"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
parasit ikan paus
Siang ini Max punya janji ketemu teman-temannya.
sekumpulan anak muda yang sekarang sudah jadi pengusaha sukses di bidang masing-masing. Mobil hitamnya berhenti di depan sebuah kafe aestetik di pusat kota. Dari luar saja sudah kelihatan ramai, pintu kaca terbuka-tutup oleh pengunjung.
Begitu melangkah masuk, aroma kopi dan pastry langsung menyambut. Pendingin ruangan membuat suasana teduh, kontras dengan panas terik di luar. Max mengedarkan pandangan, mencari-cari.
"Max!!" teriak seseorang sambil melambaikan tangan. Seorang lelaki dengan outfit khas koko-koko China. kaos santai dipadukan celana belel, senyum lebar menunggu di meja pojok.
Max ikut mengangkat tangan, berjalan ke arah mereka. Di meja itu sudah ada empat orang, semua dengan gaya masing-masing, tapi aura percaya dirinya sama.
"Heyy, what’s up broo!"
"How are you?"
"I’m oke" jawab Max sambil menyalami Devin, lalu menyalami yang lain satu per satu.
"Gila, Max, akhirnya bisa juga ketemu lo di sini. Jadi beneran lulus di univ Singapur dengan prestasi gila-gilaan itu?" tanya Juan, matanya berbinar.
Max tersenyum kecil. "Puji Tuhan, gue bersyukur banget, Wan."
"Eh, lo belum pesen ya?" Xion menengok ke meja Max yang masih kosong.
"Mbak!" panggilnya sambil angkat tangan.
Pelayan datang membawa menu, lalu meletakkannya di depan Max. Setelah memesan matcha dingin, obrolan kembali berlanjut.
"Eh, gimana sama yang kemarin?" Johan menyikut Max dengan ekspresi jail.
“Gak cocok,” jawab Max santai.
"Astagaaa, Max, gue heran deh" Johan geleng-geleng kepala. "Lo itu punya nafsu atau nggak sih sama cewek?"
Max nyengir tipis. Tapi yang lain ikut nimbrung.
"Lah iya, Max. Cewek yang kita kenalin kemarin bukan cewek sembarangan, loh. Lo lupa sama Maura? Dia tuh sampai sekarang masih nunggu lo buka hati buat dia" timpal Juan.
Max mendesah, menyeduh matcha begitu datang. "Udah berapa kali gue bilang, gue gak butuh dicarikan pacar. Apalagi sampai dijodohin."
"Terus soal Maura?" desak Johan.
"Gue gak suka cewek caper!" Max menatap tajam, suaranya agak ketus.
"Wah ini sih gak normal" Johan sampai berdiri, menatap Max dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Badan lo udah kekar, masa iya gak kepikiran gimana rasanya dipeluk cewek? Lo gak tau gimana rasanya dipanggil pacar… apalagi kalau dia manggil sa~yang…"
Uhukkk! Max langsung batuk-batuk. Gelas matcha hampir tumpah.
[Iya deh, aku pulang dulu ya, sayanggg…]
[Sayang!]
[Sa~yaangg…]
Bayangan suara itu langsung terlintas di kepalanya.
Max buru-buru geleng-geleng, wajahnya panas sendiri. Ya ampun, kenapa gue jadi kepikiran Mita. Jangannn max, amit-amit. hidup lo bakal pahit kalau sama dia… batinnya.
"Eh, lo ngapain Max? Kayak orang habis mabuk" celetuk Juan.
"Ck, apaan sih lo, Wan. Gue gak pernah mabuk."
"Lah, terus kenapa lo geleng-geleng gitu, hm?" goda Johan sambil mendekatkan wajahnya.
"Gak tau, tiba-tiba ingatan bocah nakal terlintas di kepala gue" jawab Max sambil manyun.
"Bocah mana?" Devin ikut nimbrung dengan kening berkerut.
"Bocah nakal tetangga depan rumah gue. Gedek banget gue sama dia! Rasanya pengen gue makan!"
Hap! Max langsung nyomot sepenggal martabak premium yang ada di tengah meja.
"Emosi banget kayaknya lo, Max" Juan terkekeh kecil.
"Emang!" sahut Max dengan mulut penuh martabak.
Yang lain langsung ketawa ngakak lihat tingkah Max. Tapi entah kenapa, di antara tawa itu, ada rasa aneh, kesal Max bukan kesal biasa, lebih mirip kesal seorang cowok ke cewek.
Obrolan mereka pun terus ngalir, dari bahas bisnis sampai hal-hal receh yang gak jelas. Sampai akhirnya waktu udah jalan hampir tiga jam, dan mereka mulai bubar. Kebetulan, kafe itu milik abangnya Juan, jadi bebas aja nongkrong lama.
"Gue duluan ya, Max!" seru Xion sambil melambai ke arah Max yang udah jalan ke mobilnya.
"Gue juga, bro. Jangan lupa kalau udah dapet yang pas kenalin ke kita! Gue penasaran banget, selera lo tinggi banget sampai cewek cantik sekelas artis aja lo tolak" celetuk Juan, nyengir lebar.
"Bro! Gue yakin sekarang lo lagi naksir cewek! Tenang aja, suatu saat lo sama dia pasti bersatu, dan ujung-ujungnya…" Johan menahan tawa
Plak!
Pukulan Max mendarat keras di bahu Johan, sampai orang-orang di parkiran kaget dan menoleh ke arah mereka.
.
.
.
.
Max mengendarai mobilnya pelan, memasuki gapura kampung Jati Miring. Dari kejauhan, matanya menangkap sosok perempuan dengan seragam olahraga sekolah. Payung abu-abu ia genggam, bibirnya komat-kamit entah menyanyi atau membaca mantra. Max otomatis tersenyum miring. Ide usil langsung muncul di kepalanya.
Perlahan, ia mendekatkan mobilnya ke arah perempuan itu.
"E-eh…" Mita menoleh, kakinya refleks bergeser ke pinggir jalan. “Ini mobil kenapa sih? Aku udah paling pinggir loh, mau suruh masuk parit?” omelnya.
Tapi mobil itu tetap melaju di sampingnya, seolah sengaja menempel. Karena kesal, Mita menghentikan langkah. Ia kira mobil itu bakal jalan duluan. Tapi, set! kaca mobil terbuka. Kepala Max nongol dengan gaya santainya.
"Lagi jalan kaki, Bu Guru?" godanya.
Mita langsung berkacak pinggang, mendengus melihat siapa yang ada di dalam. "Oh jadi kamu! Ngekorin aku kayak parasit di ikan paus."
Max bukannya jawab, malah menaruh dagu di kedua tangannya, pose ala model skincare yang lagi kena cahaya matahari. "Hmm… panas banget ya? Bu Guru nggak dijemput ayangnya? Kasian banget sampe jalan kaki sambil payungan."
Mita mendesah, menutup payungnya dengan kesal. Ia maju mendekat, tiba-tiba tuk! tangannya sigap membuka pintu mobil. Tanpa permisi, ia langsung masuk dan duduk manis di kursi penumpang.
"Eh, siapa suruh kamu masuk mobil saya?" Max langsung ngegas.
Mita malah santai. Dari tasnya, ia keluarkan bedak cushion, menepuk-nepuk wajahnya sambil berkaca. "Aduh… lama banget sih Pak Supir. Udah, jalanin, mau pulang kan?" ucapnya, berusaha menahan tawa.
Max mendengus sebal, tapi akhirnya menjalankan mobil. Sesekali ia melirik Mita, wajahnya masam.
"Ngapain liatin aku begitu?" tanya Mita, menoleh.
"Aku baru sadar… muka kamu jelek banget, Mit" sahut Max santai.
Mita langsung melotot. "Heh! Jangan asal ngomong ya. Gini-gini yang naksir aku banyak. Di sekolah aja ada Bu Guru yang mau jodohin anaknya sama aku!" katanya penuh percaya diri.
"Hallah, bohong. Paling juga anak-anak playboy yang deketin kamu. Jadi cewek jangan terlalu murahan, Mit. Dideketin sana-sini mau aja."
Dugg! Perkataan itu langsung menghantam dada Mita. Murahan? Bibirnya terkatup rapat, hatinya perih. Max memang mulutnya nggak pernah difilter.
"Berhenti, Max." Suaranya tegas.
Max melirik sekilas, kening berkerut. Mobil tetap melaju. "Ngapain? Kebelet berak ya?"
Mita mendecak, tatapannya menusuk. Ada emosi yang siap meledak. "Aku bilang stop, Max!!" suaranya meninggi, hampir berteriak.