"Dek, sudah ada jawaban belum?" tanya Adi pada Dita begitu duduk di samping adik semata wayangnya itu. Dia baru saja pulang dengan Rendra karena suatu keperluan.
"Salam dulu kenapa Mas, baru juga masuk rumah," tegur Dita yang langsung menyalami kakaknya itu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Nah gitu dong. Biasanya juga masuk rumah salam dulu. Oh ya, Kak Adel belum kasih jawaban, Mas."
Adi mendesah. "Lama banget sih."
"Mas Adi, berapa lama Istikharah sampai akhirnya berani ngajak Kak Adel taaruf?" tanya Dita kesal.
"Ada kali sebulan lebih," jawab Adi sambil menerawang.
"Mas Adi aja butuh waktu lama, ini baru tiga minggu, Mas? Kak Adel juga pasti banyak pertimbangan apalagi kemarin sempat gagal menikah."
"Kamu enggak tahu, Dek, gimana rasanya menunggu jawaban," keluh Adi.
"Tanya Mas Rendra tuh, jangan tanya aku."
"Assalamu'alaikum. Ada apa ini kok namaku disebut?" tanya Rendra yang baru masuk.
"Wa'alaikumussalam. Mas Adi galau itu, Mas." Dita berdiri menghampiri Rendra lalu mencium punggung tangan suaminya, yang dibalas Rendra dengan mengecup kening Dita.
"Galau kenapa, Mas?" Rendra duduk di samping istrinya, membuat Dita berada di tengah antara Adi dan Rendra.
"Adel belum beri jawaban."
"Memang sudah berapa lama?" Rendra mengernyit.
"Tiga minggu, Mas," sahut Dita.
"Oh, baru tiga minggu, Mas." Rendra tersenyum. "Kalau begitu lebih kencengin lagi doanya di sepertiga malam, Mas," saran Rendra.
"Gitu, ya?" tanya Adi tak yakin.
"Berdasar pengalamanku sih, Mas."
"Kamu dulu gitu, Rend?" Adi menoleh pada Rendra.
"Iya, Mas. Aku dulu malah nunggunya dua kali," kata Rendra sambil melirik Dita.
"Iya, ya, Rend. Pakai acara kabur pulang ke rumah ayah juga." Adi ikut menimpali.
Dita mengerucutkan bibirnya karena malah menjadi bahan pembicaraan suami dan kakaknya. "Sindir aja terus," ucapnya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Enggak, Sayang." Rendra tersenyum sambil mengelus kepala istrinya.
"Eh, jangan malah mesra-mesraan. Aku belum selesai ngomong sama Rendra ini, Dek," protes Adi.
"Aku mau ke kamar. Mas Adi ngobrol berdua aja sama Mas Rendra." Dita hendak bangkit dari duduknya tapi ditahan Adi.
"Eh, jangan, Dek. Urusan kita juga belum selesai."
Dita kembali menyandarkan punggungnya di sofa.
"Rend, lanjutkan yang tadi," perintah Adi.
"Ya itu dikencengin saja doanya, Mas. Kita minta langsung pada Allah yang bisa membolak-balik hati manusia. Mas Adi berdoa semoga hati Adelia segera terbuka dan bisa menerima Mas Adi," jelas Rendra.
"Enggak ada cara lain, Rend?"
"Aku enggak tahu cara lainnya, Mas. Kalau aku ya dulu cuma itu. Mas, masih mendingan ada Dita yang bisa ditanya. Aku dulu cuma bisa lihat hp. Setiap ada notifikasi masuk berharap itu dari Dita." Rendra terkekeh saat bercerita.
Adi berulang kali menganggukkan kepalanya.
"Kalau Mas Adi enggak sabar, tanya langsung sama Kak Adel aja," usul Dita tiba-tiba.
"Jangan, Dek. Nanti dia malah merasa dikejar-kejar. Bukannya dapat malah lari nanti." Adi menolak usulan adiknya.
"Daripada Mas Adi teror aku terus."
"Ya, siapa tahu Adek lupa. Mas cuma ngingetin aja, Dek. Mas enggak ada maksud buat teror, Adek," elak Adi.
Dita mencibir. "Ngingetin kok melebihi kaya waktu minum obat. Lama-lama aku blokir nomornya Mas kalau aku kesal."
"Eh, jangan coba-coba ya blokir nomor, Mas. Ajari istrimu ini Rend, jangan jadi adik yang durhaka."
Rendra tersenyum geli melihat perdebatan istri dan kakak iparnya.
"Sayang, enggak boleh blokir nomornya Mas Adi. Karena aku pernah di posisi Mas Adi, jadi aku bisa ngerti gimana rasanya. Setiap saat rasanya gelisah menunggu sesuatu yang enggak pasti." Rendra kembali mengelus kepala Dita, memberi pengertian.
"Tapi Mas Adi juga jangan tanya terus setiap saat. Aku kan capek jawabnya. Mas Adi juga enggak sabaran sih, makanya rasanya lama." Dita membela dirinya.
"Iya, Mas mulai besok tanya sekali sehari aja kalau belum ada jawaban." Adi akhirnya mengalah pada Dita. Bisa runyam urusannya kalau adiknya itu mengambek.
"Oh iya lupa. Hari ini terakhir Kak Adel belajar ngaji sama aku."
Adi terkejut. "Kenapa, Dek?" tanyanya dengan raut cemas.
"Karena keluarganya sudah mengundang ustaz ke rumah untuk belajar ngaji dan agama. Mereka sekeluarga katanya mau belajar semua. Aku kan masih minim ilmunya, jadi aku bilang untuk fokus belajar sama ustaz saja yang lebih banyak dan paham ilmu agama."
"Jadi, Adel udah enggak akan ke sini lagi, Dek?" Adi mendadak jadi lesu.
"Aku enggak tahu, Mas. Kak Adel masih ingin tukar pikiran sih sama aku. Bisa jadi juga ada perlu sama Mas Rendra atau malah Mas Adi." Dita mengangkat bahunya.
"Tadarus online-nya masih diterusin enggak, Sayang?" Rendra ikut menyahut.
"Masih, Mas, kalau itu. Apa Mas Adi mau ikut tadarusnya?" tawar Dita.
Adi menggeleng. "Enggak, Dek. Nanti malah pikiranku jadi enggak fokus."
"Sejak aku kecil sampai umur 20 tahun, baru kali ini aku lihat Mas Adi sampai gelisah kaya gini. Dulu waktu lamarannya ditolak cuma sedih aja beberapa hari. Habis itu udah." Cerita Dita.
"Dulu kan langsung ditolak lamarannya, Dek. Jadi langsung dapat kepastian," celetuk Adi.
"Mas Adi, aku tanya serius ini. Kenapa Mas Adi cinta sama Kak Adel?" tanya Dita tanpa basa basi.
"Enggak tahu, Dek. Setelah pertama ketemu rasanya kaya ada kesan yang mendalam dari Adel. Sejak itu aku mulai Istikharah. Aku suka sifatnya yang terbuka, apa adanya, semangat untuk belajar agama."
"Bukan karena fisiknya kan, Mas?" Dita memicingkan mata pada Adi.
"Insya Allah bukan. Kalau wanita yang lebih cantik dari Adel, banyak yang sudah Mas temui, Dek. Kalau hanya dari fisik mungkin sudah lama Mas menikah. Kesan pertama memang pasti dari fisik. Tapi apa gunanya fisik cantik tapi hatinya enggak cantik." Adi mendesah.
"Terus, kenapa kemarin Mas tiba-tiba bilang mau taaruf sama Kak Adel tanpa rencana? Mana tempatnya enggak banget lagi."
"Tanya suami Adek tuh, dulu nembak Adek di Alkid apa dia pakai rencana?"
"Mas, apa benar yang dibilang Mas Adi?" Dita beralih pada Rendra.
"Iya, benar. Aku spontan waktu itu." Rendra menjawab sambil tersenyum kikuk.
"Kalian berdua memang enggak romantis," gerutu Dita.
"Tapi, sekarang aku romantis kan, Sayang?" Rendra membela diri.
"Iya, iya, Mas Rendra."
"Huh ... mulai lagi mesra-mesraan," sindir Adi.
"Udah jangan iri, Mas. Ayo yang tadi belum dijawab kenapa? Enggak mungkin langsung ngomong begitu aja kan, pasti ada pemicunya," desak Dita.
"Harus ya Mas jawab?" Adi malah balik bertanya.
"Ya udah kalau enggak mau jawab. Yuk, Mas Ren, kita pulang ke mama aja."
"Urusan kita belum selesai, Dek. Gitu ya sekarang sama Mas main pergi aja kalau kesal."
"Mas Adi juga bikin kesal sih."
"Iya, mas jawab. Mas terus terang cemburu sama Bara. Mas takut Adel suka sama Bara."
Tawa Dita meledak, sampai ditegur Rendra. Dia mulai menahan tawanya sambil menutup mulut.
"Mas Adi cemburu sama Kak Bara?" Dita kembali tertawa sampai air mata keluar dari sudut matanya.
Adi menatap kesal adik semata wayangnya itu. Akhir-akhir ini sering sekali mengejeknya, meski dia tahu hanya bercanda. Tapi rasanya tetap kesal.
"Sudah kenapa ketawanya, Dek," protes Adi.
"Iya. Uh maaf, Mas. Aku enggak nyangka aja Mas Adi bisa cemburu sama Kak Bara." Dita masih berusaha menahan tawanya.
"Kak Bara memang baik sih, tapi tetap Mas Rendra yang termuah di hati," ucap Dita sambil tersenyum dan menatap suaminya. Bisa bahaya kalau dia juga terlalu memuji Bara. Dia baru tahu kalau ternyata dua pria yang sangat dicintainya itu cemburu pada satu pria yang sama, Bara.
"Oke, kembali ke topik. Jadi kalau hari itu kita enggak ngomong soal Kak Bara dan enggak datang ke festival musik itu, Mas Adi pasti belum akan ngomong kan?"
Adi mengangguk. "Karena aku masih mencari waktu yang pas dan masih memantapkan hati. Tapi waktu aku dengar cerita Adel soal Bara, aku baru sadar kalau aku takut Adel dimiliki orang lain."
Dita menghela napas. "Ya sudah, enggak apa-apa. Sudah terlanjur juga. Meski aku suka meledek Mas. Aku tiap salat berdoa kok buat Mas Adi agar segera mendapatkan jodoh istri yang salehah."
"Aamiin. Makasih ya, Dek." Adi merangkul bahu Dita lalu mencium pelipisnya.
"Aku tuh juga sedih lihat Mas Adi yang gelisah menunggu jawaban, tapi aku bisa apa. Aku juga enggak mungkin memaksa Kak Adel untuk segera memberi jawaban. Karena aku pernah di posisi Kak Adel."
"Ditembak sama seseorang yang enggak pernah kita sangka. Pasti merasa bingung, bimbang. Jangan dikira memberi jawaban itu juga enak. Wanita itu memikirkan banyak hal kalau mau memutuskan sesuatu, tidak asal, pasti dengan pertimbangan yang matang. Apalagi ini tentang masa depan."
"Mas Adi juga harus mengerti Kak Adel yang sedang berhijrah. Kak Adel merasa malu, minder dan mungkin merasa belum pantas karena itu belum memberi jawaban. Mas Adi harus lebih sabar, insya Allah nanti akan dapat jawaban yang ditunggu-tunggu." Dita menenangkan hati kakaknya.
"Iya, Dek."
"Dibanyakin istighfar, Mas, sama doa sepertiga malamnya. Insya Allah hati jadi lebih tenang dan segera mendapat jawaban." Rendra memberi masukan pada Adi.
"Makasih, Rend."
...---oOo---...
Jogja, 240521 00.45
Cerita ini mengikuti kompetisi You Are A Writer Season 5, mohon dukungannya 🙏
Jangan lupa like atau jempolnya ya Kak setekah membaca. Terima kasih 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
ρuʝi ¢ᖱ'D⃤ ̐ OFF 🤍
sabar ya mas Adi, insyaallah bakal diterima kok🤭
2022-07-16
2
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
Semoga Adel cept ambil keputusan biar Adi nggak galau terus
2022-07-16
2
sabar mas Adi sabaaar....pasti akan dpt jawaban tp entah kapan..hanya othor yg tau
2022-07-16
6