Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di dalam mobil, suara Martha seperti sebuah radio rusak yang tak tahu kapan harus diam.
“Chandra, kamu tuh suami macam apa? Masa istri dibiarkan kurang ajar begitu? Mama nggak habis pikir, bisa-bisanya kamu tahan sama perempuan kayak dia!” sergahnya, kedua tangannya sesekali bergerak heboh, menunjuk ke arah wajah anaknya sendiri.
Della, yang duduk di kursi belakang, bukannya berusaha meredam, malah ikut menambahkan bara ke api yang sudah menyala.
“Iya Bang, bener kata Mama. Kak Audy tuh udah kebangetan. Masa mertua datang, bukannya disambut malah diusir kayak orang asing. Kalau aku jadi Mama, aku juga sakit hati banget.”
Chandra memijit pelipisnya, matanya terasa berat. Ia tahu, melawan ibunya hanya akan membuat keadaan semakin ricuh. Maka, dengan napas panjang, ia mencoba menawarkan jalan keluar.
“Ma, Dell… gimana kalau sebelum ke hotel, kita mampir dulu belanja? Mama kan senang kalau lihat-lihat barang baru. Anggap aja sekalian refreshing.”
Sekejap wajah Martha berubah, matanya berbinar seperti anak kecil yang ditawari permen. “Belanja? Ya ampun, kenapa nggak dari tadi kamu bilang! Ya udah, ayo kita ke Grand Indonesia. Mama udah lama nggak ke sana.”
Della langsung menyahut dengan senyum lebar. “Asik! Aku juga udah ngincer beberapa koleksi baru. Ayok, Bang.”
Mobil pun berbelok arah menuju Grand Indonesia. Sesampainya di sana, Martha dan Della langsung melangkah pongah ke dalam butik brand mewah. Kepala mereka terangkat tinggi, seolah tempat itu adalah panggung catwalk pribadi untuk mereka.
“Wah, ini tas keluaran terbaru. Bagus banget” seru Della sambil menunjuk sebuah display. Matanya berbinar-binar melihat tas-tas yang berjejer rapi.
Martha, dengan langkah mantap, berhenti di depan sebuah tas elegan yang sedang dipegang seorang customer lain. Tanpa rasa sungkan, tangannya langsung menyambar tas itu dari tangan si wanita.
“Chandra, Mama mau tas ini. Ini keluaran terbaru, limited edition,” ujarnya tegas, seolah dunia ini memang hanya berputar untuk memenuhi keinginannya.
Wanita yang tasnya direbut itu terbelalak, wajahnya memerah.
“Eh, Bu, maaf ya. Saya duluan yang mau beli. Ibu seenaknya banget, main nyamber gitu aja.”
Martha menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan meremehkan. “Haduh, kamu mah nggak pantas pakai tas kayak gini. Lagian siapa cepat dia dapat.”
Wanita itu terdiam sejenak, tapi rahangnya mengeras. Apalagi setelah mendengar keterangan pramuniaga bahwa tas tersebut adalah satu-satunya stok yang tersisa.
Sementara itu, Della sudah mencomot tas lain dan mengayunkannya di lengan. “Bang, aku mau yang ini aja. Cocok banget kan sama aku?”
Chandra menelan ludah, lalu mengangguk pasrah. “Iya, iya, ambil aja.”
Namun ketika proses pembayaran dimulai, masalah muncul. Kasir menggesek kartu kredit Chandra, lalu mengernyit.
“Maaf Pak, tapi kartunya Decline. Apa ada kartu lain?”
Martha mendekat, wajahnya menegang. “Chandra, apa-apaan sih kamu? Masa salah kasih kartu.” Ia tersenyum canggung ke arah kasir. “Maaf ya, Mbak, anak saya ini suka lupa. Namanya juga bos besar, suka banyak urusan.”
Dari kejauhan, terdengar celetukan sinis dari customer yang tadi berselisih dengan Martha. “Ada duit nggak, tuh?”
Martha menoleh dengan tatapan membunuh. “Eh, diam kamu ya! Anak saya ini duitnya banyak, tahu? Jangan asal ngomong!” Lalu kembali mendesak anaknya. “Cepetan bayar, Mama udah capek, pengen rebahan.”
Chandra mencoba kartu lain, tapi hasilnya sama. Decline. Begitu juga dengan kartu berikutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin mulai muncul di pelipis.
“Ma, kayaknya kartunya lagi bermasalah deh. Kita belinya lain kali aja, ya?” suaranya lirih, tapi cukup terdengar oleh orang-orang di sekitar.
Martha membisikinya dengan geram, “Jangan bikin malu, Chandra. Ini butik, bukan warung.”
Belum sempat ia menenangkan ibunya, suara customer tadi kembali terdengar, kali ini lebih menusuk.
“Kalau nggak sanggup beli, jangan maksa buat beli demi gaya, Bu.”
Dengan penuh kemenangan, wanita itu merebut kembali tas yang ada di tangan Martha. Ia meletakkannya di meja kasir dan menyerahkan kartu hitam American Express miliknya. “Saya ambil, Mbak. Bayar kontan.” Nada suaranya penuh ejekan, tajam menusuk harga diri Martha.
Martha dan Della mati kutu, wajah mereka memerah menahan malu. Mereka berdiri kaku, sementara kasir sibuk memproses pembayaran wanita itu.
“Udah, Ma, ayo pergi.” Chandra menarik lembut lengan ibunya, mencoba menyelamatkan sisa harga diri mereka.
Namun di dalam kepalanya, ada pertanyaan yang membuatnya penasaran. "Kenapa semua kartuku ditolak?" pikirnya panik. "Sampai dirumah nanti lebih baik aku tanya sama Audy" batinnya.
...***...
Chandra mondar-mandir di ruang tamu, tangannya berulang kali memeriksa dompet, lalu meremas rambutnya sendiri. Semua kartu kreditnya ditolak—padahal sebelumnya tidak pernah sekalipun ada masalah.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga. Audy turun dengan pakaian santai, wajahnya tenang, seolah dunia baik-baik saja. Aroma parfum lembut yang biasa menenangkan Chandra kini justru terasa seperti parfum murahan yang memuakkan.
“Kamu belum tidur?” tanya Audy datar sambil menuangkan air ke gelas. Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di balik ketenangan itu yang membuat Chandra semakin gugup.
Chandra berdehem, mencoba menyusun kalimat. “Dy… aku mau nanya. Tadi aku… waktu mau bayar belanjaan Mama sama Della, semua kartuku ditolak. Kamu tahu nggak kenapa?”
Audy berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum tipis. “Oh? Itu. Aku nggak bayar tagihannya.”
Chandra tercekat. Kata-kata itu seperti peluru yang mengenai tepat di dadanya. Ia memaksakan tawa canggung. “Dy, jangan bercanda gitu lah. Aku serius.”
Audy mendekat, duduk di sofa berseberangan, menatapnya lurus dengan sorot mata yang dingin. “Ya aku juga serius. Kamu kira aku bank berjalan kamu? Selama ini aku yang keluar uang untuk bayar semuanya, sekarang udah saatnya kan, kamu sebagai kepala keluarga yang mengurus pembayaran kartu kredit kamu sendiri. Toh aku nggak ikutan pakai dan nggak pernah pakai kartu kredit kamu, kenapa jadi aku yang harus susah payah bayar tagihannya?”
Nada sinis itu menusuk, membuat Chandra tak bisa berkutik. Dia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. “Dy, aku kamu jangan bercanda deh. Selama ini kan kamu yang ngurus pembayaran kartu kredit. Mama tadi… malu banget di butik. Gara-gara aku nggak bisa bayar belanjaan mama. Padahal cuma 60juta loh Dy. Masa kamu.....”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Audy menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk. “Ya siapa suruh belanja-belanja terus, duit juga lama-lama bisa habis kalau mama kamu boros begitu. Udahlah, aku nggak mau tahu soal kartu kredit kamu, itu urusan kamu. Aku nggak mau lagi ikut campur"
Chandra menunduk, tak bisa menatap balik. “Dy, jangan gitu dong. Kamu tahu kan, usaha aku lagi seret banget. Bantuin lah Dy” suaranya melemah.
Audy berdiri, mendekat ke arahnya, lalu menepuk bahunya pelan, senyum tipisnya berubah getir. “Emang selama ini aku ngapain mas? Diam aja gitu? Selama ini aku bantuin kamu kan, tapi kayaknya kok kamu jadi seenaknya. Sekarang kamu urus sendiri semuanya”
Audy lalu berbalik, melangkah menuju tangga tanpa menoleh lagi. Suaranya meluncur dingin dari atas bahu.
“Oh ya, mulai sekarang kalau kamu mau makan, masak sendiri, cuci baju kamu sendiri. Aku bakalan mulai sibuk dengan project baru dikantor. Aku juga bakal hire ART, dan kamu yang harus bayar gajinya."
"Masalah listrik, air dan wifi, biar aku yang bayar. Toh selama ini juga seperti itu kan"
Chandra terdiam di sofa, wajahnya pucat pasi. Kata-kata Audy seperti belati yang diselipkan dengan elegan—tak terlihat darahnya, tapi sakitnya menembus sampai tulang.
...***...