Setahun Untuk Mencintaimu

Perasaan kesal Yubie pada suaminya masih terbawa hingga pagi menyapa. Sebelum tidur, Cakra habis-habisan mengaturnya. Bukan mengatur yang bagaimana, tapi memastikan kaki Yubie yang sempat terkena kopi panas itu aman selama Yubie tidur.

Cakra meletakkan bantal di bawah kaki Yubie. Yubie tidak bisa melawan, karena saat menggerakkan kakinya yang terluka, rasa nyeri masih bisa Yubie rasakan.

"Mau aku bantu?"

Pertanyaan Cakra itu membuat Yubie mendengus. Ia baru saja keluar dari walk in closed setelah bersiap. Meski kakinya sakit, tapi Yubie tetap ingin bekerja seperti biasa.

Yubie tak menjawab pertanyaan Cakra, dengan sedikit terpincang-pincang, wanita itu meraih gagang pintu dan keluar. Namun, netranya yang walaupun tak langsung membidik pada Cakra, tapi masih sempat memperhatikan penampilan suaminya yang berbeda. Hari ini Cakra mengenakan kemeja hitam. Entah ingin ke mana pria aneh itu? Bekerja di bar mengenakan outfit seperti itu sangat tidak cocok. Terlalu rapi dan keren! pikir Yubie.

Biasanya, Cakra hanya mengenakan kaos dan jaketnya. Lebih terlihat seperti brandal, daripada pria tampan yang mapan. Sesuai dengan pekerjaannya di club malam. Melihat penampilan Cakra yang rapi seperti itu saja, sudah berhasil membuat perasaan kesal di hati Yubie. Dia benar-benar geram dengan Cakra. Apalagi kalau suaminya itu sudah berbicara.

"Hati-hati! Pelan-pelan jalannya."

"Berisik! Terserahku mau jalan bagaimana," jawab Yubie dengan nada ketusnya. Ingin sekali ia mempercepat langkah, agar menjauh dari Cakra.

"Iya, juga. Kalau jatuh, aku siap gendong."

Kan! Kalimat seperti itu membuat Yubie langsung menoleh dengan mendelik tajam pada Cakra yang mengekorinya. Wajah Yubie memerah, begitu kesal pada Cakra.

Yubie berbalik, ia mengabaikan Cakra, meneruskan langkahnya yang tertatih. Tangan Yubie terulur, berpegangan pada pembatas tangga saat menuruninya untuk menuju lantai utama. Ia harus berhati-hati sekali.

"Pegangan yang kuat!"

Instruksi itu ingin Yubie tanggapi dengan dengusan, tapi ia terkejut saat tubuhnya tiba-tiba sudah lebih dulu melayang dan masuk dalam pelukan Cakra. Reflek tangan Yubie beralih berpegangan erat pada leher pria itu. Rupanya, Cakra memilih langsung menggendong istrinya ketika ingin menuruni anak tangga.

Yubie berontak, tapi seketika berteriak saat Cakra pura-pura ingin melepaskan tangannya.

"Kau ingin aku jatuh, hah?!" pekik Yubie dengan netranya yang melotot. Sudah berdegup kencang jantung Yubie karena ulah Cakra itu.

Cakra hanya terkekeh. Seraya menuruni anak tangga, ia kembali berkata, "Kalau jatuh, aku pastikan kau jatuh dalam pelukanku."

Blush!

Netra Yubie sudah ingin melompat keluar. Begitu pula dengan jantungnya. Apa-apaan kalimat Cakra itu! Kenapa suaminya ini terus saja menggodanya? Kalau begini terus, siapa yang bisa memastikan hati Yubie aman? Tidak akan jatuh hati pada suaminya sendiri?

"Apa yang terjadi, Cak? Yubie kenapa?" tanya Tuan William saat melihat Cakra turun dengan menggendong Yubie.

"Tadi malam, kakinya terkena kopi panas." Cakra mendudukan Yubie di kursinya.

"Kok bisa?" tanya Tuan William. Ia menatap Cakra dan Yubie bergantian. Sementara Nyonya Mei Lin langsung berdiri dan memeriksa kaki putrinya.

"Tidak apa-apa, Mom."

"Tapi, ini memerah, Nak." Nyonya Mei Lin lekas meminta pelayan untuk membawakan air dingin. Ia ingin mengompres kaki Yubie.

"Sudah, tidak usah, Mom. Aku ingin langsung pergi bekerja." Yubie tidak mau ibunya mengompres kakinya. Karena Yubie yakin, hal itu akan memakan waktu lama. Ia bisa terlambat. "Cakra sudah berikan obat tadi," kata Yubie cepat. Sudah habis idenya untuk menghentikan niat Nyonya Mei Lin.

"Hm. Aku sudah kompres dengan kasih sayang, Mom." Dengan santainya Cakra mengatakan kalimat itu. Cakra tidak memperhatikan, bagaimana wajah mereka yang ada di meja makan sempat terperangah mendengar ucapannya.

Tuan William dan Nyonya Mei Lin menatap Cakra penuh senyuman. Tidak dengan Lusy dan Kanny. Mereka berdua memberikan tatapan yang berbeda pada Cakra.

"Wow! Kakak ipar ternyata begitu mencintai kakakku. Padahal kalian dijodohkan, tidak saling mengenal sebelumnya." Lusy tersenyum penuh kepalsuan. Ada perasaan tak nyaman saat melihat kakaknya ternyata bisa mendapatkan perhatian luar biasa dari seorang pria.

"Dijodohkan bukan berarti aku tidak bisa mencintai istriku. Karena aku sudah menikah dengannya, aku harus mencintainya!"

Kalimat Cakra kembali membuat mereka terpaku. Terlebih Yubie, wanita itu sudah menoleh pada suaminya. Suara Cakra begitu tegas, dan tidak terdengar ada keraguan di sana. Pria itu seperti mengatakan bagaimana isi hatinya yang sebenarnya.

"Aku bukan tipe pria yang menikahi wanita lain, tapi masih bisa mencintai dan menaruh perhatian pada wanita yang lainnya."

Duarrr!

Ledakkan itu meledak, seledak-ledaknya di atas kepala semua orang. Cakra menatap langsung pada Kanny yang terdiam membisu.