Tok.. tok.. tok..
Reana bersiap-siap untuk pulang ketika Hasbi, sang ketua kelas mengetuk meja kuliahnya. Hasbi tersenyum, Reana terkesima, baru kali ini ada orang yang menyapanya apalagi tersenyum padanya. Buru-buru Reana menunduk.
Hasbi menjabat sebagai Ketua Kelas sejak Semester I hingga sekarang. Posisinya tak pernah tergoyahkan, tak ada yang pantas menjadi ketua di kelas ini selain dia. Semua orang bilang Hasbi orang yang pengertian dan menyenangkan, terlebih lagi, gantengnya Hasbi tak kalah dibanding personel-personel boyband Korea.
"Ada apa?" tanya Reana pelan nyaris tak terdengar.
Hasbi duduk di bangku depan mengarah ke Reana sambil meletakkan beberapa lembar kertas di meja.
Reana mengamati lembaran kertas itu, tak mengerti apa maksud Hasbi meletakkan kertas-kertas itu dihadapannya.
"Besok Pak Prapto nggak bisa mengajar karena bertepatan dengan jadwal Medical Check Up beliau," jelas Hasbi melihat Reana yang kebingungan.
Pak Prapto memang sudah tua, mungkin harus teratur memeriksakan kesehatannya. Beliau adalah dosen senior di kampus ini, tak seorang pun yang berani membantah ucapannya.
Jangankan mahasiswa, para dosen pun hanya pasrah mendengar omongan sinisnya. Karena ucapan beliau meskipun nyelekit tapi selalu nyata kebenarannya.
Sebagian besar penghuni kampus ini mungkin berharap pak Prapto segera pensiun. Bahasa halusnya istirahat menikmati masa tua. Namun, semangat pak Prapto untuk mentransfer ilmunya tak pernah surut. Tinggal mahasiswa yang lemah dengkul saat berhadapan dengannya.
"Jadi beliau meminta kamu untuk mengajari kami," lanjut Hasbi.
"Haa..," ucap Reana kaget, matanya terbelalak.
Hasbi tersenyum melihat ekspresi polos Reana saat terkejut.
"Nggak ah, nggak, saya nggak bisa," ucap Reana panik sambil melambaikan kedua tangannya.
"Tenang dulu," ucap Hasbi.
"Kamu nggak harus ngajar seperti pak Prapto ngajarin kita, anggap aja seperti ngasih kursus atau seperti kamu bantuin temenmu yang belum mengerti," lanjut Hasbi.
Analogi Hasbi sama sekali nggak pas, siapa yang pernah minta bantuanku? pikir Reana.
Reana tak pernah berkomunikasi dengan siapapun di kampus ini. Tak pernah memiliki teman ataupun bicara dengan siapa pun. Bahkan Reana berpikir orang-orang mungkin tak bisa melihatnya.
"Saya nggak bisa bicara di depan kelas," akhirnya Reana mengungkapkan kesulitannya.
"Kami ini teman-temanmu, masa nggak mau sih, bantu kami membahas soal-soal ini?" tanya Hasbi mencoba merayu Reana.
Membayangkan dirinya berdiri di depan kelas dan semua mata tertuju padanya. Belum lagi mahasiswa-mahasiswa usil yang akan mengejek dan mengolok-oloknya. Reana menggelengkan kepalanya kuat, menghapus bayangan mengerikan itu.
"Anggap aja kami ini anak-anak SD yang ingin belajar sama kamu. Saya janji, kalau ada yang usil saya yang akan menegurnya langsung," ungkap Hasbi seperti bisa membaca pikiran Reana.
Reana terdiam bingung, setuju, nggak, setuju, nggak. Reana menghembuskan nafas panjang.
"Ada apa Bi?" tanya Alika yang tiba-tiba muncul dan langsung duduk di kursi kuliah kosong di samping Reana.
Alika, gadis cantik yang anggun, berasal dari keluarga kaya, a wise girl, sangat serasi menjadi pendamping Hasbi sebagai Wakil Ketua di kelas ini.
"Tadi saya dipanggil ke sekretariat, pak Prapto menitipkan pesan agar memberikan soal dan pembahasan ini buat Reana," lalu Hasbi menjelaskan panjang lebar tentang keberatan Reana.
"Wow, benarkah? " ucap Alika kagum.
"Jangan takut Re, jangan grogi. Anggap aja kami semua anak-anak SD," kata-kata Alika sama persis seperti ucapan Hasbi.
Reana terdiam namun tangannya bergerak mengambil lembaran kertas itu dan membolak-baliknya.
"Soal ini mirip dengan soal di papan tulis minggu lalu," ucapnya pelan.
"Ada sepuluh soal," sambung Hasbi.
"Tapi nggak wajib di bahas semua kok, seberapa bisanya kamu tapi yang penting anak-anak bisa mengerti, minggu depan mungkin diadakan quiz," jelas Hasbi mengulang instruksi dari Sekretariat kampus.
Reana menghembuskan nafas berat namun akhirnya menyetujui permintaan itu. Dukungan dari Hasbi dan Alika membuat Reana sedikit mendapatkan kekuatan.
Reana melangkah menuju perpustakaan, itulah yang biasa dilakukannya sehari-hari. Sambil menunggu jadwal kuliah selanjutnya atau menunggu jam masuk kerja di restoran. Reana tidak mau menyia-nyiakan ongkos bolak-balik kost-an dan kampus.
Berjam-jam menghabiskan waktu di perpustakaan akhirnya Reana beranjak meninggalkan kampus. Menuju restoran tempat dia bekerja paruh waktu. Perutnya yang sudah unjuk rasa mengajak untuk segera masuk ke dapur restoran.
Biasanya makanan yang tersisa diberikan kepada Reana untuk dibawa pulang. Manager restoran yang baik hati memberi kebijakan seperti itu, mengingat Reana adalah gadis miskin yang sedang menimba ilmu.
Tapi beberapa hari belakangan, jatah makanan tsb dialihkan ke mbak Nani, janda beranak dua yang baru bekerja di restoran itu. Kalau sisa makanannya banyak barulah Reana bisa kebagian.
Efeknya pagi ini Reana tidak sarapan. Reana memilih menahan lapar ketimbang menggunakan uang simpanannya untuk membeli sarapan.
Bukan pelit pada diri sendiri tapi semua terpaksa dilakukannya demi rasa sayangnya pada mamanya.
Reana tidak mau menyusahkan mamanya yang tinggal seorang diri karena ayahnya yang telah mendahului menghadap Yang Maha Kuasa.
Kehidupan yang sulit membuat Reana tertutup pada orang-orang disekitarnya. Hidupnya hanya terfokus untuk mencari biaya hidup dan kuliah. Beruntung karyawan restoran adalah orang-orang yang pengertian hingga mereka tetap bersikap baik dan sayang pada Reana.
Nico menambah laju kecepatan motornya. Seperti sedang shooting film action, tanpa ragu-ragu ia menyalip di tengah-tengah kepadatan lalu lintas.
Hari ini dia bertekad datang lebih cepat dari minggu lalu. Memikirkan mata kuliah satu ini membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Kekuatan kursi keramat tidak cukup membuatnya tenang. Tapi niat Nico sepertinya tak direstui Tuhan. Kemacetan parah yang dialaminya tadi membuat Nico tak bisa berkutik.
Begitu terbebas dari jeratan macet, Nico langsung memacu motornya secepat mungkin, membuat jalan raya tak ubahnya sirkuit MotoGP.
Kenapa begitu sial setiap kali berurusan dengan mata kuliah ini, pikirnya sambil terus melaju memasuki gerbang kampus.
Telat lagi, bahkan lebih lambat dari minggu lalu, pikirnya sambil berlari menuju kelas pak Prapto.
Nico berhenti di pintu kelas, ingatan minggu lalu kembali terlintas.
Semoga saja cecunguk-cecunguk itu tidak lupa menyediakan bangku untukku di belakang, batin Nico.
Bersama-sama dengan sahabat di tengah pertempuran seperti ini akan membuat hatinya sedikit merasa lega.
"Hai..," sapa Dito santai saat melihat kepala Nico muncul di balik pintu.
Buru-buru Nico melihat jam tangannya.
Apa aku salah lihat jam? Atau jam ini rusak? Sebentar lagi jam kuliah di mulai tapi mahasiswa di kelas ini seperti tak berniat kuliah, batin Nico.
Ada yang bersandar di dinding sambil mengamati ponsel, ada yang cubit-cubitan, kejar-kejaran seperti anak SD. Bahkan Rebecca masih sibuk menatap cermin merapikan bulu matanya.
"Pak Prapto nggak masuk," ucap Dito melihat Nico yang berjalan ke arah mereka dengan wajah bingung.
Oow, pantas pada nyantai semua, pikir Nico.
Mana udah buru-buru, pikirnya lagi sambil tersenyum.
"Trus.. kita cabut nih?" ucap Nico pada teman-temannya seakan-akan mereka berkumpul hanya untuk menunggu Nico.
"Nggaklah, kuliah tetap jalan," ucap Ardi sambil memonyongkan mulutnya ke arah Reana.
Nico mengikuti arah Ardi, menatap gadis yang duduk sendirian di bangku deretan depan.
Apa hubungannya? pikir Nico.
"Dia yang ngajarin kita," lanjut Ardi
"Hah" ucap Nico kaget.
"Jangan hah, gua udah bela-belain bangun pagi buta biar dapat posisi aman. Eh taunya pak Prapto gak masuk," jelas Rommy.
Mereka bertiga ketawa serempak, si tampang cerdas ini terlihat cool saat kuliah minggu kemarin taunya keder juga.
Tawa mereka terhenti saat Ketua kelas maju ke depan. Meminta perhatian dari seluruh penghuni kelas. Menjelaskan keadaan sesungguhnya dan meminta Reana untuk memulai kuliah.
Reana berdiri ragu-ragu, melangkah pelan ke depan kelas, membalikkan badan ke arah mahasiswa dengan wajah yang masih tertunduk.
"Tolong ya," ucap Hasbi sambil menepuk bahu gadis itu.
Reana melirik kearah Alika, gadis kaya itu mengayunkan kepalan tangannya memberi semangat. Reana tersenyum dipaksakan, melirik Hasbi yang masih berdiri disebelahnya. Mengangguk pelan menunjukkan bahwa dia telah siap, setengah siap sebenarnya.
"Baiklah teman-teman dan kakak-kakak sekalian, kita mulai kuliah hari ini, ada yang ingin saya tekankan sebelumnya. Tolong tetap tertib, dan barang siapa yang dengan sengaja tidak mengikuti kuliah akan mendapat sangsi dari pak Prapto. Tetap semangat, kuliah ini akan terlihat hasilnya di quiz Analisa Numerik minggu depan, semoga kita bisa," ucap Hasbi lalu mengangguk sambil tersenyum pada Reana kemudian kembali ke tempat duduknya.
Reana mengambil alih perhatian kelas. Tenggorokannya mendadak kering, tapi dia mencoba untuk tetap tenang, menyembunyikan groginya.
"Teman-teman dan.. kakak-kakak sekalian.., pak Prapto.., menyediakan.., sepuluh soal.., untuk kita bahas," ucap Reana sambil mengacungkan lembaran kertas.
Suara gadis itu bergetar terbata-bata, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Di tempat duduknya, Hasbi memberi semangat seperti yang dilakukan Alika.
Mendengar banyaknya soal yang akan di bahas membuat kelas gaduh. Satu soal saja sudah membuat kepala pusing apalagi sebanyak itu.
"Tapi..., saya memutuskan..., untuk memilih tiga soal saja," ucap Reana ragu-ragu.
Harbi tercenung, Alika terbelalak.
Cuma tiga? Apa nggak terlalu sedikit? Apa yang Reana pikirkan? Nggak takut pak Prapto murka? batin mereka dalam hati.
"Satu soal untuk dibahas, satu soal untuk teman-teman kerjakan sendiri di sini dan satu soal lagi..., sebagai tugas di rumah," lanjut Reana mulai lancar.
"Tolong perhatikan dengan seksama, jika ada yang belum paham, jangan ragu untuk bertanya. Saya ingin, semua bisa mengerjakan soal ini saat pak Prapto mengadakan quiz nanti," ujar Reana memberi arahan.
Semua termangu membayangkan quiz minggu depan.
Reana menulis soal dan membahas dengan pelan dan jelas. Entah kenapa, para mahasiswa berangsur-angsur semangat bertanya.
Sebentar-sebentar mereka mengacungkan tangan, tak malu-malu lagi menanyakan darimana asal angka-angka yang ditulis Reana. Hasbi tersenyum melihat semangat kelas ini, Alika pun demikian.
Menaklukkan satu soal saja, berasa jadi ahli Matematika.
Wajah ceria para mahasiswa yang bertanya tanpa rasa takut dipermalukan atau takut ketahuan bego, membuat kelas ini memancarkan aura positif yang terpantul di wajah Reana.
Sesekali mahasiswa bercanda, Reana tersenyum, Reana tertawa. Semua tak lepas dari pandangan Nico.
Manis, senyumnya manis sekali, batinnya berbisik.
Wajahnya bening, matanya indah, lekukan wajahnya sempurna, batin Nico sambil menggelengkan kepala.
Kenapa aku berpikir aneh seperti ini. Apa ada yang salah dengan mataku? Kenapa hari ini Reana terlihat begitu cantik. Pasti ada yang salah dengan otak ini, pikir Nico.
Bukan, bukan otakku yang salah, Reana-lah yang salah, Reana-lah yang tak pernah tersenyum, Reana-lah yang selalu menunduk menyembunyikan kecantikannya, maki Nico dalam hati.
Nico mengusap wajahnya dengan kasar. Ardi heran memperhatikan sahabatnya.
"Napa loe, masih belum ngerti? Tanya aja," ucap Ardi, sahabatnya terlihat kusut, bukan wajahnya tapi pikirannya.
Nico menyipitkan matanya, bukan kuliah ini masalahnya, tapi Reana. Nico tidak bisa mengungkapkan itu pada Ardi, dia sendiri tidak tau bagaimana menjelaskannya.
Pembahasan soal telah selesai, tak ada lagi yang bertanya. Reana menulis satu soal lagi di papan tulis.
"Untuk soal ini, tolong dikerjakan sekarang juga, nanti akan saya beri nilai. Saya ingin tahu seberapa banyak mahasiswa yang paham pembahasan hari ini," ucapnya sambil tersenyum.
Reana benar-benar sudah bisa menguasai dirinya dan kelas ini. Walau kadang muncul rasa malu saat ada mahasiswa yang mencoba menggodanya.
Alika adalah orang pertama yang menyerahkan tugasnya. Reana yang duduk di meja dosen langsung mengoreksi saat itu juga. Reana tersenyum, Alika mendapat nilai sempurna, Alika berterima kasih dan kembali ke tempat duduknya.
Tentu saja Alika orang pertama, Alika yang juara kelas berturut-turut. Dia juga tak mau kalah dengan mata kuliah yang satu ini.
Satu per satu mahasiswa menyerahkan tugasnya, Reana mengoreksi dan menjelaskan secara langsung dimana letak kesalahannya. Kebanyakan dari mereka mengangguk mengerti.
Tak lupa Reana mencatat nama dan nilai yang mereka peroleh di secarik kertas. Sebagai bahan evaluasi baginya, dia juga ingin tahu seberapa berhasil dia menjalankan tugas dari pak Prapto.
Di menit-menit terakhir jam kuliah habis, Reana menulis soal untuk dikerjakan di rumah. Semua semangat mencatat di buku tugas. Reana berpesan untuk selalu mengulang pelajaran di rumah.
Tak lupa dia berterima kasih pada seluruh mahasiswa yang telah mendukungnya. Berterima kasih karena selama kuliah berlangsung, tak ada masalah yang berarti. Seperti yang ditakutkannya selama ini.
Satu persatu mahasiswa bergerak pulang. Reana masih duduk di meja dosen mengamati daftar nama dan nilainya. Hasbi menghampiri.
"Makasih ya,"ucap Hasbi sambil tersenyum.
"Kenapa harus berterimakasih?" tanya Reana meski pelan, sekarang gadis itu sudah mulai rajin bicara, biasanya pertanyaan apapun hanya tenggelam di otaknya.
"Ya haruslah, karena sudah membantuku menjalankan amanah pak Prapto," ucap Hasbi sambil meraih kertas di tangan Reana.
"Berapa orang yang berhasil?" tanyanya lagi.
"Lebih dari setengah yang mendapat nilai seratus," balas Reana.
"Wow, benarkah? Hebat, kamu berhasil membuat mereka paham," sahut Hasbi kagum.
"Mudahan-mudahan minggu depan mereka tidak lupa lagi," ucap Reana khawatir.
"Makanya kamu memberi tugas rumah?" tanya Hasbi.
Reana mengangguk.
"Gimana?" tanya Alika tiba-tiba.
"Lebih dari setengah yang mendapat nilai seratus," jawab Hasbi
"Wow, kalau gitu, harus dirayain nih," ucap Alika penuh semangat.
Hasbi mengangguk, minta persetujuan Reana.
"Nggak ah, kalian berdua aja yang rayain," jawab Reana.
"Saya harus segera pulang," sambungnya sambil bergerak mengambil ransel dan beranjak pergi.
Di depan pintu dia berbalik.
"Trimakasih, Trimakasih untuk segalanya," ucap Reana, sambil melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu.
"Anak yang aneh," ucap Alika
"Tapi baik," sambung Hasbi.
"Menurutmu kenapa pak Prapto memilih Reana? Apa nggak ada mahasiswa lain yang bisa?" tanya Alika.
"Emang siapa lagi yang bisa? Apa kemaren jawabanmu sama dengan jawaban Reana?" tanya Hasbi penasaran.
"Nggak," sahut Alika.
"Huuu, untung aja namamu nggak dipanggil, kalau nggak, kemaren udah jadi model di pojok sana," olok Hasbi sambil mengusap kepala Alika.
Mereka saling pandang lalu tertawa.
...~ Bersambung ~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
Kinky Can
👍
2024-02-12
2
TDT Angreni
awalan cerita yang bagus.
2023-08-29
0
Nila
seru juga
2022-06-04
1