"Mbak, kenapa? Kok akhir-akhir ini mama lihat kaya lagi banyak pikiran." Ibu Sarah, mamanya, menegur Adelia yang tampak melamun di depan laptop usai mereka makan malam bersama.
"Eh, Ma." Adelia terkesiap mendengar suara mamanya yang ternyata sudah berdiri di depannya. Karena keasyikan melamun dia sampai tidak sadar mamanya masuk ke ruang baca.
"Mbak, masih teringat Restu?" Ibu Sarah duduk di seberang Adelia.
"Enggak, Ma. Buat apa ingat sama dia. Enggak penting banget." Adelia mendengus kesal.
"Terus kenapa? Ada masalah dengan skripsi? Dosen pembimbing minta revisi terus?"
"Enggak, bukan itu juga. Skripsi masih bisa diatasi. Revisi mah hal biasa, Ma, bukan masalah besar."
"Lalu kenapa?" Kening Ibu Sarah semakin mengerut.
Adelia menghela napas panjang. "Ada yang mau taaruf sama aku, Ma."
"Maksudnya mau ngajak pacaran, Mbak?"
"Bukan, Ma. Taaruf itu bukan pacaran. Bisa dibilang proses pengenalan, Ma."
"Ya, sama kan Mbak kaya pacaran."
"Beda, Ma. Taaruf itu sekali dua kali ketemu, lamaran terus nikah gitu. Selama proses juga selalu didampingi mahram enggak cuma berdua."
Ibu Sarah mengangguk berkali-kali. "Kaya model santri di pondok pesantren gitu ya, Mbak."
"Mungkin, Ma."
"Dia lulusan pondok?"
"Setahuku enggak sih, Ma. Cuma keluarganya memang agamis banget. Enggak ada kata pacaran di keluarganya. Cocok ya nikah."
"Apa mama pernah ketemu dia, Mbak? Kok mama jadi penasaran sama orangnya."
"Kapan hari kan ke sini, Ma. Pas aku pergi sama Rendra. Dia itu kakak iparnya Rendra."
"Rendra, teman Mbak, yang sudah menikah itu?"
"Iya, Ma. Rendra kan itu juga enggak pacaran sama istrinya, Ma. Aku aja kaget waktu tahu dia nikah. Rendra enggak pernah kelihatan pedekate sama istrinya tahu-tahu nikah. Habis lamaran langsung dinikahkan secara agama. Baru 4 bulan kemudian nikah secara resmi."
"Oh .... Apa Mbak pakai hijab juga karena mau diajak taaruf?"
"Enggak, Ma." Adelia menggeleng sambil melambaikan tangan, menepis anggapan mamanya.
"Aku mulai pakai hijab sehari sebelum dia mengajak taaruf, Ma. Aku saja kaget waktu diajak taaruf. Soalnya kalau kita ketemu juga biasa saja. Enggak ada tanda kalau dia suka aku, Ma."
"Mbak, sendiri gimana? Apa suka sama dia? Eh dari tadi nyebutnya dia terus. Namanya siapa sih, Mbak?"
Adelia tersenyum malu. "Namanya Adi, Ma. Aku manggilnya Mas Adi. Dia almamater teknik sipil UGM juga. Sudah kerja dan punya rumah sendiri. Kemarin Mas Adi juga yang awalnya bantu Adelia cari judul skripsi, Ma."
"Baik ya, Mbak, orangnya?" Ibu Sarah memandang wajah putrinya yang terlihat malu-malu.
"Iya, Ma. Saleh juga orangnya, sama kaya Rendra."
"Tadi pertanyaan mama belum dijawab loh, Mbak."
"Pertanyaan yang mana, Ma?" Adelia menatap mamanya.
"Mbak, apa suka juga sama Adi?" Ibu Sarah mengulang pertanyaannya.
"Oh, soal itu. Gimana ya, Ma. Secara fisik Mas Adi ganteng. Orangnya baik, saleh. Siapa yang enggak suka sama dia, Ma."
"Sebatas itu saja, Mbak?"
"Maksud Mama gimana?"
"Apa Mbak enggak ada keinginan untuk jadi istrinya Adi? Bukan hanya sekadar kagum saja."
"Siapa yang tidak mau jadi istrinya, Ma? Dia sosok pria yang nyaris sempurna. Ganteng, baik, saleh, mapan, kriteria suami idaman banget. Justru karena dia nyaris sempurna itu yang bikin aku bimbang, Ma." Adelia menghela napas.
"Di satu sisi aku merasa dihargai sekali sebagai wanita. Tetapi di sisi lain, aku merasa minder, tidak pantas menjadi istrinya. Aku masih berusaha memperbaiki diri. Ya, meski Mas Adi bilang akan membantu dan membimbingku kalau menerimanya," lanjut Adelia.
"Maafkan mama ya, Mbak." Ibu Sarah beralih duduk di samping Adelia, menggenggam tangan putri sulungnya itu.
"Maaf untuk apa, Ma?" Adelia bingung dengan sikap mamanya.
"Maafkan mama dan papa yang tidak membekali kalian dengan ilmu agama yang cukup. Tidak mengarahkan kalian untuk menjalankan kewajiban pada Allah." Ibu Sarah mendesah pelan.
"Mama jadi malu sama Mbak. Mama yang lebih tua, yang seharusnya lebih mendekatkan diri pada Allah tidak hanya sibuk mengejar dunia. Karena kesalahan kami, Mbak, jadi minder, merasa kurang ilmu agama. Padahal ada pria saleh yang berniat baik sama, Mbak."
Adelia memeluk mamanya. "Yang sudah berlalu biarlah berlalu, Ma. Kalau mama mau, kita sama-sama memperbaiki diri, lebih mendekatkan diri pada Allah."
"Iya, Mbak. Mama mau. Malu nanti sama mantu yang saleh kalau mama enggak salat dan ngaji."
Adelia mengurai pelukannya. "Luruskan niatnya, Ma. Jangan hanya karena ingin mencari muka di hadapan manusia. Niatkan kita mau berubah karena cinta kita pada Allah."
"Duh, anak mama sudah pintar ceramah sekarang." Ibu Sarah menggoda Adelia.
"Mama, apa-apaan sih. Aku serius loh, Ma. Aku berubah karena memang panggilan hati, bukan karena siapa-siapa. Enggak tahu kalau jadinya malah diajak taaruf sama Mas Adi. Mama jangan sampai salah mengerti niatku untuk berubah."
"Maafkan mama ya, Mbak. Nanti mama akan bilang sama papa soal ini. Mungkin memang sudah saatnya kami mendekatkan diri pada Allah. Kembali menjalankan kewajiban sebagai hamba-Nya. Karena terlalu mengejar dunia yang fana membuat kami lupa mengejar akhirat yang abadi. Terima kasih, Mbak, sudah membuat mama ingin kembali ke jalan Allah."
"Itu semua hidayah dari Allah, Ma. Aku harap mama dan papa meluruskan niat karena Allah, bukan karena malu sama Mas Adi. Lagian aku juga belum memutuskan untuk menerima atau menolak Mas Adi." Adelia balik menggenggam tangan mamanya.
"Mbak, sudah salat apa itu untuk menentukan pilihan?" tanya Ibu Sarah.
"Salat Istikharah, Ma," jawab Adelia.
"Nah itu. Apa Mbak sudah salat Istikharah?"
"Sudah, Ma. Sudah dua minggu lebih malah. Tapi, masih belum dapat petunjuk." Adelia mendesah.
"Kalau Adi juga sudah?"
Adelia mengangguk. "Sudah, bahkan katanya sejak pertama ketemu sama aku, Ma. Setelah dia merasa yakin, baru ngomong kalau mau taaruf. Sekarang juga kami sama-sama Istikharah."
"Semoga segera dapat jawaban yang terbaik ya, Mbak."
"Aamiin. Doakan ya, Ma."
Ibu Sarah mengangguk. Dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Adelia. "Mama akan berdoa, anak mama yang cantik ini dapat suami yang saleh."
"Aamiin. Makasih, Ma." Adelia tersenyum penuh arti.
"Sayang sebenarnya kalau sampai Mbak menolak Adi. Selain membimbing Mbak, kan juga bisa membimbing mama dan papa juga Arsen," gumam Ibu Sarah.
Adelia tertawa. "Kok jadi mama yang mau modusin Mas Adi. Enggak boleh begitu, Ma. Kalau mau belajar agama kan kita bisa mengundang ustaz. Mas Adi itu cukup sibuk kerjanya, sering lembur kerja. Sabtu saja kadang masih kerja."
"Memangnya Mbak belajar ngaji sama ustazah?"
"Enggak, Ma. Sama Dita, adiknya Mas Adi. Kadang dia juga ajak aku ikut pengajian di musala. Aku sudah nyaman sama Dita, tapi katanya nanti kalau aku mau belajar lebih lanjut mau dikenalkan sama ustazah."
"Nah itu apa Mbak enggak modusin adiknya Adi?" goda mamanya.
"Astaghfirullah, Ma. Demi Allah, aku enggak ada niat seperti itu. Dita yang pertama kali membuat aku ingin berubah dan dapat hidayah. Makanya aku minta diajarin sama dia. Aku kan sudah bilang, aku berubah bukan karena Mas Adi." Adelia menjelaskan pada mamanya sambil cemberut.
Ibu Sarah tertawa kecil karena sudah berhasil menggoda Adelia. "Iya, mama tahu. Mama cuma bercanda, Mbak."
"Mbak, boleh enggak mama cerita soal Adi sama papa?" tanya Ibu Sarah setelah berhenti tertawa.
"Terserah, Mama. Mama yang lebih tahu soal itu," jawab Adelia.
"Sepertinya Adi beda jauh ya sama Restu, Mbak?"
"Jauh bedanya, Ma. Jangan pernah membandingkan mereka. Dan, bukan kelasnya untuk dibandingkan, masa hp polyphonic disandingkan sama iphone."
Ibu Sarah tertawa mendengar jawaban Adelia. "Mbak, bisa aja. Restu itu hp polyphonic? Terus Adi itu iphone?"
Adelia mengangguk sambil tertawa geli dengan perbandingan yang dibuatnya.
"Nah, putri mama sudah bisa tersenyum sekarang. Perlu Mbak tahu, apa pun nanti keputusannya, mama akan dukung. Dan mama akan bantu doa biar Mbak dapat suami yang saleh."
"Aamiin. Makasih, Ma."
"Sudah yuk kita tidur, Mbak," ajak Ibu Sarah.
"Aku mau ngerjain skripsi dulu, Ma," tolak Adelia.
"Sudah besok saja mengerjakan skripsinya. Dari tadi laptop juga cuma dibuka enggak dinyalain, Mbak," sindir Ibu Sarah sambil tersenyum geli.
Adelia menatap laptop di depannya yang menunjukkan layar hitam. Dan ternyata tombol power-nya pun mati. "Astaghfirullah, aku lupa nyalain, Ma."
"Iya, Mbak kan sibuk melamun dari tadi. Sudah yuk tidur aja."
"Iya, Ma. Aku beresin dulu ini." Adelia menutup laptop dan menata buku dan kertas-kertas miliknya.
"Mbak, kalau sudah ada jawaban kasih tahu mama ya," kata Ibu Sarah sebelum meninggalkan Adelia di ruang baca.
"Iya, Ma."
...---oOo---...
Jogja, 200521 23.45
Jangan lupa jempol atau like-nya setelah membaca, Kak. Terima kasih 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
ρuʝi ¢ᖱ'D⃤ ̐ OFF 🤍
semoga Adi jodoh terbaik buat Adelia
2022-07-16
2
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
sudah lah del jgn kamu ingat lagi restu... biar kan dia dengan pasangannya... kamu fokus aja dengan istiqomah mu
2022-07-16
2
itulah mungkin ya pandai² pilih teman..kalo berteman sama tukang minyak wangi seenggaknya kecipratan wanginya 🤭🤣✌️
2022-07-16
6