Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara di balik air mata
Dua bulan telah berlalu sejak Rosella pertama kali digiring ke dalam Ashguard Hall.
Waktu berjalan lambat dan menyiksa, setiap harinya dipenuhi dentang baja yang beradu, teriakan para prajurit yang berlatih, dan malam-malam panjang yang membekukan hati tanpa secercah belas kasih. Namun pagi itu berbeda—semua tawanan dipaksa berkumpul di aula besar.
Obor-obor menyala di sepanjang dinding batu, menebarkan cahaya temaram yang menari bersama bayangan. Suasana terasa menegang, para prajurit berjaga di kedua sisi dengan tatapan curiga dan tangan yang selalu dekat pada gagang pedang. Lalu, seorang perwira maju ke depan. Ia membuka gulungan perkamen, dan dengan suara berat yang menggema di ruangan, ia mulai membacakan:
“Serenith Draelmor. Kaelenya Morrith. Thyra Velmorin. Elwen Sarraith. Maelis Drovane. Lyrra Vaelith Serandrel. Feya Mirandel Solwyre. Rosella Lysandrel Aetherielle.”
Delapan nama dipanggil. Lima pertama hanya memunculkan gumaman samar, langkah-langkah ragu dari wajah-wajah asing yang tak meninggalkan kesan. Namun saat tiga nama terakhir terdengar, udara di aula seolah menegang, nyaris menggumpal.
Lyrra maju pertama. Wajahnya tetap tenang, datar, nyaris dingin. Seolah keberanian telah lama ia bungkus rapi dalam diamnya.
Feya menyusul kemudian. Jemarinya meremas gaun lusuhnya, dan alih-alih takut, justru senyum canggung muncul di wajahnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, lalu bersuara cukup keras untuk membuat semua orang mendengar:
“Eh … jadi tidak ada jamuan? Padahal aku sudah membayangkan roti hangat dan sup panas.”
Hening. Lalu—gelak tawa meledak dari para prajurit. Beberapa berseru, ada yang menepuk bahu temannya, sebagian lagi bersiul mengejek. Bahkan beberapa perwira tak kuasa menahan senyum miring di sudut bibir.
Rosella melangkah paling akhir. Nama panjangnya, yang di Vermont dulu dielu-elukan dengan takzim, kini dibacakan datar—tanpa rasa hormat, hanya sebagai tanda bahwa ia seorang tawanan. Setiap langkahnya dibarengi tatapan sinis, seakan semua orang menunggu ia tersungkur. Namun Rosella menegakkan kepalanya. Dalam dadanya, rasa getir membatu menjadi pendirian.
Di ujung aula, dari atas kursi tinggi yang menjulang seperti takhta, Duke Orion von Draevenhart memperhatikan mereka. Tatapannya tajam, dingin, dan sarat perhitungan. Ia tidak pernah memilih tanpa alasan. Dari delapan nama itu, hanya Rosella yang benar-benar ia anggap penting—sebuah bidak berharga, yang suatu hari nanti akan ia gerakkan untuk tujuan yang hanya ia pahami.
Para nama telah dipanggil satu per satu.
Hening panjang menggantung di aula, hanya diisi bisik-bisik samar dan tawa getir dari barisan prajurit yang berjajar di sepanjang dinding. Nyala obor di sisi ruangan bergetar, melemparkan bayangan panjang yang menari di batu dingin—seolah ikut menunggu akhir dari pertunjukan tak tertulis ini.
Seorang kapten akhirnya maju ke tengah. Ia berlutut, helmnya ditundukkan rendah di hadapan kursi tinggi tempat sang Duke duduk tegak—diam dan mutlak, seakan seluruh dunia tunduk di bawah alas sepatunya.
“Lapor, Tuan Duke,” ucapnya berat, walau kegugupan mengendap dalam nada suaranya. “Seluruh tawanan yang akan dijadikan pelayan di kediaman Dreadholt telah hadir. Nama-nama mereka sudah tercatat, dan mereka siap diperintah kapan pun.”
Diam.
Kapten itu menelan ludah, lalu memberanikan diri melanjutkan. Suaranya menipis, seiring keringat dingin mulai merayap di pelipisnya.
“Bagaimana dengan tawanan yang lain, Tuan Duke ...? Yang tidak masuk daftar?”
Sunyi. Bahkan nyala api seolah menahan napas.
Orion tidak langsung menjawab. Jemarinya yang dilapisi cincin logam mengetuk perlahan sandaran kursi yang diukir kepala serigala. Suara ketukan itu memecah keheningan, seperti dentum palu penghakiman—ritmis, tak terburu-buru, namun menyiratkan satu hal: keputusan telah dibuat.
Tatapan Orion menyapu ruangan. Datar, dingin, dan mengunci siapa pun yang berani menengadah. Bibirnya kemudian terangkat membentuk senyum tipis—senyum yang tidak membawa hangat sedikit pun, melainkan dingin maut yang tersembunyi.
“Bunuh mereka.”
Perintah itu jatuh datar, tenang, tanpa tekanan. Namun justru karena ketenangan itu, kata-katanya menusuk lebih dalam. Menyusup seperti racun, menjalar ke sumsum semua yang mendengarnya.
“Jangan!”
Suara itu meledak dari barisan belakang, memecah udara berat yang menggantung di aula seperti petir di langit yang nyaris runtuh.
Rosella melangkah maju tanpa aba-aba. Wajahnya pucat, hampir seterang batu dinding di sekelilingnya, namun di balik sorot matanya menyala bara yang tak bisa dipadamkan—tidak oleh ketakutan, tidak oleh rasa sakit, dan jelas bukan oleh kekuasaan. Jemarinya menggigil, entah karena ngeri atau kemarahan, tapi tubuhnya tetap tegak—berdiri seolah nyawanya bukan lagi harga yang harus dipikirkan.
“Mereka hanya orang biasa!” serunya lantang. Suaranya memang bergetar, tapi tidak ada satu pun nada yang goyah. “Rakyat jelata yang bahkan mungkin tidak tahu mengapa perang ini terjadi! Mereka tidak membawa senjata! Mereka tidak pernah memilih dilahirkan di tempat yang salah! Satu-satunya kesalahan mereka adalah hidup di tengah kekacauan yang bukan mereka ciptakan!”
Aula membeku.
Semua mata kini tertuju pada Rosella—seorang gadis yang dulu datang sebagai tawanan, kini berdiri seperti pengacara untuk orang-orang yang bahkan tidak mampu bersuara untuk diri mereka sendiri.
Feya, yang berdiri tak jauh, tampak seperti kehilangan semua warna di wajahnya. Ia menelan ludah begitu keras hingga terdengar jelas dalam heningnya aula. Tangannya meremas ujung kain lusuhnya erat-erat, seolah tubuhnya akan runtuh jika ia tak mencengkeram sesuatu yang nyata.
Lyrra, di sisi lain, tetap diam. Tapi sorot matanya—yang selama ini selalu kuat dan terjaga—tak lagi bisa menyembunyikan gejolak yang meletup. Ia melirik cepat ke arah Rosella, dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, tatapan waspadanya berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… harapan samar yang tumbuh dari keberanian orang lain.
Rosella kembali membuka suara. Napasnya terengah, tapi nadanya jelas. Tak satu pun kata luput dari ketegasan yang menebal di balik emosi.
“Kau sudah menang, Tuan Duke. Kau sudah mengambil istanaku, tanahku, bahkan tubuhku. Tapi kalau itu masih belum cukup … apa lagi yang kau inginkan? Darah orang-orang yang bahkan tidak punya apa-apa?”
Ia menggertakkan gigi. Rahangnya menegang.
“Kalau perlu darah untuk membuktikan kekuasaanmu, ambil darahku. Tapi jangan jadikan mereka tumbal dari arogansi. Mereka hanya ingin hidup. Apakah permintaan itu terlalu banyak ... bagi seorang penakluk seperti dirimu?”
Untuk sesaat, aula kembali sunyi.
Lalu—langkah perlahan menggema.
Duke Orion bangkit dari singgasananya. Mantel hitamnya mengepul seperti bayangan gelap yang menari bersama langkahnya. Langkahnya mantap, tenang, namun memiliki bobot yang membuat lantai batu seolah ikut menegang. Ia turun dari takhtanya, berjalan ke arah Rosella.
Suasana aula berubah. Tegangan di udara semakin berat. Semua orang—tawanan maupun prajurit—seolah menahan napas.
Kini, ia berdiri tepat di hadapan Rosella. Tubuhnya lebih tinggi, lebih kokoh, lebih beringas dari siapa pun di aula. Tatapannya kosong dan tak tersentuh, seperti es yang membatu selama seribu tahun.
“Sudah selesai?” tanyanya dingin.
Rosella membuka mulut, tapi suara tercekat di tenggorokan. Ia hanya mengangguk—meski sorot matanya tak pernah goyah, tidak berpaling, tidak menunduk.
Orion mendekat. Ia mencondongkan tubuh, cukup dekat hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar bisikannya—berat, rendah, dan nyaris tak bernyawa.
“Dunia tidak diatur oleh belas kasih, Rosella. Dunia tunduk pada ketakutan. Dan ketakutan hanya datang dari kekuasaan. Orang-orang itu ... adalah pesan. Pesan bagi semua yang masih bernapas, bahwa Draevenhart tidak membiarkan satu pun sisanya.”
Rosella tidak memalingkan wajah. Ia menatapnya lurus, kendati air mata kini mulai membasahi bulu matanya.
“Kalau begitu, jadilah kau penguasa dari ladang mayat. Tapi jangan harap dihormati. Karena bahkan binatang pun tahu ... kapan harus berhenti membunuh.”
Untuk sesaat, ada jeda. Orion menyipitkan mata. Sebelah alisnya terangkat—entah karena ejekan, rasa heran, atau mungkin … pertimbangan yang dalam. Tidak ada yang bisa membacanya.
Lalu ia berbalik.
Dengan tangan terangkat, ia mengucapkan perintah yang sama … tanpa jeda … tanpa keraguan.
“Bunuh mereka.”
Perintah itu terdengar untuk kedua kalinya—dan justru karena itu, maknanya lebih menusuk. Kali ini bukan sekadar keputusan. Ini adalah penegasan. Titik. Tak ada debat. Tak ada belas kasih.
Kapten menunduk. Suara langkah berat mulai terdengar di belakang. Para eksekutor bergerak—menuju tempat yang jauh dari pandangan... tapi tidak dari bayangan, tidak dari jeritan yang akan terus bergema di kepala orang-orang yang masih hidup.
Rosella jatuh terduduk. Kakinya terlipat tanpa daya, jemarinya menutupi wajahnya. Nafasnya terengah, seperti baru bangkit dari badai yang menghancurkan. Tubuhnya menggigil dalam diam—bukan karena dingin semata, tapi karena gemuruh yang tak tertampung di dada.
Di sampingnya, Feya mulai terisak lirih. Suara tangisnya seperti retakan pertama di dinding keheningan yang begitu pekat. Lyrra mengepalkan tangan kuat-kuat di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras, namun matanya tak berpaling dari sahabatnya yang bersimpuh di lantai.
Dan sang Duke?
Ia kembali ke kursinya. Duduk seperti sebelumnya. Tegak. Diam. Tak tergores sedikit pun oleh air mata, jeritan, atau keberanian yang baru saja terkubur sia-sia. Ia seolah tak terlibat dalam tragedi itu—hanya menyaksikannya seperti penonton yang duduk di tribun tertinggi dari arena penyembelihan.
Lalu—jeritan pertama terdengar.
Seperti cambuk petir yang merobek langit tanpa ampun, jeritan itu mengguncang kesunyian aula. Diikuti oleh jeritan lain. Dan lainnya. Semakin nyaring, semakin pilu. Jeritan ketakutan, isak putus asa, raungan nyawa yang dicabut paksa satu per satu.
Di luar aula, udara dingin mendadak terasa lebih pekat, lebih sesak—dipenuhi aroma besi darah yang menguar tanpa malu, menusuk hingga ke dalam dinding-dinding batu, seakan memaksa semua orang di dalam ruangan mengingat: bahwa kematian sedang bekerja.
Rosella terdiam.
Dadanya naik-turun tak terkendali, tubuhnya masih membeku di tempat, namun matanya tetap terbuka. Ia menatap lurus ke depan, ke arah pintu aula yang tertutup rapat, seakan mampu menembus dinding dan menyaksikan sendiri bagaimana darah mengalir dari tubuh-tubuh tak berdosa.
Air mata menetes satu per satu, tanpa suara
Kemudian … suara langkah kaki pelan, namun mantap.
Irama yang tenang—terlalu tenang. Langkah itu berasal dari arah singgasana.
Rosella nyaris tak sanggup menoleh, tapi ia tahu. Ia tahu bahkan tanpa harus melihat. Hanya satu orang yang akan melangkah dengan sebegitu teguhnya … ketika dunia tengah runtuh.
Duke Orion turun dari singgasananya.
Jubah gelapnya menyapu lantai batu, suara sepatu botnya menggema, menindih suara isak para tawanan yang tersisa. Setiap langkahnya seperti dentang palu penghakiman. Semua yang masih berdiri seolah membatu. Bahkan Feya—yang sedari tadi berusaha menahan tangis—kini menutup mulutnya rapat-rapat agar tak terdengar menangis.
Sang Duke tidak terburu-buru.
Ia berjalan perlahan menuju Rosella—yang masih bersimpuh, masih menggigil, namun tak lari, tak sembunyi.
Tatapannya tidak memancarkan kemarahan.
Tidak pula simpati.
Yang terpancar dari matanya adalah sesuatu yang lebih dalam… lebih dingin. Pandangan yang biasa diberikan seorang pemburu kepada makhluk langka yang baru ia temukan—aneh, menarik, membingungkan.
Orion berhenti tepat di hadapan Rosella.
Air mata masih mengalir di wajah gadis itu. Tapi saat menoleh ke atas—meski pandangannya kabur, meski tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri—ia tetap menatap balik. Ia tahu seharusnya ia tunduk. Ia tahu, siapa pun akan menunduk. Tapi tidak kali ini.
Tidak setelah semua yang terjadi.
Jemari Orion yang dingin mencengkeram dagu Rosella.
Namun bukan dengan kasar.
Cengkeramannya terasa dingin, tapi tidak menyakitkan. Bahkan bisa dibilang … terlalu lembut untuk ukuran seorang algojo.
Ia mengangkat dagu Rosella. Memaksa wajah itu menengadah. Memaksa mata itu menatap lurus ke arahnya.
Beberapa detik mereka terdiam.
Dan dalam kesunyian yang membentang, di antara mereka ada sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Di balik mata tajam Orion, sesuatu bergerak… samar, lambat, mengganggu. Ia sendiri tak tahu pasti apa itu—tapi kehadirannya nyata.
Bukan rasa iba.
Bukan pula ragu.
Tapi… ketertarikan. Yang belum bisa dijelaskan. Belum bisa diberi nama.
“Menangis… tapi tidak menunduk.”
Suaranya pelan, tapi jelas. Sarat tekanan. Tak perlu berteriak untuk menguasai ruangan—satu kalimatnya saja cukup mengguncang isi kepala siapa pun.
Senyum tipis terbentuk di wajahnya. Tapi bukan senyum ramah. Bukan senyum belas kasihan.
Itu senyum milik predator yang baru saja menemukan mangsa yang tidak takut padanya.
“Apa kau benar-benar ingin menyelamatkan mereka, atau hanya ingin menguji seberapa jauh kau bisa menantangku?”
Rosella terisak. Tapi ia menelan tangisnya sendiri. Ia tak menjawab. Ia tak bisa. Namun matanya—masih menatap, masih melawan.
“Aku tidak suka wanita yang menangis,” gumam Orion, seperti bicara pada dirinya sendiri. “Tapi aku tidak bisa berpaling dari mata yang menatap seperti itu… seolah tahu bahwa aku bisa menghancurkan segalanya… dan tetap berdiri.”
Cengkeramannya melemah.
Ia melepaskan dagu Rosella perlahan, seakan menyentuh sesuatu yang terlalu rapuh … namun terlalu berbahaya untuk dihancurkan sembarangan.
Ia berbalik.
Langkahnya kembali menuju singgasana. Gaunnya mengekor, bayangannya menjuntai panjang seperti luka yang belum tertutup.
Namun sebelum ia duduk, suaranya kembali terdengar.
Datar, tanpa emosi.
“Buang mayat-mayat itu. Dan beri makan mereka yang tersisa. Aku ingin melihat siapa yang masih bisa berdiri besok pagi.”
Dan hanya seperti itu, nasib puluhan nyawa ditentukan.
Rosella tetap berdiri mematung. Tubuhnya bergetar halus, matanya masih basah. Tapi bukan karena takut. Bukan karena trauma. Melainkan karena sesuatu yang lebih tajam dari pedang mana pun:
Kemarahan.
Kemarahan yang menggumpal, menekan dadanya dari dalam, dan menanti saatnya untuk meledak.
Telinganya masih menangkap jeritan para tawanan yang diseret keluar. Suara logam. Denting senjata. Dan—Tuhan … bau darah. Seakan itu semua kini meresap ke dalam pori-porinya. Tapi yang membuatnya bergerak… bukan semua itu.
Melainkan—tatapan dingin sang Duke.
Tatapan yang mencabik harga dirinya lebih kejam dari hukuman mana pun.
Ketika Duke Orion berbalik, hendak kembali ke singgasananya, Rosella maju selangkah.
Gerakan kecil.
Namun cukup untuk mengubah segalanya.
“Kau bukan Tuhan,”
bisiknya—nyaris tak terdengar, namun tajam. Tajam seperti pisau tipis yang cukup kuat untuk mengiris udara yang mendadak membeku di antara mereka.
Langkah Orion terhenti. Suasana aula membeku.
Heningnya mendadak menjadi sesuatu yang mencekik.
Seolah seluruh ruangan, seluruh napas, seluruh detak jantung …
menunggu.
Dan saat ia perlahan menoleh—
Rosella mengangkat tangannya.
Plak!
Suara tamparan itu memecah ruangan seperti ledakan. Tidak hanya terdengar—tetapi terasa. Dentumannya seperti palu menghantam batu nisan. Kepala Orion tergeleng sedikit ke samping karena benturannya. Ia tak bergeming lebih dari itu, tak mundur, tak memelintir lehernya seperti orang biasa yang ditampar. Tapi pipinya …
Pipinya memerah.
Merah yang tak bisa disangkal.
Merah yang mencolok di wajah seorang penguasa yang tak pernah disentuh tanpa izin.
Dan aula terdiam.
Bahkan nyala api di obor seakan kehilangan geraknya. Para perwira membatu. Prajurit mendadak beku di tempat, menahan napas seperti patung. Para pelayan nyaris menjatuhkan peralatan di tangan mereka. Semua tubuh menegang.
Satu-satunya yang tetap berdiri ... adalah Rosella.
Feya menatap kejadian itu dengan wajah pucat pasi. Ia terlihat seperti gadis kecil yang baru saja melihat petir menyambar kaki langit. Mata bulatnya membelalak, dan ia langsung terperanjat mundur, tergelincir ke lantai. Kedua tangannya menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak.
“Apa—kau—gila?”
bisiknya putus-putus, suara bergetar, mencoba menarik lengan Rosella dari belakang. Tapi tangannya gemetar hebat. Ia bahkan tak tahu apakah kakinya masih bisa menopang tubuhnya lagi.
Di sisi lain, Lyrra—yang selalu tampak keras, tegas, tak pernah goyah—tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Tatapannya menajam, napasnya mengeras. Tapi di balik keterkejutan itu, ada sesuatu yang lain.
Rasa hormat yang diam-diam tumbuh.
Ia menatap Rosella lama. Lama. Seolah baru melihat sosok yang selama ini tersembunyi di balik gaun tahanan dan luka-luka yang disulam waktu.
Dan di hadapan mereka semua, sang Duke masih diam.
Orion mengangkat wajahnya perlahan, menatap Rosella.
Tidak ada kemarahan.
Tidak ada umpatan.
Yang muncul justru … bahaya. Tatapan itu bukan milik manusia biasa. Tatapan itu milik seekor binatang pemangsa yang baru saja tersengat, dan bukan karena sakit … melainkan karena terkejut. Terkejut menemukan mangsa yang berani menggigit balik.
Ia menatap Rosella sedikit lama.
Seolah mencoba mencari tahu—apa yang sebenarnya ia lihat?
Bukan seorang putri.
Bukan seorang budak.
Bukan seorang gadis menangis yang merengek untuk belas kasih.
Tapi … ancaman.
“Aku bisa mematahkan tanganmu sekarang juga,”
ucapnya akhirnya.
Suara itu datar, tenang, tanpa intonasi. Tapi tajam. Sangat tajam. Seperti belati yang tiba-tiba diselipkan ke leher, dingin dan nyaris tidak terasa … sampai darah mulai menetes.
Namun Rosella tak mundur.
Meski napasnya berat.
Meski dadanya naik-turun dengan cepat karena gemetar emosi dan teror yang belum reda.
Air matanya masih menggantung, belum sempat jatuh. Tapi matanya menatap lurus ke arah sang Duke. Bukan dengan kebencian. Bukan pula dengan keberanian kosong. Tapi dengan tekad yang sudah berdarah-darah.
“Silakan,”
ucapnya pelan.
“Tapi satu-satunya hal yang lebih menjijikkan daripada pembunuh…
adalah orang yang membungkam suara yang mencoba menghentikannya.”
Dan di situlah—
senyum itu muncul.
Tipis.
Tidak hangat.
Tidak puas.
Tapi berbahaya.
Senyum predator—bukan karena ia lapar, tapi karena ia baru saja menemukan sesuatu yang… tidak bisa ia prediksi. Dan justru karena tak terduga, ia menjadi menarik.
Orion melangkah maju.
Satu langkah.
Dua langkah.
Bayangan tubuhnya membingkai Rosella, menjulang tinggi, menekan udara di sekitarnya. Tapi gadis itu tidak goyah. Meski tubuhnya gemetar, dagunya tetap terangkat. Mata mereka bertemu. Tak ada kata, tapi segalanya disampaikan.
“Kau menarik,”
bisik Orion.
“Berani … dan bodoh. Tapi menarik.”
Dan seketika itu pula, ia berbalik.
Langkah-langkahnya kembali ke singgasana. Sepi. Tak ada satu pun suara menyusulnya.
Tapi saat ia duduk kembali, semua orang tahu—
angin telah bergeser.
Bukan kemenangan.
Bukan pula kekalahan.
Tapi pergeseran sesuatu yang jauh lebih dalam.
Ada sesuatu dalam diri Rosella yang membuat Orion tak bisa melepaskan pandangannya.
Bukan cinta.
Bukan kasihan.
Tapi sesuatu yang bahkan Orion sendiri belum tahu namanya.
.
.
.
Bersambung ....