"Senpai Adi." Arsenio langsung menegakkan badan dengan sikap sempurna lalu membungkuk setengah badan, memberi hormat. Setelah itu dia menghampiri Adi, menjabat tangannya sambil tersenyum lebar.
"Arsenio, kamu sudah sebesar ini sekarang. Tadi waktu aku lihat foto keluarga itu kaya kenal, tapi aku enggak yakin itu kamu." Adi menepuk bahu Arsenio dengan senyum lebar.
Pak Lukman, Ibu Sarah dan Adelia terkejut melihat interaksi mereka berdua. Ternyata mereka sudah kenal sebelumnya. Bahkan terlihat sangat akrab.
"Adek, sudah kenal sama Mas Adi?" tanya Ibu Sarah dengan rasa penasaran.
"Kenal banget, Ma. Senpai Adi ini dulu yang melatih aku karate waktu SMP." Arsen masih terlihat antusias karena bertemu lagi dengan Adi.
"Dunia memang sempit ya, Ma," celetuk Pak Lukman.
"Iya, Pa." Ibu Sarah juga sependapat.
"Senpai, apa kabarnya?" tanya Arsenio pada Adi.
"Alhamdulillah, aku baik seperti yang kamu lihat. Gimana, masih sering latihan?" Adi merangkul bahu Arsenio.
"Sejak Senpai enggak melatih lagi, aku sudah enggak pernah ikut latihan," sahut Arsenio.
"Kenapa? Sayang loh padahal kamu bagus. Rendra yang sekarang sering melatih di Gelanggang, kamu ikut lagi aja. Ini tadi dia juga melatih di sana."
"Mas Rendra yang temannya Mbak Adel? Kok Senpai kenal?"
"Ya kenal baik. Istrinya Rendra kan adikku."
"Oh ... kenapa Senpai enggak melatih lagi?"
"Aku udah capek bekerja, hampir tiap hari lembur. Jadi kalau libur inginnya istirahat di rumah. Tapi, kadang aku latihan sendiri di rumah kalau ada waktu."
Arsenio manggut-manggut.
"Sudah Dek reuninya. Nanti lagi dilanjut. Mas Adi jadi berdiri terus gara-gara Adek."
"Iya, Ma," sahut Arsenio.
"Senpai, ayo kita duduk." Arsenio duduk di sebelah Adi. Dia masih tidak percaya bisa bertemu lagi dengan Adi.
"Jangan panggil senpai lagi, aku sudah bukan pelatihmu," pinta Adi.
"Enggak apa-apa, Senpai."
"Mbak, minum untuk Mas Adi mana?" tegur Ibu Sarah yang melihat Adelia masih terpaku melihat adiknya dan Adi yang sangat akrab.
"Astaghfirullah, aku lupa. Maaf ya Mas Adi." Adelia bergegas ke belakang untuk mengambil minum dan camilan yang tadi sudah dia siapkan di dapur.
Tak lama Adelia kembali ke ruang tamu diikuti dengan Mbok Sum yang membawa nampan minuman dan camilan. Setelah semua disajikan di atas meja, Mbok Sum kembali ke belakang. Adelia lalu duduk di samping mamanya.
"Mas Adi, silakan diminum dan dinikmati camilannya. Seadanya ya."
"Terima kasih, Tante. Malah jadi merepotkan." Mari Om, Tante, Adel, Arsen." Adi mengambil cangkir minumnya.
"Bismillah," ucap Adi sebelum menyesap minumannya.
Mereka semua kemudian minum dan menikmati camilan yang tersedia.
"Om, Tante, kedatangan saya ke mari, yang pertama ingin silaturahim dengan keluarga Om Lukman. Yang kedua, saya ingin taaruf dengan keluarga Om karena saya punya niat baik untuk meminang Adelia," kata Adi dengan serius setelah dirasa sudah cukup berbasa basi.
"Sekiranya Om dan Tante merestui niat baik saya, insya Allah minggu depan atau kapan Om dan Tante ada waktu, saya akan mengajak keluarga saya untuk berkenalan dengan keluarga Om, menindaklanjuti proses taaruf hari ini," lanjutnya.
"Terima kasih Nak Adi sudah bersilaturahim dengan keluarga kami. Tidak banyak pemuda yang mau langsung bertemu dengan orang tua wanita yang dia cintai menyampaikan sendiri niat baiknya. Saya sangat menghargai dan menghormati niat baik Nak Adi." Pak Lukman membalas Adi.
"Maaf kalau Om lancang bertanya, apa taaruf ini berarti Nak Adi ingin berhubungan dengan Adel? Maksud Om seperti minta izin untuk pacaran atau tunangan?" Pak Lukman menatap Adi dengan intens.
"Saya tidak akan berpacaran atau tunangan dengan Adelia, Om. Kalau proses taaruf ini lancar, insya Allah saya akan langsung melamar Adelia lalu menikah dengannya."
"Jadi tidak ada pacaran atau tunangan?" tanya Pak Lukman memastikan.
"Insya Allah, tidak ada, Om," jawab Adi tegas.
"Kenapa tidak pacaran atau tunangan dulu? Bagaimana proses kalian saling mengenal lebih dalam?"
"Nanti pacaran dan proses mengenalnya setelah menikah, Om. Saat kami sudah halal dan tidak berdosa saat berduaan."
"Kalau belum saling mengenal, bagaimana Nak Adi begitu yakin mau menikah dengan Adel?" Pak Lukman mengerutkan kening.
"Insya Allah, saya sudah minta petunjuk pada Allah melalui salat Istikharah, Om. Dan Allah memantapkan hati saya untuk menikah dengan Adelia. Karena itu saya ada di sini untuk memulai proses taaruf sebelum menikah," terang Adi.
"Seperti saya, Insya Allah Adelia juga sudah melakukan salat Istikharah. Saya datang menemui Om dan Tante karena Adelia setuju untuk taaruf," lanjutnya.
"Iya, Pa. Betul apa yang dikatakan Mas Adi." Adelia ikut menimpali, mendukung perkataan Adi.
"Kalau aku setuju Senpai Adi jadi suaminya Mbak Adel. Senpai Adi ini baik, Pa, Ma." Arsenio turut menyahut.
"Om dan Tante hanya bisa merestui, mendukung dan mendoakan kalian kalau memang sama-sama sudah merasa yakin. Om titip Adelia pada Nak Adi. Om harap Nak Adi tidak mengecewakan kami seperti calon Adelia yang sebelumnya."
"Alhamdulillah, terima kasih, Om, Tante, Arsen. Insya Allah, saya akan menjaga Adelia dan berusaha tidak mengecewakan Om dan Tante. Karena saya hanya manusia biasa yang bisa salah dan khilaf."
Pak Lukman tersenyum. Dia merasa salut dengan sosok Adi yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Apalagi dari setiap ucapannya selalu menyebut asma Allah. Karena itu, dia yakin Adi mampu membimbing Adelia menjadi lebih baik lagi.
"Apa Nak Adi tahu kalau Adel sebelum ini pernah gagal menikah?" tanya Pak Lukman.
"Iya, saya tahu Om," jawab Adi.
"Sebenarnya sejak pembatalan pertunangan itu, om ingin Adel fokus kuliah dulu sampai S2. Tetapi kalau ternyata Adel sekarang sudah siap menikah, om bisa apa. Tidak baik kan menghalangi niat baik. Apalagi yang akan menikahi putri om itu sosok pria saleh seperti Nak Adi."
"Om terlalu berlebihan, saya hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Kalau saya terlihat baik itu karena Allah masih menutupi aib saya." Adi kembali merendah.
"Mas Adi itu loh selalu merendah. Apalah kami ini kalau dibandingkan dengan Mas Adi," timpal Ibu Sarah.
Adi tersenyum. "Kita sama-sama hamba Allah, Tante. Kita setara di hadapan Allah."
"Mama jadi berasa ngomong sama pak ustaz ini, Pa," seloroh Ibu Sarah.
"Iya, ya, Ma." Pak Lukman menimpali.
"Saya masih fakir ilmu, jauh dari pada ustaz," sahut Adi.
"Oh ya, Nak Adi, proses taaruf ini seperti apa ya yang dibicarakan?" tanya Pak Lukman kembali ke pokok pembicaraan.
"Om, Tante, Adelia atau Arsenio boleh bertanya apa pun pada saya agar lebih mengenal saya," jawab Adi.
Pak Lukman manggut-manggut. "Kalau begitu, bagaimana kalau Nak Adi cerita tentang Nak Adi dan keluarga? Secara garis besar saja tidak perlu detail."
"Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan namanya Dita, sudah menikah dengan Rendra tahun lalu. Ayah saya bekerja sebagai ASN dan bunda ibu rumah tangga ...." Adi mulai menceritakan tentang dirinya dan keluarganya.
"Sepertinya keluarga Nak Adi cukup agamis. Apa bisa menerima Adelia dan keluarga kami yang biasa saja ini?" tanya Pak Lukman setelah mendengar cerita Adi.
"Insya Allah, Om. Seperti yang saya katakan tadi, kita ini sama di hadapan Allah. Soal amal ibadah itu urusan Allah. Sebagai sesama manusia, kita tidak berhak saling menghakimi. Saya datang ke mari juga atas restu kedua orang saya, jadi saya rasa tidak akan ada masalah," jawab Adi panjang lebar.
"Apa Nak Adi juga siap menerima Adelia dengan masa lalu dan segala kekurangannya?"
"Insya Allah, Om. Saya pun juga punya banyak kekurangan. Semoga nanti kami bisa saling menutupi kekurangan masing-masing."
"Aamiin," sahut Adelia.
"Mama gimana sama Nak Adi? Cocok apa enggak?" Pak Lukman menoleh pada istrinya.
"Mama sih cocok banget sejak mbak cerita soal Mas Adi." Bu Sarah tampak bahagia saat mengatakannya.
"Mbak, gimana? Sudah mantap sama Nak Adi?" Pak Lukman beralih pada putrinya.
"Insya Allah kalau Papa dan Mama merestui." Adelia menjawab sambil tersipu malu.
"Aku enggak ditanya, Pa?" Arsenio menyela.
"Adek kan tadi sudah bilang setuju jadi enggak papa tanya lagi."
Arsenio meringis, dia memegang tengkuknya, menutupi rasa malu.
"Jadi kapan Nak Adi mau memperkenalkan keluarganya?" Pak Lukman kembali menatap Adi.
"Kalau minggu depan Om dan Tante ada waktu, Insya Allah, saya akan datang dengan keluarga agar bisa saling mengenal."
"Mama ada acara enggak minggu depan?" tanya Pak Lukman pada istrinya.
"Kayanya enggak. Papa sendiri gimana?"
"Papa juga enggak ada."
"Kalau begitu minggu depan saja, Mas Adi," kata Ibu Sarah.
"Baik, Tante. Insya Allah minggu depan saya datang lagi dengan keluarga saya."
"Apa sekalian lamaran, Nak Adi?"
"Saya rasa belum, Om. Hanya perkenalan dua keluarga. Kalau untuk lamaran silakan nanti Om dan Tante yang membicarakannya dengan ayah dan bunda. Atau Om dan Tante ingin saya melamar sekalian minggu depan?" Adi menatap Pak Lukman dan Ibu Sarah bergantian.
"Lamarannya sebaiknya nanti setelah perkenalan saja, Pa. Kita kan juga harus memberi tahu keluarga lainnya tidak bisa kalau mendadak begini."
"Iya juga ya, Ma. Kalau begitu minggu depan kami tunggu kedatangan keluarga Nak Adi."
"Baik, Om."
...---oOo---...
Jogja, 310521 01.15
Cerita ini mengikuti kontes You Are A Writer Seasons 5, mohon dukungannya 🙏🤗
Kalau ada masukan, kritik dan saran yang membangun, boleh via kolom komentar, PC atau DM di instagram @kokoro.no.tomo.82
Jangan lupa ritual jempol atau like-nya setelah membaca ya, Kak. Terima kasih 🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐𝙽❗𝙽 𝙶
Alhamdulillah lancar ya mas Adi 1000 banding 1 di dunia ini cowok macam Adi keren Thor👍👍👍
2022-07-17
1
🦈Bung𝖆ᵇᵃˢᵉ
mas adi ini beneran cowok idaman bgt
2022-07-12
1
kusgrisela
akhirnya menuju lamaran 🤗🤗
2021-10-09
2