

Bangku keramat, I love you, ucap Nico dalam hati, lalu melirik ke arah Rebecca di depan kelas.

Gadis itu terlihat malu karena tak bisa mengerjakan soal, tapi cuma sebentar. Setelah itu dia berdiri dengan anggun seperti menunggu pengumuman juri pemilihan Puteri Indonesia.

"Sebelum pulang, kalian catat dulu jawaban ini," ucap pak Prapto. Menghentikan mahasiswa yang kasak kusuk ingin segera pulang.

"Saya sudah mencatatnya Pak, apa saya boleh pulang?" tanya Reana, tiba-tiba dihadapan pak Prapto.

Pak Prapto mengangguk setuju, dia yakin gadis itu telah menyelesaikan soal itu dari tadi. Reana bergegas keluar setelah mengucapkan terima kasih. Setengah berlari dia mengejar waktu yang terlewati karena masalah kuliah hari ini.

Ya, dia harus segera pergi. Melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan di sebuah restoran keluarga. Nico terpana, bagaimana gadis itu bisa mengerjakan soal itu dengan mudah.

Terbuat dari apa isi kepalanya? Batin Nico.

Jika Ardi tidak mengagetkannya mungkin Nico masih saja menatap ke arah gadis itu pergi.

"Siapa dia?" pertanyaan bodoh Nico meluncur begitu saja.

"Reana, emang loe nggak dengar?" sahut Dito.

Nico terdiam, kenapa juga dia bertanya begitu. Jelas sekali Nico seperti orang yang terobsesi terhadap sesuatu yang tak bisa dia miliki, yaitu kecerdasan mengerjakan soal Analisa Numerik.

Ardi, Dito, Rommy dan Nico bagaimana mereka bisa bersahabat? Semua berawal saat pertama kali mereka di terima di kampus ini. Nico mulai mencari-cari orang yang terlihat cerdas.

Orang cerdas harus jadi lawan atau diajak temenan.

Kadang Nico senyum sendiri mengingat itu, salah persepsi. Rommy yang berkacamata tebal terlihat seperti orang yang sangat cerdas. Bisa menjadi teman diskusi dalam menunaikan tugas-tugas kuliah.

Kacamata tebal, badan kurus, seperti orang yang lebih mementingkan belajar daripada makan, analisa Nico saat itu. Tapi apa mau di kata, tak sesuai dengan ekspektasi. Kacamata tebal tak menjamin orang menjadi cerdas.

Kalau Ardi dan Dito memang sudah berteman dari dulu karena mereka satu SMA bahkan pernah satu kelas.

Hobi mereka sama yaitu taruhan, imbalannya bisa traktiran makan, tiket konser atau barang-barang yang diincar. Hobi tak bermutu tapi bisa menular pada Nico dan Rommy. Untung tak menjadi wabah.

Berbeda dengan Nico yang berteman dengan Rommy karena ingin menyerap kecerdasannya. Ardi dan Dito memiliki alasan yang lebih sederhana yaitu mencari teman cerdas untuk menyontek. Walhasil, mereka bersatu karena memiliki satu persamaan yaitu sama-sama tertipu kacamata tebal.

...~ Bersambung ~...

BAB 2 ~ Bukan Dosen Biasa ~

Tok.. tok.. tok..

Reana bersiap-siap untuk pulang ketika Hasbi, sang ketua kelas mengetuk meja kuliahnya. Hasbi tersenyum, Reana terkesima, baru kali ini ada orang yang menyapanya apalagi tersenyum padanya. Buru-buru Reana menunduk.

Hasbi menjabat sebagai Ketua Kelas sejak Semester I hingga sekarang. Posisinya tak pernah tergoyahkan, tak ada yang pantas menjadi ketua di kelas ini selain dia. Semua orang bilang Hasbi orang yang pengertian dan menyenangkan, terlebih lagi, gantengnya Hasbi tak kalah dibanding personel-personel boyband Korea.

"Ada apa?" tanya Reana pelan nyaris tak terdengar.

Hasbi duduk di bangku depan mengarah ke Reana sambil meletakkan beberapa lembar kertas di meja.

Reana mengamati lembaran kertas itu, tak mengerti apa maksud Hasbi meletakkan kertas-kertas itu dihadapannya.

"Besok Pak Prapto nggak bisa mengajar karena bertepatan dengan jadwal Medical Check Up beliau," jelas Hasbi melihat Reana yang kebingungan.

Pak Prapto memang sudah tua, mungkin harus teratur memeriksakan kesehatannya. Beliau adalah dosen senior di kampus ini, tak seorang pun yang berani membantah ucapannya.

Jangankan mahasiswa, para dosen pun hanya pasrah mendengar omongan sinisnya. Karena ucapan beliau meskipun nyelekit tapi selalu nyata kebenarannya.

Sebagian besar penghuni kampus ini mungkin berharap pak Prapto segera pensiun. Bahasa halusnya istirahat menikmati masa tua. Namun, semangat pak Prapto untuk mentransfer ilmunya tak pernah surut. Tinggal mahasiswa yang lemah dengkul saat berhadapan dengannya.

"Jadi beliau meminta kamu untuk mengajari kami," lanjut Hasbi.

"Haa..," ucap Reana kaget, matanya terbelalak.

Hasbi tersenyum melihat ekspresi polos Reana saat terkejut.

"Nggak ah, nggak, saya nggak bisa," ucap Reana panik sambil melambaikan kedua tangannya.

"Tenang dulu," ucap Hasbi.

"Kamu nggak harus ngajar seperti pak Prapto ngajarin kita, anggap aja seperti ngasih kursus atau seperti kamu bantuin temenmu yang belum mengerti," lanjut Hasbi.

Analogi Hasbi sama sekali nggak pas, siapa yang pernah minta bantuanku? pikir Reana.

Reana tak pernah berkomunikasi dengan siapapun di kampus ini. Tak pernah memiliki teman ataupun bicara dengan siapa pun. Bahkan Reana berpikir orang-orang mungkin tak bisa melihatnya.

"Saya nggak bisa bicara di depan kelas," akhirnya Reana mengungkapkan kesulitannya.

"Kami ini teman-temanmu, masa nggak mau sih, bantu kami membahas soal-soal ini?" tanya Hasbi mencoba merayu Reana.

Membayangkan dirinya berdiri di depan kelas dan semua mata tertuju padanya. Belum lagi mahasiswa-mahasiswa usil yang akan mengejek dan mengolok-oloknya. Reana menggelengkan kepalanya kuat, menghapus bayangan mengerikan itu.

"Anggap aja kami ini anak-anak SD yang ingin belajar sama kamu. Saya janji, kalau ada yang usil saya yang akan menegurnya langsung," ungkap Hasbi seperti bisa membaca pikiran Reana.

Reana terdiam bingung, setuju, nggak, setuju, nggak. Reana menghembuskan nafas panjang.

"Ada apa Bi?" tanya Alika yang tiba-tiba muncul dan langsung duduk di kursi kuliah kosong di samping Reana.

Alika, gadis cantik yang anggun, berasal dari keluarga kaya, a wise girl, sangat serasi menjadi pendamping Hasbi sebagai Wakil Ketua di kelas ini.

"Tadi saya dipanggil ke sekretariat, pak Prapto menitipkan pesan agar memberikan soal dan pembahasan ini buat Reana," lalu Hasbi menjelaskan panjang lebar tentang keberatan Reana.

"Wow, benarkah? " ucap Alika kagum.

"Jangan takut Re, jangan grogi. Anggap aja kami semua anak-anak SD," kata-kata Alika sama persis seperti ucapan Hasbi.

Reana terdiam namun tangannya bergerak mengambil lembaran kertas itu dan membolak-baliknya.

"Soal ini mirip dengan soal di papan tulis minggu lalu," ucapnya pelan.

"Ada sepuluh soal," sambung Hasbi.

"Tapi nggak wajib di bahas semua kok, seberapa bisanya kamu tapi yang penting anak-anak bisa mengerti, minggu depan mungkin diadakan quiz," jelas Hasbi mengulang instruksi dari Sekretariat kampus.

Reana menghembuskan nafas berat namun akhirnya menyetujui permintaan itu. Dukungan dari Hasbi dan Alika membuat Reana sedikit mendapatkan kekuatan.

Reana melangkah menuju perpustakaan, itulah yang biasa dilakukannya sehari-hari. Sambil menunggu jadwal kuliah selanjutnya atau menunggu jam masuk kerja di restoran. Reana tidak mau menyia-nyiakan ongkos bolak-balik kost-an dan kampus.

Berjam-jam menghabiskan waktu di perpustakaan akhirnya Reana beranjak meninggalkan kampus. Menuju restoran tempat dia bekerja paruh waktu. Perutnya yang sudah unjuk rasa mengajak untuk segera masuk ke dapur restoran.

Biasanya makanan yang tersisa diberikan kepada Reana untuk dibawa pulang. Manager restoran yang baik hati memberi kebijakan seperti itu, mengingat Reana adalah gadis miskin yang sedang menimba ilmu.

Tapi beberapa hari belakangan, jatah makanan tsb dialihkan ke mbak Nani, janda beranak dua yang baru bekerja di restoran itu. Kalau sisa makanannya banyak barulah Reana bisa kebagian.

Efeknya pagi ini Reana tidak sarapan. Reana memilih menahan lapar ketimbang menggunakan uang simpanannya untuk membeli sarapan.

Bukan pelit pada diri sendiri tapi semua terpaksa dilakukannya demi rasa sayangnya pada mamanya.

Reana tidak mau menyusahkan mamanya yang tinggal seorang diri karena ayahnya yang telah mendahului menghadap Yang Maha Kuasa.

Kehidupan yang sulit membuat Reana tertutup pada orang-orang disekitarnya. Hidupnya hanya terfokus untuk mencari biaya hidup dan kuliah. Beruntung karyawan restoran adalah orang-orang yang pengertian hingga mereka tetap bersikap baik dan sayang pada Reana.

Nico menambah laju kecepatan motornya. Seperti sedang shooting film action, tanpa ragu-ragu ia menyalip di tengah-tengah kepadatan lalu lintas.

Hari ini dia bertekad datang lebih cepat dari minggu lalu. Memikirkan mata kuliah satu ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Kekuatan kursi keramat tidak cukup membuatnya tenang. Tapi niat Nico sepertinya tak direstui Tuhan. Kemacetan parah yang dialaminya tadi membuat Nico tak bisa berkutik.

Begitu terbebas dari jeratan macet, Nico langsung memacu motornya secepat mungkin, membuat jalan raya tak ubahnya sirkuit MotoGP.

Kenapa begitu sial setiap kali berurusan dengan mata kuliah ini, pikirnya sambil terus melaju memasuki gerbang kampus.

Telat lagi, bahkan lebih lambat dari minggu lalu, pikirnya sambil berlari menuju kelas pak Prapto.

Nico berhenti di pintu kelas, ingatan minggu lalu kembali terlintas.

Semoga saja cecunguk-cecunguk itu tidak lupa menyediakan bangku untukku di belakang, batin Nico.

Bersama-sama dengan sahabat di tengah pertempuran seperti ini akan membuat hatinya sedikit merasa lega.

"Hai..," sapa Dito santai saat melihat kepala Nico muncul di balik pintu.

Buru-buru Nico melihat jam tangannya.

Apa aku salah lihat jam? Atau jam ini rusak? Sebentar lagi jam kuliah di mulai tapi mahasiswa di kelas ini seperti tak berniat kuliah, batin Nico.

Ada yang bersandar di dinding sambil mengamati ponsel, ada yang cubit-cubitan, kejar-kejaran seperti anak SD. Bahkan Rebecca masih sibuk menatap cermin merapikan bulu matanya.

"Pak Prapto nggak masuk," ucap Dito melihat Nico yang berjalan ke arah mereka dengan wajah bingung.

Oow, pantas pada nyantai semua, pikir Nico.

Mana udah buru-buru, pikirnya lagi sambil tersenyum.

"Trus.. kita cabut nih?" ucap Nico pada teman-temannya seakan-akan mereka berkumpul hanya untuk menunggu Nico.

"Nggaklah, kuliah tetap jalan," ucap Ardi sambil memonyongkan mulutnya ke arah Reana.

Nico mengikuti arah Ardi, menatap gadis yang duduk sendirian di bangku deretan depan.

Apa hubungannya? pikir Nico.

"Dia yang ngajarin kita," lanjut Ardi

"Hah" ucap Nico kaget.

"Jangan hah, gua udah bela-belain bangun pagi buta biar dapat posisi aman. Eh taunya pak Prapto gak masuk," jelas Rommy.

Mereka bertiga ketawa serempak, si tampang cerdas ini terlihat cool saat kuliah minggu kemarin taunya keder juga.

Tawa mereka terhenti saat Ketua kelas maju ke depan. Meminta perhatian dari seluruh penghuni kelas. Menjelaskan keadaan sesungguhnya dan meminta Reana untuk memulai kuliah.

Reana berdiri ragu-ragu, melangkah pelan ke depan kelas, membalikkan badan ke arah mahasiswa dengan wajah yang masih tertunduk.

"Tolong ya," ucap Hasbi sambil menepuk bahu gadis itu.

Reana melirik kearah Alika, gadis kaya itu mengayunkan kepalan tangannya memberi semangat. Reana tersenyum dipaksakan, melirik Hasbi yang masih berdiri disebelahnya. Mengangguk pelan menunjukkan bahwa dia telah siap, setengah siap sebenarnya.

"Baiklah teman-teman dan kakak-kakak sekalian, kita mulai kuliah hari ini, ada yang ingin saya tekankan sebelumnya. Tolong tetap tertib, dan barang siapa yang dengan sengaja tidak mengikuti kuliah akan mendapat sangsi dari pak Prapto. Tetap semangat, kuliah ini akan terlihat hasilnya di quiz Analisa Numerik minggu depan, semoga kita bisa," ucap Hasbi lalu mengangguk sambil tersenyum pada Reana kemudian kembali ke tempat duduknya.

Reana mengambil alih perhatian kelas. Tenggorokannya mendadak kering, tapi dia mencoba untuk tetap tenang, menyembunyikan groginya.

"Teman-teman dan.. kakak-kakak sekalian.., pak Prapto.., menyediakan.., sepuluh soal.., untuk kita bahas," ucap Reana sambil mengacungkan lembaran kertas.

Suara gadis itu bergetar terbata-bata, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Di tempat duduknya, Hasbi memberi semangat seperti yang dilakukan Alika.

Mendengar banyaknya soal yang akan di bahas membuat kelas gaduh. Satu soal saja sudah membuat kepala pusing apalagi sebanyak itu.

"Tapi..., saya memutuskan..., untuk memilih tiga soal saja," ucap Reana ragu-ragu.

Harbi tercenung, Alika terbelalak.

Cuma tiga? Apa nggak terlalu sedikit? Apa yang Reana pikirkan? Nggak takut pak Prapto murka? batin mereka dalam hati.

"Satu soal untuk dibahas, satu soal untuk teman-teman kerjakan sendiri di sini dan satu soal lagi..., sebagai tugas di rumah," lanjut Reana mulai lancar.

"Tolong perhatikan dengan seksama, jika ada yang belum paham, jangan ragu untuk bertanya. Saya ingin, semua bisa mengerjakan soal ini saat pak Prapto mengadakan quiz nanti," ujar Reana memberi arahan.

Semua termangu membayangkan quiz minggu depan.

Reana menulis soal dan membahas dengan pelan dan jelas. Entah kenapa, para mahasiswa berangsur-angsur semangat bertanya.

Sebentar-sebentar mereka mengacungkan tangan, tak malu-malu lagi menanyakan darimana asal angka-angka yang ditulis Reana. Hasbi tersenyum melihat semangat kelas ini, Alika pun demikian.

Menaklukkan satu soal saja, berasa jadi ahli Matematika.

Wajah ceria para mahasiswa yang bertanya tanpa rasa takut dipermalukan atau takut ketahuan bego, membuat kelas ini memancarkan aura positif yang terpantul di wajah Reana.

Sesekali mahasiswa bercanda, Reana tersenyum, Reana tertawa. Semua tak lepas dari pandangan Nico.

Manis, senyumnya manis sekali, batinnya berbisik.

Wajahnya bening, matanya indah, lekukan wajahnya sempurna, batin Nico sambil menggelengkan kepala.

Kenapa aku berpikir aneh seperti ini. Apa ada yang salah dengan mataku? Kenapa hari ini Reana terlihat begitu cantik. Pasti ada yang salah dengan otak ini, pikir Nico.

Bukan, bukan otakku yang salah, Reana-lah yang salah, Reana-lah yang tak pernah tersenyum, Reana-lah yang selalu menunduk menyembunyikan kecantikannya, maki Nico dalam hati.

Nico mengusap wajahnya dengan kasar. Ardi heran memperhatikan sahabatnya.

"Napa loe, masih belum ngerti? Tanya aja," ucap Ardi, sahabatnya terlihat kusut, bukan wajahnya tapi pikirannya.

Nico menyipitkan matanya, bukan kuliah ini masalahnya, tapi Reana. Nico tidak bisa mengungkapkan itu pada Ardi, dia sendiri tidak tau bagaimana menjelaskannya.

Pembahasan soal telah selesai, tak ada lagi yang bertanya. Reana menulis satu soal lagi di papan tulis.

"Untuk soal ini, tolong dikerjakan sekarang juga, nanti akan saya beri nilai. Saya ingin tahu seberapa banyak mahasiswa yang paham pembahasan hari ini," ucapnya sambil tersenyum.

Reana benar-benar sudah bisa menguasai dirinya dan kelas ini. Walau kadang muncul rasa malu saat ada mahasiswa yang mencoba menggodanya.

Alika adalah orang pertama yang menyerahkan tugasnya. Reana yang duduk di meja dosen langsung mengoreksi saat itu juga. Reana tersenyum, Alika mendapat nilai sempurna, Alika berterima kasih dan kembali ke tempat duduknya.

Tentu saja Alika orang pertama, Alika yang juara kelas berturut-turut. Dia juga tak mau kalah dengan mata kuliah yang satu ini.

Satu per satu mahasiswa menyerahkan tugasnya, Reana mengoreksi dan menjelaskan secara langsung dimana letak kesalahannya. Kebanyakan dari mereka mengangguk mengerti.

Tak lupa Reana mencatat nama dan nilai yang mereka peroleh di secarik kertas. Sebagai bahan evaluasi baginya, dia juga ingin tahu seberapa berhasil dia menjalankan tugas dari pak Prapto.

Di menit-menit terakhir jam kuliah habis, Reana menulis soal untuk dikerjakan di rumah. Semua semangat mencatat di buku tugas. Reana berpesan untuk selalu mengulang pelajaran di rumah.

Tak lupa dia berterima kasih pada seluruh mahasiswa yang telah mendukungnya. Berterima kasih karena selama kuliah berlangsung, tak ada masalah yang berarti. Seperti yang ditakutkannya selama ini.

Satu persatu mahasiswa bergerak pulang. Reana masih duduk di meja dosen mengamati daftar nama dan nilainya. Hasbi menghampiri.

"Makasih ya,"ucap Hasbi sambil tersenyum.

"Kenapa harus berterimakasih?" tanya Reana meski pelan, sekarang gadis itu sudah mulai rajin bicara, biasanya pertanyaan apapun hanya tenggelam di otaknya.

"Ya haruslah, karena sudah membantuku menjalankan amanah pak Prapto," ucap Hasbi sambil meraih kertas di tangan Reana.

"Berapa orang yang berhasil?" tanyanya lagi.

"Lebih dari setengah yang mendapat nilai seratus," balas Reana.

"Wow, benarkah? Hebat, kamu berhasil membuat mereka paham," sahut Hasbi kagum.

"Mudahan-mudahan minggu depan mereka tidak lupa lagi," ucap Reana khawatir.

"Makanya kamu memberi tugas rumah?" tanya Hasbi.

Reana mengangguk.

"Gimana?" tanya Alika tiba-tiba.

"Lebih dari setengah yang mendapat nilai seratus," jawab Hasbi

"Wow, kalau gitu, harus dirayain nih," ucap Alika penuh semangat.

Hasbi mengangguk, minta persetujuan Reana.

"Nggak ah, kalian berdua aja yang rayain," jawab Reana.

"Saya harus segera pulang," sambungnya sambil bergerak mengambil ransel dan beranjak pergi.

Di depan pintu dia berbalik.

"Trimakasih, Trimakasih untuk segalanya," ucap Reana, sambil melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu.

"Anak yang aneh," ucap Alika

"Tapi baik," sambung Hasbi.

"Menurutmu kenapa pak Prapto memilih Reana? Apa nggak ada mahasiswa lain yang bisa?" tanya Alika.

"Emang siapa lagi yang bisa? Apa kemaren jawabanmu sama dengan jawaban Reana?" tanya Hasbi penasaran.

"Nggak," sahut Alika.

"Huuu, untung aja namamu nggak dipanggil, kalau nggak, kemaren udah jadi model di pojok sana," olok Hasbi sambil mengusap kepala Alika.

Mereka saling pandang lalu tertawa.

...~ Bersambung ~...

BAB 3 ~ Momen Bersama ~

Nico cs tertawa cekikikan, mengingat kejadian tadi malam. Semua berawal dari pembalap jagoan Dito yang mengalami crash dan gagal finish. Setiap kali race di gelar Nico dan kawan-kawan nonton bareng di tempat yang kebetulan banyak makanannya.

Kalau nggak di kost-an Ardi dan Dito berati di rumah Rommy atau yang paling sering di apartemen Nico.

Akibat kekalahannya, Dito mendapat hukuman, mereka memutuskan Dito harus berkenalan dengan seorang gadis dan harus mendapatkan nomor ponselnya.

Untuk mengobati kekecewaan Dito, Nico mengajak mereka nongkrong di kafe. Kesempatan itu dipergunakan Dito untuk mencari mangsa. Cewek-cewek di kafe kebanyakan anak-anak gaul yang mudah diajak kenalan dan bertukar nomor ponsel.

Psst, tiba-tiba Ardi memberi kode pada Dito. Nico, Rommy dan Dito pun reflek mengikuti arahan Ardi. Di belakang Dito, dua orang cewek yang lagi asyik berdiskusi memilih menu baru hari ini.

Mata Dito terpaku pada cewek yang mengenakan celana pendek berbahan denim. Tubuh langsing dan putih, rambut panjang tergerai, high heels yang di pakai menonjolkan betis indahnya.

Nico dan kawan-kawan memberi semangat. Dito yang sudah lama menjomblo seperti mendapat anugerah dari langit.

Minimal buat dapetin nomor ponselnya untuk bayaran taruhan kemaren, pikir Dito.

Dito pun menyusun skenario kilat, dia berpura-pura salah mengenali orang yang di kira teman SMA-nya dulu.

"Eh.. kamu Reni kan? teman satu SMA dulu.

Tuh cewek pasti bilang, bukan.. salah orang, cewek yang lain kali" ucap Dito.

Dito akan berkata, "masa sih ada cewek lain secantik kamu"

Nico, Ardi dan Rommy tertawa cekikikan mendengar ilustrasi busuk Dito. Rommy memaksa Dito untuk segera beraksi, takutnya itu cewek keburu kabur.

"Hei, kamu Reni kan?" terdengar Dito menjalankan rencana.

Teman-temannya mengamati dengan serius, kebetulan posisi gadis-gadis itu tak jauh dari meja mereka.

"Eh, copot, copot, jantungku?" jerit cewek itu kaget karena Dito yang tiba-tiba muncul dan sok akrab.

"Siapa ya?" ucapnya lagi.

Suara berat yang dilembut-lembutkan, jakun bergerak lincah turun naik. Dito kaget, matanya terbelalak mulutnya mangap.

"Maaf ya, salah orang" ucapnya sambil melipir.

Hasilnya pagi ini mereka tertawa terbahak-bahak di parkiran DPRD alias Dibawah Pohon RinDang. Nico dan Ardi duduk di atas motor, sementara didepannya Dito dan Rommy duduk di bangku beton yang diukir menyerupai batang kayu.

Parkiran kampus ini memang nyaman, teduh, dan aman dari curanmor, karena banyak mahasiswa yang juga nongkrong di bangku DPRD.

"Maaf ya, salah orang" kata Ardi yang meniru ucapan Dito.

"Bukan salah orang, tapi salah bencong" ucap Dito kesal.

Kawan-kawan yang lain tertawa terbahak-bahak. Dito menyalahkan Ardi yang pertama kali memberi kode untuk mendekati cewek jadi-jadian itu.

"Sorry Dit, gua nggak tau, kalo tuh cewek produk rakitan" ucap Ardi sambil menahan ketawa.

"Nggak tau, nggak tau, loe nggak liat jakunnya segede ini" ucap Dito sambil mengepal tinjunya.

Semua tertawa, renyahnya suara tawa mereka membuat orang-orang di sekitar pun ikut tertawa. Muka Dito merah menahan malu.

Sebenarnya tak ada yang bisa disalahkan, malam itu mereka hanya melihat cewek itu dari arah belakang. Dito hanya mencari pelampiasan kekesalannya. Hukuman taruhan belum terbayar, impian mendapat cewek pun buyar.

Mereka tertawa sampai perut mulas, perlahan-lahan menghentikan obrolan konyol itu. Rommy melirik ke belakang Nico. Terlihat Reana berjalan pelan sambil menunduk. Nico pun terpancing untuk melihat, membalikkan badan dan memandang ke arah Reana.

Seperti biasa Reana mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Kalau diperhatikan rancangan kemejanya semua sama, mungkin warnanya saja yang berbeda. Orang picik akan berpikir kalau Reana membeli kemeja lusinan.

Tapi itu tidak penting, hari ini Reana terlihat berbeda, kemeja berwarna cream, membias cerah diwajahnya.

"Gue yakin dalam pandangannya, semua gelap, kecuali jalan yang dilaluinya" ungkap Rommy sambil mengangguk serius memandang Reana.

Nico diam tak merespon matanya masih tertuju pada Reana.

Tiga semester sudah gadis itu berkeliaran di kampus ini. Tapi Nico tak pernah merasa melihatnya, mungkin karena jadwalnya yang tidak pernah sama atau Nico yang tidak pernah menyadari keberadaannya.

"Hai Re" sapa seorang gadis tiba-tiba membuat Reana gelagapan.

Reana hanya mengangguk sekilas pada gadis itu lalu kembali ke dunianya.

Sejak Reana membantu pak Prapto membahas soal, banyak orang yang mengenalnya. Entah teman kelasnya atau kakak kelas yang mengulang mata kuliah itu.

Banyak juga yang meminta bantuannya saat mereka kesulitan mengerjakan tugas. Di kelas pak Prapto, mereka berlomba untuk duduk di samping Reana. Dan, yang terpenting dari semua itu, mereka tidak se-takut dulu lagi karena ada Reana di pihak mereka.

Bahkan catatan Reana sering tidak jelas di mana rimbanya. Bergilir dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain untuk di fotocopy.

Memang metode Reana dalam membahas soal-soal lebih detail, lebih jelas darimana asalnya, tidak melompat-lompat seperti cara Pak Prapto. Mungkin pak Prapto berpikir se-level mahasiswa sudah pasti tahu dasar-dasarnya, jadi tidak perlu dijelaskan lagi.

"Reana, tolong menu untuk meja 10" ucap Bu Shinta, Kepala Pelayan di restoran itu.

Reana segera mengambil daftar menu yang tersusun rapi di meja. Hari ini dia menambah jam kerjanya hingga malam karena menggantikan seorang pelayan yang berhalangan hadir.

Hal itu biasa mereka lakukan, di saat Reana berhalangan hadir maka pelayan lain pun rela menggantikannya.

"Re " jerit Alika.

"Kamu kerja disini?" ucapnya sambil mengamati seragam Reana.

Reana kaget, dia yang tak menyangka pelanggannya adalah Alika dan...

Reana menoleh ke seberang meja Alika, Hasbi.

Reana mengangguk dengan kikuk.

"Pantesan habis kuliah langsung pulang, nggak pernah nongkrong di kampus" ujar Alika lagi.

"Nggak juga, saya sering kok, nongkrong di perpus" balas Reana.

Alika dan Hasbi tertawa mendengar jawaban polos Reana.

"Mana ada orang nongkrong di perpus" jawab Alika masih tertawa.

Reana tersenyum malu, sepertinya dia salah memilih kata nongkrong. Hasbi tersenyum sendiri melihat keluguan gadis itu.

"Alika ulang tahun" ucap Hasbi tiba-tiba.

"Saya bingung memilih kado jadi saya ajak kesini aja" sambung Hasbi menjelaskan.

"Oh.. Mmm, selamat ulang tahun ya Al" ucapnya sambil mengamati tubuhnya, tak ada satupun didirinya yang bisa diberikan untuk Alika.

Reana gelagapan, terlihat bingung, belum pernah dia peduli dengan ulang tahun siapapun kecuali ulang tahun ibunya.

"Maaf, saya nggak punya kado" ucapnya menyesal.

"Nggak apa-apa Re, lagian kamu juga baru tahu" ucap Alika sambil tertawa.

"Baiklah kalau gitu, silahkan dipilih dulu menunya, saya harus kembali ke belakang" ucap Reana sambil sedikit membungkuk kemudian segera berlalu dari pasangan itu.

Reana merasa tidak nyaman berlama-lama di sana. Takut kehadirannya hanya mengganggu acara ulang tahun Alika.

Di balik pintu Reana mengintip ke dua temannya. Alika dan Hasbi sibuk memilih menu sambil tersenyum ceria. Sesekali terlihat Alika mencubit lengan Hasbi. Laki-laki itu pasti sedang menggoda Alika. Tanpa disadari Reana juga ikut tersenyum.

"Temanmu ?" tanya Bu Shinta tiba-tiba berdiri di sebelah Reana.

Reana mengangguk, matanya masih menatap ke arah yang sama.

"Pasangan yang serasi" sambung Bu Shinta sambil ikut mengamati.

"Kamu nggak ikut gabung? " tanya Bu Shinta iseng.

Beliau tau pasti, Reana tidak mungkin mau jadi pengganggu pasangan itu.

"Alika berulang tahun, saya tidak punya kado untuknya" ucap Reana pelan.

Bu Shinta mengangguk-angguk, tiba-tiba dia menepuk tangannya.

"Hampir lupa, di kulkas ada banyak kue tart sisa acara semalam, benarkan Nell?" ucap Bu Shinta pada Nella yang baru selesai melayani pelanggan.

Nella pekerja full time di restoran ini. Tamat dari SMA dia memutuskan langsung mencari kerja, sama sekali tak berniat untuk kuliah.

"Semalam ada yang booking restoran ini untuk acara ulang tahun. Kuenya banyaaaak sekali, selesai acara mereka nggak mau bawa pulang, jadi kami simpan di kulkas" jelas Bu Shinta.

Nella yang baru sadar apa yang mereka bicarakan, ikut mengangguk-angguk.

"Kuenya banyak, saya sampai enek memakannya" sambung Nella.

"Ayo, sini, kamu pilih sendiri kuenya" ucap Bu Shinta semangat, sambil menyuruh Nella mencatat pesanan Alika dan Hasbi.

Nella menyatukan jempol dan telunjuknya membentuk bulatan. Bu Shinta segera membuka kulkas yang besar itu, benar saja di sana berderet-deret kue tart berbagai rasa.

"Punya siapa ini Bu?" tanya Reana ragu.

"Nggak ada yang punya, siapa yang mau silahkan ambil, lagian kamu juga belum coba" jelas Bu Shinta menghilangkan keraguan Reana.

Reana membungkuk mengamati kue-kue cantik yang tersusun rapi. Akhirnya dia memilih tart yang ukurannya tidak terlalu besar, berwarna pink lembut dengan topping kelopak bunga yang indah.

Reana mengambil dan meletakkan kue di atas nampan yang disiapkan Bu Shinta lengkap dengan pisau dan piring kuenya. Tak lupa Bu Shinta menancapkan sebatang lilin ulang tahun sisa acara semalam. Bu Shinta benar-benar cekatan, restoran ini sangat bergantung padanya. Selain itu sifat Bu Shinta yang suka menolong membuatnya selalu berpikir cepat mencari solusi.

"Kalau mereka ajak bergabung, ikuti saja lagian jam segini belum banyak tamu yang datang" ucap Bu Shinta memberi izin.

Reana mengangguk meski ragu-ragu. Sambil membawa nampan ia melangkah pelan menuju meja Alika dan Hasbi. Rasanya ingin berbalik dan kembali ke dapur. Tapi Bu Shinta yang masih memperhatikannya membuat Reana melanjutkan langkahnya. Jika kembali, sama saja tidak menghargai usaha Bu Shinta.

"Al " ucap Reana.

"Saya, ini... " ucap Reana bingung memilih kata-kata.

Gadis itu meletakkan nampan berisi kue tart tersebut di atas meja.

"Cuma ini yang saya punya... tolong di terima" ucapnya lagi.

"Wow surprise, apa ada promo ulang tahun di restoran ini?" tanya Alika.

"Ah.. tidak" bantah Reana sambil melambaikan kedua tangannya.

"Kalau gitu kue ini masuk tagihan mu Bi" ucap Alika.

"Nggak masalah" jawab Hasbi sambil tersenyum.

"Ah tidak, ini gratis" jawab Reana cepat.

"Berarti, ini kado darimu?" tanya Hasbi.

"Oh.. ya, selamat menikmati" ucap Reana cepat, bergegas meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba tangan Hasbi menyambar tangan Reana, menghentikan langkahnya. Alika memandang Hasbi heran.

"Kami nggak akan sanggup menghabiskan kue ini, tolong bantu kami ya?" ucap Hasbi setengah memohon.

Alika yang baru sadar dengan apa yang terjadi, menyetujui usulan Hasbi. Reana menoleh pada Bu Shinta, meminta persetujuan. Bu Shinta mengangguk dari jauh.

"Satu, potong saja" tangan Reana yang masih bebas mengacungkan jari telunjuknya.

Hasbi mengangguk, melepaskan tangan Reana dan berdiri menyiapkan kursi untuknya. Karena meja ini memang khusus untuk berdua. Reana mengucapkan terimakasih sambil duduk di kursi yang disiapkan Hasbi. Suasana agak canggung bagi Reana, buru-buru dia menyodorkan kue tart kehadapan Alika.

"Lilinnya keburu meleleh, ayo Al... " ucap Reana.

"Make a wish" sambungnya.

Alika menutup matanya sejenak, lalu meniup lilin. Bertiga mereka bertepuk tangan. Tak menunggu lama Alika segera membagikan tart untuk Hasbi, untuk Reana dan untuk dirinya sendiri.

"Mmm, lezaaat" ucap Alika.

Hasbi tersenyum melihat ekspresi Alika, seperti anak kecil yang mendapat kue kesukaannya.

"Ayo, makan kuenya" perintah Alika pada Hasbi yang hanya memandangi.

"Nggak, terlanjur kenyang liatin kamu makan" ucap Hasbi sambil menopang dagu.

Alika langsung memotong kue di piring Hasbi dan menyodorkan ke mulut laki-laki itu .

"Makan nih, makan, makan..." ucap Alika memaksa.

Hasbi mengelak sambil tertawa, tapi akhirnya laki-laki itu berhasil disuapi Alika. Kue yang dipilih Reana adalah kue yang paling cantik menurutnya. Namun tak di sangka rasanya sangat enak, Reana senang Alika menyukainya.

Dan yang lebih berkesan bagi Reana adalah sekarang dia bisa merasakan bahagianya merayakan ulang tahun seorang teman. Hasbi dan Alika bergantian bercerita pengalaman mereka selama menjalani persahabatan. Gelak tawa mereka pecah saat mereka menceritakan kisah-kisah lucu.

Sesekali Alika mencubit lengan Hasbi atau melempar serbet karena malu. Reana tertawa, setitik air mata muncul di sudut matanya.

Setelah menghabiskan kuenya, Reana pamit kembali ke dapur restoran. Reana ingin memberikan kesempatan pada Alika dan Hasbi untuk merayakannya berdua saja.

Setelah makan malam spesial ulang tahun berakhir, Alika dan Hasbi beranjak meninggalkan meja restoran. Alika menunggu di depan sementara Hasbi membayar tagihannya di kasir.

"Mbak, bisa bantu saya?" tanya Hasbi pada wanita penjaga kasir.

"Ya, ada yang bisa di bantu?" ucap wanita itu balik bertanya.

"Bisakah mbak tolong saya bungkuskan menu yang sama untuk Reana" pinta Hasbi.

"Reana kami?" tanya wanita itu.

" Ya, tolong di berikan saat dia pulang kerja nanti" pinta Hasbi.

Wanita itu menyanggupi, Hasbi membayar semua tagihan dan tak lupa memberikan tips pada wanita itu sebagai rasa terima kasih atas bantuannya.

...~ Bersambung ~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!