"Apa Mas Adi sudah punya rencana?" Rendra menatap kakak iparnya.
Adi menganggukan kepala. Terbiasa kerja di lapangan mengharuskannya bisa berpikir cepat mengatasi setiap masalah yang terjadi.
"Nomernya Adel yang sekarang biar aku bawa. Kalau Restu kirim pesan lagi nanti aku yang akan membalasnya," ujar Adi.
"Adel, apa sudah membeli nomor baru?" tanya Adi kemudian pada calon istrinya.
"Sudah, Mas. Tinggal registrasi saja. Saya ambil dulu ke kamar nomornya." Adelia bangkit dari duduknya, beranjak ke kamarnya.
"Arsen, apa kamu bisa menemani kakakmu kalau dia ada keperluan di malam hari?" Adi beralih pada Arsenio.
"Bisa, Senpai."
"Kamu juga coba selidiki siapa yang kira-kira jadi mata-mata Restu, bisa kan?"
"Akan saya usahakan, Senpai."
"Kalau bisa setiap Adel keluar ada yang menemani. Dek, kalau pas lagi enggak kuliah bisa kan menemani Adel?" Adi beralih pada adiknya.
"Insya Allah bisa, Mas." Dita menganggukkan kepala.
"Aku hanya mengantisipasi saja kalau Restu sampai mencegat Adelia di tengah jalan. Kalau Adelia ada temannya pasti dia akan berpikir dua kali." Adi mengemukakan alasannya.
Adelia kembali ke ruang tamu, dengan simcard baru di tangannya. Dia kembali duduk di samping Dita.
"Kamu simpan dulu nomor-nomor yang ada di kartu lama," kata Adi pada calon istrinya.
"Sudah tersimpan di email kok, Mas. Di kartu tidak ada nomor yang tersimpan," terang Adelia.
"Kalau begitu sekarang ganti saja kartunya," titah Adi.
"Baik, Mas." Adelia menonaktifkan gawainya. Dia mengambil simcard lamanya lalu mengganti dengan simcard yang baru. Setelah itu kembali mengaktifkan gawainya dan melakukan registrasi kartu baru.
"Ini kartunya, Mas." Adelia menyerahkan simcard lamanya pada Adi.
"Terima kasih." Adi menerima simcard Adelia. Dia memasukkannya ke dalam dompet agar tidak hilang.
"Dek, nomornya Adel yang baru tolong disimpan. Nanti dikirim ke mas." Adi menyuruh Dita.
"Siap, Mas." Dita mengetik nomor baru Adelia lalu menyimpannya.
"Semoga setelah ini, Restu tidak mengusik kamu lagi. Tapi untuk berjaga-jaga sebaiknya kamu kalau pergi harus ada temannya. Bisa minta ditemani Dita atau Arsen kalau pas mereka tidak kuliah. Kalau ada sesuatu yang mendesak, tidak apa-apa langsung hubungi aku," pesan Adi.
"Iya, Mas. Terima kasih." Adelia tersenyum pada calon suaminya.
"Sementara itu dulu, hal lainnya nanti menyusul. Karena ini juga sudah malam, kami pulang dulu. Salam buat Om dan Tante," pamit Adi.
"Baik, Mas. Insya Allah nanti saya sampaikan papa dan mama."
Adelia dan Arsenio mengantar Adi, Rendra dan Dita sampai ke depan gerbang rumah.
"Arsen, tolong jaga kakakmu." Adi menepuk bahu calon adik iparnya sebelum masuk ke mobil.
"Siap, Senpai."
"Hati-hati bawa mobilnya, Ren," pesan Adelia.
Rendra mengacungkan jempol sebagai jawaban dari balik kemudi.
"Aku pulang dulu, sampai ketemu nanti. Assalamu'alaikum," pamit Adi sambil tersenyum pada Adelia.
"Iya, Mas. Wa'alaikumussalam," balas Adelia. Dia melambaikan tangan saat mobil mulai melaju meninggalkan rumahnya.
"Ayo masuk, Dek," ajak Adelia.
"Mbak, masuk aja dulu. Aku mau nongkrong sebentar di depan."
"Pulangnya jangan terlalu malam, Dek. Kasihan Mbok Sum kalau bukain pintu malam-malam. Besok kan kamu juga harus sahur."
"Aku bawa kunci kok. Mbak, masuk dulu sana." Arsenio mendorong kakaknya agar segera masuk ke dalam rumah. Dia baru pergi setelah memastikan kakaknya masuk dan mengunci pintu. Dia sengaja nongkrong untuk mencari informasi siapa yang sudah menjadi mata-mata mantan pacar kakaknya.
...---oOo---...
"Dek, kok mas menyesal ya," keluh Adi saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.
"Menyesal kenapa, Mas? Bukan menyesal karena sudah melamar Mbak Adel kan?" Dita mengernyit.
Adi menggelengkan kepala berulang kali. "Bukan, bukan karena itu. Mas menyesal kenapa kemarin menolak saat ayah mau menikahkan kami."
Dita menghela napas lega mendengar jawaban kakaknya.
"Kalau tahu akan ada kejadian kaya gini, mas pasti mau menikah saat lamaran kemarin. Mas enggak bisa berbuat banyak selama masih jadi calon suami Adel." Adi mendesah.
"Penyesalan memang selalu datang belakangan, kalau di depan namanya pendaftaran, Mas," seloroh Dita sambil terkekeh.
"Dek, mas ngomong serius ini," tukas Adi sambil menoleh ke kursi belakang tempat Dita duduk.
"Hihihi, maaf, Mas." Dita meringis sambil menaikkan tangan kanan membentuk huruf V.
"Rencana Mas Adi bagaimana selanjutnya?" tanya Rendra sambil tetap memegang kemudi.
"Aku mau ketemu Pak Lukman. Mau minta izin menikahi Adelia secara agama dulu biar kedudukanku kuat untuk membela Adelia. Ini aku lakukan demi melindungi Adelia, Rend." Adi menoleh pada Rendra.
"Terus Mas enggak minta izin dulu sama ayah?" tanya Dita.
"Ayah pasti langsung setuju, Dek. Dari awal kan ayah juga ingin kami menikah dulu. Tapi besok sebelum ketemu Pak Lukman, mas pasti minta restu sama ayah dan bunda dulu," jawab Adi.
"Mana yang baik menurut Mas Adi saja, kami akan selalu mendukung," timpal Rendra.
"Makasih Rend. Oh ya, apa kamu juga kenal Restu?"
"Pernah dikenalin sih sama Adel. Ketemu paling dua atau tiga kali. Itu juga enggak banyak ngobrolnya. Sebatas kenal aja, Mas. Aku kan juga tidak terlalu dekat dengan Adel. Bara mungkin yang lebih tahu soal Restu kalau Mas Adi ingin tahu."
"Kalau begitu nanti aku coba hubungi Bara."
"Mas Adi mau menyelidiki Restu?" tanya Dita.
"Iya, aku ingin tahu orang seperti apa dia," jawab Adi.
"Terus kalau Mas sudah tahu mau ngapain?"
"Aku kan bisa menentukan apa yang harus dilakukan, Dek. Kita enggak boleh gegabah dan menghadapinya dengan emosi. Nalar dan logika harus dipakai. Kalau cara halus enggak bisa, terpaksa pakai cara kasar."
"Ih, Mas, jangan sampai berkelahi loh." Dita mengerutkan kening karena khawatir.
"Itu pilihan terakhir, kalau terpaksa, Dek." Adi kembali menoleh pada Dita. "Kalau dia sampai menyentuh Adel, mas enggak akan segan-segan menghajarnya."
"Semoga hal itu enggak pernah terjadi. Mas enggak perlu sampai mengotori tangan sendiri."
"Aamiin."
"Terus rencana Mas Adi mau ketemu Pak Lukman kapan?" tanya Rendra.
"Secepatnya. Nanti aku mau minta nomor Pak Lukman dari Arsen, terus janjian ketemu berdua saja, atau bertiga dengan Ibu Sarah."
"Semoga dilancarkan, Mas. Dan masalah Restu bisa selesai secepatnya," doa Rendra.
"Aamiin. Makasih, Rend."
"Sama-sama, Mas."
"Aku mungkin akan sering ngerepotin kamu nanti." Adi menepuk bahu kiri Rendra.
"Ngerepotin apa, Mas. Kita ini kan keluarga, sudah sewajarnya saling membantu dan mendukung satu sama lain. Mas Adi, juga sudah banyak membantuku dulu." Rendra tersenyum mengingat semua dukungan Adi saat ingin dekat dengan Dita.
"Aku juga siap bantu kok, Mas. Jangan lupakan adikmu ini. Tapi, aku tetap enggak setuju kalau sampai adu fisik." Dita menyorongkan badan di antara kedua kursi depan.
"Kan mas tadi sudah bilang itu pilihan terakhir dan jika terpaksa, Dek." Adi menolehkan kepala ke samping kanan.
"Kamu juga setuju kan Rend, kalau Restu sampai menyentuh Adelia, aku akan menghajarnya?" Adi mencari dukungan.
"Pastinya, Mas. Aku lihat ada cowok yang sok akrab sama Dita aja rasanya pengin langsung hajar kok." Rendra tersenyum lebar.
"Ckkk ... dasar kalian berdua ini enggak bisa nahan cemburu dan terlalu posesif," gerutu Dita yang kembali duduk menyandar di kursi belakang.
Rendra dan Adi tertawa mendengar ucapan Dita.
...---oOo---...
Jogja, 090621 23.59
Cerita ini mengikuti kontes You Are A Writer Seasons 5, mohon dukungannya 🙏🤗
Kalau ada masukan, kritik dan saran yang membangun, boleh via kolom komentar, PC atau DM di instagram @kokoro.no.tomo.82
Jangan lupa ritual jempol atau like-nya setelah baca ya, Kak. Karena satu jempol atau like sangat berharga. Terima kasih 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐𝙽❗𝙽 𝙶
setuju nikahin dulu biar bisa lindungi istrimu mas Adi👍👍👍
2022-07-17
1
𝕽𝖈⃞Butirn𝕵⃟dBUᶜʙᵏⁱᵗᵃ
mas Adi oh mas ado... makin jatuh hati Q pd U"" sungguh terlaluuuuu........,
2021-08-13
2
mak iik
mas Adi tolong masukkanlah aku direncana hidupmu😁🤣
2021-06-14
1