Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hancurnya Hati Seorang Ibu
Cangkir di tangan Berlin terlepas. Suara pecahannya menghantam lantai, memantul ke dinding, dan berserakan seperti ratusan jarum kaca yang menusuk telinga. Air di dalamnya mengalir pelan di antara pecahan beling, namun Berlin tak sanggup memandanginya.
Tangannya terangkat refleks ke dada yang berdebar tak terkendali, sementara tangan satunya meraba meja di samping, berusaha menopang tubuhnya yang perlahan merosot. Lututnya kehilangan tenaga, tubuhnya terasa berat, seolah bumi menariknya jatuh.
Berita itu, pagi ini, bukan dari menantunya, bukan dari keluarganya, melainkan dari suara dingin penyiar televisi. Kata-kata itu masih terngiang di telinganya, menusuk, tak memberi ruang untuk bernapas.
Setiap tarikan napas terasa berat, menyakitkan, seperti menghirup asap pekat dari kebakaran besar. Tenggorokannya kering, dada sesak, dan matanya mulai memanas. Air mata jatuh satu per satu, lalu pecah menjadi deras, membasahi wajah pucatnya.
Kepalanya berputar, pandangan bergoyang, napasnya terputus-putus. "Jangan sekarang… jangan…" bisik hatinya tanpa suara. Namun tubuhnya menyerah, dunia meredup, dan ia ambruk begitu saja ke lantai.
"Ibu!" jerit Hyra dari arah pintu belakang. Ia menjatuhkan jemuran yang masih dipegang, berlari, dan berjongkok di sisi Berlin. Tangannya panik mengguncang bahu sang majikan. "Ibu, bangun… Bu…"
Ketika pandangan Hyra naik ke arah televisi, darahnya seolah berhenti mengalir. Layar itu mem-pause sebuah berita, gambar kecelakaan di jembatan dan motor terbakar, terlihat jelas nama Kenziro Alderick terpampang jelas di bawah headline.
Begitu sadar anaknya mengalami kecelakaan dan hanyut di sungai, tubuh Berlin tak kuasa menopang dirinya sendiri, ia langsung ambruk pingsan di lantai.
Hyra yang panik segera meraih minyak angin, mengoleskannya di hidung dan pelipis Berlin dengan tangan gemetar. Napasnya sendiri tersengal, takut yang teramat dalam menyelimuti.
Beberapa menit kemudian, Berlin mulai sadar. Matanya terbuka setengah, napasnya berat, dan tubuhnya masih gemetar. Hyra cepat-cepat menyodorkan segelas air, membantunya minum sedikit demi sedikit.
Namun begitu kesadarannya pulih, Berlin meronta. "Ayo anterin saya ke TKP! Saya mau cari Ken! Saya mau lihat keadaan anak saya!" Suaranya meninggi, nyaris histeris. Ia mencoba berdiri walau lututnya masih lemah.
Hyra hanya bisa mengangguk cepat, lalu membantu Berlin masuk ke mobil. Mobil itu melaju menembus jalanan basah menuju lokasi kejadian.
Di jembatan, pemandangan mencekam menyambut mereka. Polisi memasang garis kuning, wartawan berdiri dengan payung, dan tim SAR bersiap di tepi sungai yang arusnya mengamuk. Langit menghitam pekat, awan menggantung rendah seakan hendak runtuh. Hujan tipis yang tadinya hanya gerimis kini turun semakin deras, menampar wajah-wajah yang berdiri di sana.
Berlin berdiri terpaku di balik garis polisi. Tatapannya kosong, tubuhnya bergetar hebat. Setiap tetes hujan yang jatuh di wajahnya bercampur dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
"Ken… Nak… Ibu di sini…" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Namun pencarian tak bisa dilanjutkan. Cuaca buruk, arus terlalu deras. Harapan terasa diremas-remas hingga nyaris hancur.
Kembali ke rumah, Berlin duduk di kursi dekat jendela, memeluk erat foto Kenziro. Hujan di luar terus mengguyur, suara guntur menggelegar sesekali. Ruangan itu hening, hanya isak tangisnya yang terdengar.
"Tolong… jangan ambil anakku… jangan hari ini… jangan biarkan dia pergi… Tuhan… aku mohon…" suaranya pecah, penuh putus asa.
Hyra berdiri tak jauh darinya, diam menatap wanita yang ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia memastikan Berlin makan, minum obat, mencoba tidur, meski Berlin menolak, terus berdoa tanpa henti.
Di dalam hati, Hyra ikut berdoa, meski tak berani mengucapkan. Ia tahu betul, jika sesuatu terjadi pada Kenziro… Berlin mungkin takkan sanggup bertahan.
Beberapa jam kemudian, Berlin mengangkat wajahnya yang basah air mata. Tatapannya kini dingin, penuh tekad. "Hyra," suaranya pelan tapi tajam, "Antarkan saya menemui Lyodra. Saya mau tahu… apa yang sebenarnya terjadi sama Ken sampai dia kecelakaan."
--✿✿✿--
Merin berdiri tegak, tubuhnya lurus sempurna, bibirnya melengkung membentuk senyum setipis silet yang dingin dan berbahaya. Di tangannya, segelas teh panas mengepulkan uap tipis, namun genggamannya santai seolah tak ada badai yang sedang ia ciptakan sendiri.
"Bagus. Sangat bagus," ucapnya pelan namun sarat kepuasan, matanya tak beralih dari jendela besar di hadapannya. Di luar sana, hujan mengguyur deras, menghantam bumi tanpa ampun. "Bahkan lebih natural dari yang saya duga," lanjutnya, suaranya nyaris mendesah, bagai seorang maestro yang baru saja menyempurnakan simfoni terakhirnya.
Baginya, semesta tampak memberi restu. Arus sungai yang menggila, hujan yang turun tanpa henti, semua seperti tanda bahwa Kenziro tidak akan pernah kembali. Tidak akan selamat. Tidak akan ditemukan. Dan itu membuat Merin yakin, jalannya menuju kemenangan kian lapang.
Dari sudut ruangan, Zee berbicara datar, suaranya tak berperasaan. "Semua sudah saya pastikan. Tak ada saksi, tak ada jejak. Bersih. Bahkan sebelum Anda bergerak, Nyonya."
Senyum Merin mengembang sedikit lebih lebar, matanya berkilat tipis. Batu loncatan terakhirnya hampir habis. Gerbang menuju kebahagiaan terbuka semakin lebar di hadapannya.
Ia meletakkan cangkir di meja dengan gerakan tenang, nyaris anggun, lalu berbalik menuju kamar Lyodra.
Di balik pintu yang terkunci rapat, kunci yang sengaja ia simpan agar Lyodra terkurung. Ia tahu putrinya mungkin akan nekat, jadi ia pastikan semua jalannya tertutup.
"Lyly, sayang Mama!" panggilnya lembut, membuka pintu dan melangkah masuk.
Pemandangan di depannya membuat ruangan terasa lebih suram. Lyodra meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya terbungkus selimut, hanya ujung rambut kusutnya yang terlihat. Di balik selimut, terdengar isakan samar. Foto Kenziro tergenggam erat di dadanya, sudah basah oleh air mata.
Merin mendekat perlahan, duduk di tepi ranjang. Pandangannya sempat jatuh pada gelas air putih dan sepiring sarapan di meja kecil tak tersentuh, dingin.
Tangan Merin terulur, mengusap rambut kusut putrinya dengan gerakan lembut penuh pura-pura iba. "Mama mengerti rasa sedih kamu, sayang. Mama juga ikut hancur," ucapnya lirih, seolah ikut merasakan duka yang sebenarnya ia sambut dengan sorak dalam hati.
"Kalau hujan reda, kita ke lokasi lagi, ya? Tapi sekarang… Mama mohon kamu makan dulu. Kamu butuh tenaga." Ia mengambil piring itu, berusaha menyuapkan sedikit makanan.
Namun Lyodra hanya menggeleng pelan, memalingkan wajahnya, lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh kepala. Menutup dunia. Menutup suara ibunya.
Senyum Merin perlahan memudar. Matanya menatap selimut itu dingin, sedingin hujan di luar sana, namun bibirnya tetap mengucap manis, "Istirahatlah, sayang. Semua ini… demi kebaikanmu."
"Gak mau."
Merin meletakkan piring itu kembali ke meja, menahan senyum palsu agar tetap terpasang. "Sayang… makan, ya? Kamu butuh tenaga kalau mau terus nunggu Ken pulang," bisiknya lembut, hampir seperti doa. "Mama yakin… Ken akan sedih kalau tahu kamu belum makan sama sekali."
Suaranya lirih, nadanya penuh kehangatan, hangat yang dibuat-buat. Bahkan Merin yang biasanya keras bak baja, kali ini memoles dirinya jadi selembut kapas, hanya demi melihat Lyodra tetap rapuh di genggamannya.
Namun Lyodra tak bergeming. Tubuhnya tetap membeku di bawah selimut, seolah kehadiran Merin tak ada artinya. Diamnya adalah penolakan halus, tanda bahwa ia ingin sendiri, tak mau diganggu, tak mau mendengar siapapun.
Merin menatap punggung meringkuk itu beberapa detik lebih lama, bibirnya melengkung samar, entah senyum, entah ejekan. Lalu ia bangkit, melangkah keluar kamar dengan tenang, menutup pintu perlahan.
Begitu pintu tertutup rapat, topengnya runtuh.
Di balik kamarnya sendiri, Merin meledak. "SIALAN!" bentaknya sambil menghentakkan kaki. Tangannya meraih vas bunga di meja dan melemparkannya hingga pecah berantakan. "Apapun caranya, Ken nggak boleh balik lagi! Dengar, Zee?! PASTIKAN itu terjadi!"
Zee, yang berdiri tegap di sudut ruangan, hanya menunduk. "Mengerti, Nyonya."
Merin berbalik, matanya merah menyala, napasnya memburu. "Harus ada posisi kosong untuk Romeo datang dan menggantikannya. Aku nggak bisa tunggu lebih lama lagi!"
Ia berjalan mondar-mandir di sisi ranjangnya, kedua tangannya menekan pelipis seolah ingin menghancurkan rasa frustrasi yang menggerogoti kepalanya. Ia tahu polisi tak bisa menyentuhnya, semua tampak seperti kecelakaan murni. Tapi satu hal mengancam rencananya, Lyodra yang terus terpuruk.
"Kalau dia terus murung begini, semua ini akan memakan WAKTU! Aku nggak punya enam tahun, bahkan enam bulan pun terlalu lama!" teriaknya, suaranya bergetar antara panik dan amarah.
"Zee!" pekiknya mendadak, menusuk seperti cambuk. "Lakukan sesuatu. Buat Lyly bangkit lagi. Bikin dia percaya masih ada alasan buat hidup. Dia harus cerita lagi, tertawa lagi, dalam waktu paling lama enam bulan. Hanya itu caraku mendekatkannya ke Romeo!"
Zee mengangguk cepat. "Baik, Nyonya. Saya akan cari terapis terbaik untuk memulihkan mentalnya… agar ia siap menerima--"
"JANGAN banyak omong!" potong Merin, suaranya dingin seperti baja. "Cepat lakukan. Karena hanya Lyly yang bisa kupakai untuk mengamankan segalanya, keturunan, warisan, kekuasaan… dan hubungan bisnis ini."
Ia berhenti bergerak, menatap refleksinya di cermin. Wajah wanita elegan, anggun, penuh wibawa tapi di balik mata itu, ada kehampaan tanpa belas kasih.
"Lakukan yang saya perintahkan tanpa banyak pertanyaan!" ucapnya dingin.
Zee tak membantah, langsung melangkah keluar untuk mengeksekusi perintah. Begitu pintu tertutup, Merin menatap hujan deras di luar jendela dan tersenyum tipis.
"Ken sudah tak berguna. Dan kalau semesta berpihak, dia sudah jadi bangkai di dasar sungai."