Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaku Para Tersakiti dan Kebenaran Gunung Widara
Pernahkah kalian mendengar suara yang benar-benar membuat tulang kalian bergetar? Bukan sekadar suara keras, tapi suara yang mengandung seratus tahun kepedihan dan kemarahan? Itulah yang kami dengar ketika para arwah Yang Tersakiti itu muncul. Lengkingan mereka bukan sekadar menakutkan, itu menyayat jiwa.
"PENGKHIANAT! PENCURI!" raung Sang Kesatria Bayangan, suaranya seperti campuran deru angin topan dan gemerisik daun kering. Pedang hutannya berkilat pucat diterangi bulan, mengarah tepat ke kami.
Sekar langsung melompat ke posisi bertarung, kedua pedangnya berkilat. "Bersiap!" teriaknya, suaranya lebih tinggi dari biasanya.
Mbah Ledhek sudah mulai merapal mantra, tangannya bergerak cepat membentuk lingkaran energi pelindung di sekitar kami. "Jaga formasi segitiga!" perintahnya.
Tapi aku? Aku hanya berdiri, terpaku. Bukan karena takut, walaupun sejujurnya, aku sangat takut, tapi karena sesuatu yang aneh terjadi dengan kemampuan Waskita-ku. Aku tidak hanya melihat bayangan-bayangan mengerikan itu, aku merasakan emosi mereka. Dan yang kurasakan bukan hanya kemarahan, tapi... kesedihan yang sangat dalam, sangat tua, yang telah membeku menjadi kemarahan selama seratus tahun.
"Tolong," bisikku, lebih kepada diriku sendiri dan cincin di jariku daripada kepada siapa pun. "Aku harus mengerti. Bukan sekadar tahu, tapi benar-benar mengerti apa yang terjadi di sini."
Biasanya, Mar akan merespons dengan analisis data yang dingin. Tapi kali ini, sesuatu yang berbeda terjadi. Cincin di jariku terasa hangat, bukan panas, tapi hangatnya seperti selimut di pagi yang dingin. Kehangatan itu mengalir melalui lenganku, langsung menuju kalbuku. Lalu, aku mendengar bisikan, bukan hanya satu suara, tapi gabungan dari semua suara yang pernah membimbingku suara rendah Semar, suara bijak Mbah Ledhek, bahkan gemericik Sungai Brantas yang menenangkan.
"Buka diri," bisik mereka bersamaan dalam pikiranku. "Rasakan, jangan nilai. Dengarkan kisah yang tersimpan dalam angin."
Aku memejamkan mata, menyerahkan diri sepenuhnya pada bisikan itu. Dan dunia di sekitarku berubah total.
Aku tidak lagi melihat bayangan-bayangan menyeramkan dengan mata kosong. Aku melihat... kenangan.
Aku melihat Sang Kesatria, sebut saja Panglima Ditya, dengan zirah yang berkilauan, berdiri gagah memimpin pasukan kecilnya. Mereka bukan tentara kerajaan yang megah, hanya petani dan pengrajin yang dilatih untuk melindungi Gunung Widara yang mereka cintai.
Lalu datanglah orang-orang dengan seragam asing, seragam yang mirip dengan yang kulihat dalam vision tentang orang tuaku. Mereka berbicara manis tentang kemakmuran, tentang tambang mineral yang akan membuat semua orang kaya. Panglima Ditya, setelah didesak warga yang hidup dalam kemiskinan, akhirnya menyetujui.
Tapi pengkhianatan itu datang di malam yang gelap. Tambang itu hanya kedok. Yang benar-benar mereka cari adalah pintu menuju Gua Sabda Pradanggā, perpustakaan suci Suku Pangrēksā. Ketika Panglima Ditya mencoba menghentikan mereka...
Pembantaian terjadi. Warga desa yang telah dihasut dengan iming-iming harta, mengunci gerbang desa. Panglima Ditya dan pasukannya yang setia dikepung di alun-alun oleh orang-orang yang dulu mereka lindungi. Mereka dibantai dengan kejam, dan mayatnya dibuang ke jurang tanpa penguburan layak, seolah-olah mereka bukan pahlawan, tapi sampah.
Aku terhuyung-huyung, air mata mengalir deras di pipiku. Dadaku sesak oleh rasa sakit, pengkhianatan, dan keputusasaan yang bukan milikku, tapi terasa begitu nyata. Aku merasakan setiap tusukan pedang, setiap tatapan pengkhianatan, setiap hembusan napas terakhir mereka.
"Kau... kau melihatnya?" suara Panglima Ditya tiba-tiba bergetar, pedang hutannya perlahan menurun. Kemarahannya yang membara seakan teredam oleh keheranan yang dalam. "Bagaimana mungkin seorang anak muda seperti kau bisa... melihat?"
Sebelum aku bisa menjawab, suara baru terdengar dari balik kabut, suara yang terdengar kuno dan penuh wibawa, namun juga mengandung kelelahan yang sangat dalam.
"Karena dia adalah Pewaris."
Seorang lelaki tua muncul dari balik bayang-bayang. Tingginya biasa saja, kulitnya pucat kebiruan seperti akar yang tertutup lumut selama berabad-abad. Matanya besar dan dalam, memandang kami dengan tatapan yang seolah telah menyaksikan ribuan tahun berlalu. Yang paling menakjubkan, seluruh tubuhnya dipenuhi ubusan, tato berwarna perak yang rumit dan berkilau samar, menceritakan tentang bintang, gunung, dan huruf-huruf kuno yang tidak bisa kubaca. Dia adalah Mpu Sastra, Penjaga Naskah Suku Pangrēksā.
"Pewaris Sistem Kuno akhirnya menemui kami," ucap Mpu Sastra, suaranya seperti gemericik air dalam gua yang dalam. "Dan kau memilih untuk merasakan, bukan menghancurkan. Itu adalah langkah pertama yang bijaksana."
Dia melangkah mendekati Panglima Ditya. "Mereka bukan musuhmu, Panglima Ditya. Mereka justru mungkin adalah kunci untuk menenangkan arwahmu dan arwah anak buahmu."
Kemudian Mpu Sastra menceritakan kisahnya dengan suara yang datar namun penuh beban. Suku Pangrēksā adalah keturunan para penjaga pengetahuan kuno. Mereka menyaksikan pembantaian itu dari dalam gua mereka, tetapi terikat oleh sumpah untuk tidak campur tangan dalam urusan dunia luar.
"Kami adalah cermin, bukan pedang," katanya, dan untuk pertama kalinya, aku mendengar nada penyesalan dalam suaranya yang biasanya begitu terkendali.
Sekar mendecak tidak percaya. "Kau biarkan mereka mati?" tanyanya, suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya. "Kau hanya berdiam diri dan menonton?"
Mpu Sastra memandang Sekar, matanya yang tua itu menyimpan kesedihan yang dalam. "Kami mengamati. Kami mencatat. Agar pengkhianatan seperti ini tidak terlupakan, dan tidak terulang." Dia menunjuk ke arah desa di bawah. "Terkadang, mengingat adalah hukuman yang lebih berat daripada melupakan. Lihatlah desa ini. Mereka hidup dalam ketakutan dan penyesalan abadi, dikepung oleh arwah yang mereka khianati. Itulah hukuman mereka."
Aku akhirnya memahami. "Kutukan" ini bukanlah sihir jahat yang dilemparkan oleh penyihir kejam. Ini adalah penjara psikologis, sebuah lingkaran setan yang dibuat oleh rasa bersalah kolektif warga desa dan kemarahan yang tak tersalurkan dari para arwah.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanyaku, suaraku masih serak oleh emosi yang baru saja kualami. "Ibu saya dalam vision menyuruh saya menemui Anda."
Mendengar tentang ibuku, ekspresi Mpu Sastra meleleh untuk pertama kalinya. "Ibumu..." gumamnya penuh rasa hormat. "Dia adalah orang baik. Dia dan ayahmu pernah datang ke sini, berusaha mencegah segel sistem dibuka oleh orang-orang yang salah." Dia menarik napas dalam. "Mereka gagal."
Dia menatapku langsung. "Kau ingin naskah tentang sistem itu. Tapi sebelum kau mendapatkannya, ada harga yang harus kau bayar. Bukan untukku, tapi untuk mereka." Dia menunjuk ke arah Panglima Ditya dan arwah-arwahnya. "Kau harus memberi mereka apa yang tidak pernah mereka dapatkan: pengakuan dan penguburan yang layak."
Malam itu, di rumah kepala desa yang ketakutan, kami menghadapi para tetua desa. Awalnya mereka menyangkal dengan keras, mata mereka menghindari kontak.
"Kami tidak tahu apa-apa tentang pembantaian!" bantah kepala desa, tangannya gemetar memegang tongkatnya.
Tapi kemudian Mpu Sastra melangkah maju. Dengan suara yang datar namun penuh wibawa, dia mulai membacakan dari sebuah naskah tua yang dia bawa. "Pada tanggal lima belas bulan purnama, seratus dua puluh tahun yang lalu, Panglima Ditya dan tiga puluh tujuh pengikut setianya dikhianati oleh warga desa yang dipimpin oleh Kepala Desa Margono, kakek buyutmu."
Dia terus membacakan setiap nama, setiap detail pengkhianatan, setiap jeritan terakhir. Dan ketika bayangan Panglima Ditya muncul secara samar-samar di depan mereka, dinding penyangkalan itu akhirnya runtuh.
Kepala desa yang sudah tua itu terjatuh ke lututnya, menangis tersedu-sedu. "Benar," isaknya, suara penuh penyesalan. "Kakek buyutku... dia melakukan hal yang mengerikan. Kami hidup dengan rasa bersalah ini selama turun-temurun."
Keesokan harinya, sebuah upacara penguburan dan ruwatan besar diadakan. Seluruh desa berkumpul, wajah mereka diliputi rasa malu dan penyesalan yang akhirnya terekspos setelah seratus tahun. Dipimpin oleh Mbah Ledhek dan disaksikan oleh Mpu Sastra, mereka secara resmi memohon maaf kepada arwah para penjaga yang mereka khianati.
Tapi aku tidak hanya berdiam diri. Aku merasa harus melakukan sesuatu. Dengan bimbingan Mar, aku mencoba sesuatu yang baru.
MEMBUKA KANAL ENERGI: "PELEPASAN". MENYALURKAN ENERGI NURANI KOLEKTIF.
Aku mengangkat tanganku, dan sesuatu yang ajaib terjadi. Semua energi penyesalan, permintaan maaf, dan harapan untuk kedamaian dari warga desa mengalir ke arahku. Melalui cincin di jariku, energi itu diubah menjadi cahaya keemasan yang lembut dan hangat. Cahaya itu menyebar, menyinari setiap arwah Yang Tersakiti.
Satu per satu, luka-luka di tubuh mereka mulai tertutup. Raut kemarahan mereka melunak, digantikan oleh kedamaian. Panglima Ditya memandangku, dan untuk pertama kalinya dalam seratus tahun, senyum kecil yang tulus muncul di wajahnya.
"Terima kasih, Pewaris," bisiknya, suaranya sekarang lembut seperti angin sepoi-sepoi. "Akhirnya... kami bebas."
Tubuh bayangannya mulai berpendar, lalu perlahan menghilang, diikuti oleh semua pengikutnya. Mereka tidak menghilang dengan erangan kesakitan, tapi dengan desisan angin yang menenangkan, seperti beban berat yang akhirnya diangkat.
Desa itu sunyi. Beban seratus tahun akhirnya terangkat dari pundak mereka.
Mpu Sastra mendekatiku, matanya berbinar-binar. "Kau tidak mengusir mereka dengan kekuatan, tapi memberinya kedamaian dengan memberinya pengakuan. Itu lebih berharga daripada kekuatan apa pun." Dia kemudian menyerahkan sebuah naskah lontar yang sangat tua kepadaku. "Inilah yang kau cari. Sebagian dari sejarah sistem yang kau bawa. Bacalah dengan bijak. Ingat, pengetahuan adalah pedang bermata dua."
Sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih, tiba-tiba Banaspati terbang mendekat dengan tergesa-gesa, matanya bersinar dengan kepanikan.
"Jaka!" teriaknya, suaranya lebih tinggi dari biasanya. "Ada asap di cakrawala! Arahnya... dari Padepokan Tirta Amarta!"
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Banaspati. Di kejauhan, gumpalan asap hitam pekat membumbung tinggi, mencemari langit biru yang cerah.
"Tidak... Eyang Retno..." bisik Sekar di sampingku, wajahnya pucat pasi. Tangannya meraih tanganku dengan erat.
Mpu Sastra menghela napas berat, wajahnya muram. "Dia bergerak lebih cepat dari yang kita duga. 'Dia' yang mereka sebut 'Tuan' tidak akan berhenti. Sekarang setelah kau mendapatkan petunjuk, serangannya akan semakin menjadi-jadi."
Tanpa membuang waktu lagi, kami bersiap untuk bergegas kembali. Mpu Sastra memberikan sebuah peluit kecil dari tulang kepadaku. "Jika kau membutuhkan tempat berlindung atau jawaban lain, tiup peluit ini di depan gunung. Kami akan membukakan jalan."
Dengan hati dipenuhi kecemasan dan tekad baru, kami meninggalkan Gunung Widara. Perjalanan pulang terasa sepuluh kali lebih berat dari perjalanan datang. Kami tidak hanya membawa naskah kuno yang mungkin memegang kunci keselamatan kami, tetapi juga beban tanggung jawab yang jauh lebih besar.
Pertempuran di gunung telah usai, tetapi perang yang sesungguhnya baru saja dimulai. Dan kali ini, harga kekalahan bukan lagi sekadar kematian, tetapi kehancuran segala sesuatu dan everyone yang kami cintai.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro