Cinta Jas Putih (COMPLETED)
"Pagi, Sus." sapa Lili setelah sampai di poli interna. Di awal koas, dia dan beberapa temannya mendapat jatah di bagian interna, selama sekitar delapan minggu.
Setelah presentasi kasus dan ujian, dan tentu saja setelah dinyatakan lulus, barulah ia akan dipindah ke bagian lain.
"Sumringah banget sih, Dek!" goda Ima, perawat muda (baca : baru lulus) yang juga baru saja diterima bekerja di RSUD tersebut.
"Yaa ... bukankah kita harus memulai hari dengan senyuman?" balas Lili yang sudah duduk di kursinya.
"Iya deh, iya ... orang cantik mah bebas ya, Dek!" Bu Sisi, perawat senior di bagian interna menimpali sambil menumpuk beberapa map status itu di meja.
"Halah, semua wanita itu cantik, Buk!" ujar Lili sambil merogoh saku snelinya.
"Dek Koas Lili nanti jangan lupa disuruh nemenin Dokter Yudha visiting pasien inap ya!"
Lili mengerutkan dahi, Dokter Yudha? Dokter yang songong, judes, galak, kaku, dingin, diktator, dan entah hal jelek apa lagi yang Lili sematkan padanya, kenapa harus dia?
"Aduh, Buk! Auto mules perut aku begitu Ibuk sebut namanya!" Lili meringis, merajuk Bu Sisi berharap ia digantikan oleh temannya yang lain.
"Waduh, Dek! Buruan gih ke kamar mandi dulu. sebelum Dokter Yudha datang!" Bu Sisi yang di kode malah tidak peka.
Lili memanyunkan bibirnya, "Sebenarnya yang bikin aku harus jadi asisten paten dia siapa sih, Buk?" Lili mendengus, bibirnya masih monyong lima senti.
Bu Sisi celingak-celinguk melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Lili.
"Apa???" Lili melotot kemudian Bu Sisi menempel telunjuknya tepat di bibir Lili.
"Tapi kenapa?" tanya Lili masih histeris. "Kenapa harus aku?"
"Kayaknya naksir kamu deh, Dek!"
Lili mendadak merinding, laki-laki sekaku itu? Sejudes itu? Ihhh ....
Belum sempat Lili kembali membuka mulut, sosok tinggi tegap dengan rambut hitam klimis dan hidung mancung itu sudah muncul dan berdiri di depannya.
"Bagus kalau sudah hadir!" ujarnya sambil menandatangani absen kehadiran. "Lainnya mana?" tanyanya begitu datar, dingin, dan kaku.
"Tidak tahu, Dok!" jawab Lili seperlunya, perutnya yang tadi sudah mulas kini semakin mulas!
"Oke, kamu ikut saya!" ujarnya lalu meraih stetoskop yang tadi ia letakkan di meja.
Lili melonggo, ikut dia? Sekarang? Kemana?
"Kemana, Dok?" tanyanya begitu polos, ia tak percaya secepat ini harus mengasisteni dokter killer itu!
"Kemana katamu? Kamu mau koas sepanjang masa di sini?"
"Waduh! Ya jangan, Dok!" Lili gelagapan, tapi sepagi ini mau kemana? Bukannya jam kunjungan pasien inap baru dimulai pukul sebelas? Ini baru pukul setengah delapan!
"Dibagian ini aku konsulen mu! Jadi semua nilai kamu disini tergantung padaku!" ujarnya datar. "Itu sudah mutlak!"
Lili tak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun, matanya membulat menatap laki-laki dengan Hem biru dan sneli lengan panjang itu.
"Masih berdiam di situ? Mau nilai D?"
"Eng-enggak, Dok!" Lili gelagapan.
"Ayo ikut!" bentaknya sambil balas menatap Lili yang masih tak berkedip menatapnya.
"Tapi ... bukankah jam visiting pasien masih pukul sebelas, Dok?"
Sosok itu menatapnya tajam, "Kamu pikir dokter koas itu cuma mengasisteni dokter senior visiting pasien doang? Enak kali kau!"
Lili masih melongo, ia belum paham.
"Asistensi saya praktek hari ini sebelum jadwal kunjungan pasien! Mengerti?"
Dhuaaarrr!!!
Seperti disambar petir Lili mengejang di tempatnya berdiri. Itu artinya selama koas di poli interna ia akan menghabiskan banyak waktu dengan dokter zombie ini?
"Lima menit tidak menyusulku, kubuat kau mengulang bagian ini satu kali lagi!"
***
Lili dengan tergesa mengekor di belakang Dokter Yudha, belum apa-apa keringat dingin sudah mengucur membasahi dahinya.
Entah akan jadi apa masa koas yang dalam bayangannya akan menjadi masa yang begitu indah, dimana kemudian ia akan berjumpa dengan seorang dokter tampan, mempesona, dan kemudian saling jatuh cinta, lalu menikah, membuka klinik mereka sendiri, dan Lili pun sudah menentukan spesialisasi apa yang akan dia ambil kelak, sungguh indah imajinasi Lili.
Namun imajinasi dan harapan itu pupus, luluh begitu yang ia jumpai dokter sejenis Dokter Yudha!!!
Tunggu, sebenarnya Dokter Yudha ini masuk kategori dokter yang dia harapkan seperti dalam imajinasinya.
Posturnya tinggi, tegap, gagah, dengan kulit putih bersih, hidung mancung, bibirnya merona, mungkin dia bukan laki-laki perokok, belum lagi penampilannya selalu rapi bersih, dan mmm ... cukup macho juga.
"Woy ... Lili mau kemana!"
Lili tersentak dari lamunannya, ia baru sadar bahwa ia kebablasan, alias ruang praktek Dokter Yudha telah terlewati. Dokter zombie itu sudah melipat tangannya sambil memasang muka ketus.
'Mamp*s aku!'
"Maaf, Dok!" guman Lili sambil tersenyum kecut, berharap wajah ketus itu tidak berubah semakin menyeramkan.
Dokter Yudha tidak berkata-kata lagi, dia langsung duduk di mejanya, meletakkan tas dan membuka snelinya.
Mata Lili terbelalak begitu melihat otot-otot lengan Dokter Yudha yang tidak bisa disembunyikan oleh Hem birunya, sungguh idaman sekali laki-laki ini!
"Kenapa? Aku nggak akan buka baju, jadi tenang saja!" ujarnya lalu menyampirkan sneli di punggung kursinya.
Lili melangkah dengan gemas, kenapa juga harus mahluk seperti ini yang ia asistensi? Wajah dan tubuh begitu menggoda, tetapi sikapnya begitu menyebalkan tingkat dewa, Oh Tuhan!!
"Saya harus ngapain, Dok?" sungguh pertanyaan yang sangat bodoh, dan Lili menyesal mengucapkan nya!
Dokter Yudha mengangkat wajahnya, mata tajamnya menatap tepat di mata Lili.
"Perlu dijelaskan lagi alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan pasien, Lili?"
Lili hanya menggeleng, ia merasakan wajahnya memanas ketika mata cokelat itu menatap tajam langsung ke bola matanya.
Ia bergegas menyiapkan semua, mengecek handsanitizer apakah masih, tensimeter apakah berfungsi, mesin EKG, dan lain sebagainya.
Lili begitu sibuk sehingga ia tidak menyadari bahwa sepasang mata tajam itu tengah mengawasinya.
***
"Siaalll....!"
Lili terus mengumpat di kantin, teman-teman hanya cekikikan mendengarkan umpatannya. "Kenapa sih harus aku yang jadi asisten dokter zombie itu?"
"Udahlah, rejeki itu!" ledek Nindi sambil terus menyendok bakso di mangkoknya.
"Rejeki pala Lo peang?" Lili makin gusar, dipukul-pukul mangkuk baksonya.
"Udah, sayang mangkok nya kalau pecah, Li!" Tania terkekeh.
"Tapi by the way, Dokter Yudha itu idaman banget lho sebenarnya." Uvi yang dari tadi diam ikut bersuara.
"Iya, kalau saja dia bukan manusia setengah zombie!" Lili menimpali sambil memonyongkan bibirnya.
"Nah kan!" Tania dan Nindi setengah berteriak sambil menunjuk Lili.
"Nah kan apaan?!" balas Lili lebih keras.
"Kamu juga sebenarnya mengakui kan kalau Si Dokter Zombie itu sebenarnya idaman?"
Lili mendengus, "Kalau dia bukan manusia setengah zombie, ingat kata-kata ku!"
"Hati-hati lho, jangan terlalu membencinya ntar kamu naksir beneran lho!"
"Enak aja! Kalau dia udah bermutasi jadi manusia normal mau lah, tapi kalau masih setengah zombie kayak gitu, amit-amit deh!"
"Kita liat aja besok deh, lagipula kamu koas di bagian interna paling cuma dua bulan kan? Keep calm dong, Sis."
***
Yudha mengacak rambutnya, entah sudah ke berapa kali setelah Lili pamit istirahat tadi. Entah mengapa sejak pertama kali berjumpa dengan gadis itu di acara perkenalan mahasiswa kepaniteraan klinik beberapa hari yang lalu, ia sudah merasa tertarik dengan gadis itu.
Melisa Atmajaya, nama lengkap gadis itu. Dipanggil Lili karena kulitnya seputih bunga Lili. Rambutnya panjang hitam mengkilap macam model iklan sampo di TV. Matanya sipit tanpa lipatan mata, bibirnya berisi, sensual dan merah merona.
Sungguh bayangan itu langsung menghantui dan membuatnya langsung mengajukan diri menjadi konsulen Lili selama koas di bagian penyakit dalam.
Sudah lama sekali ia tidak merasakan sensasi seperti ini. Ia ingat betul terakhir kali adalah ketika masih menjadi mahasiswa FK semester dua.
Setelah peristiwa itu, ia sama sekali tidak mau lagi berhubungan dengan wanita, cinta, janji, sumpah, dan apalah lagi namanya.
Hingga kini usianya sudah 34 tahun, jangankan anak istri, kekasihpun dia tak ada!
Ibu sudah tak henti-hentinya meminta dibawakan menantu, cucu, dan hanya itu yang beliau ucapkan ketika dia pulang kampung, namun bayangan itu, luka itu, masih belum bisa sembuh.
Luka itu masih mengeluarkan darah, meninggalkan nyeri, dan menyesakkan dadanya.
Meskipun sekarang ia seorang internis, namun ilmu kedokteran yang dia pelajari tak mampu menuntunnya untuk menyembuhkan lukanya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 458 Episodes
Comments
zahzah2516
Nemu karya nya author favorit disini...beda ya baca gratisan sama yang berkoin...bacanya mengalir seperti air hehe
2022-06-18
0
zahzah2516
saya mampir kak...nyebrang ini mah..demi baca karya2 kakak..tp disini gratissss hahaha
2022-06-17
0
Setyaning Rahayu
baca lagi untuk ke 3x....ndak bosen dengan kisah yudha lili
2022-03-12
0