NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:639
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8 : Ketika Musik Menjadi Cermin

Keesokan harinya, langit masih menggantung mendung tipis ketika bel sekolah berdentang pelan. Tak seperti biasanya, semua murid diminta berkumpul di aula besar di lantai dua. Lantai marmer yang dingin memantulkan bayangan sepatu-sepatu yang melangkah serempak. Aula itu luas dan sedikit bergema, dengan tirai merah tua yang menggantung di panggung depan. Di sana, sudah disiapkan beberapa alat musik, piano tua dengan sedikit retakan di permukaannya, biola dalam kotak hitam, gitar akustik yang menggantung di dinding, dan satu set drum yang tampak jarang disentuh.

Suara-suara kecil terdengar di antara kerumunan. Mereka sudah tau kalau hari ini, akan dilakukan praktek musikalisasi yang di pimpin oleh guru kesenian, Veranda. Ada yang bersandar di dinding, ada yang duduk bersila di lantai. Tapi di tengah kegaduhan kecil itu, Azizi dan Freya duduk berdampingan di deretan kursi kayu baris ketiga. Diantara keramaian itu, mata Freya tidak bisa beralih dari Shani yang duduk di kursi baris ke dua.

Kehadiran Shani pagi itu terasa berbeda. Rambutnya sedikit dipotong rapi, wajahnya tenang, dan matanya menatap lurus ke depan. Tak satu pun dari riuh suara di aula yang tampaknya mengganggunya. Freya menatap punggungnya dari belakang, diam-diam mencuri detik demi detik. Di sampingnya, Azizi menyadari tatapan itu. Ia menyikut pelan lengan Freya.

"Kamu udah ungkapin perasaan kamu sama dia?" bisiknya.

Freya tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas perlahan. "Udah, tapi masih di gantung."

Azizi menaikan sebelah alisnya, "Serius? Hanya digantung?" Tanyanya.

Freya kembali mengangguk pelan.

Tak lama kemudian, suara langkah sepatu hak terdengar dari arah pintu samping. Semua mata segera tertuju ke panggung. Veranda-guru kesenian mereka-muncul, mengenakan kemeja putih dan celana bahan longgar. Wajahnya kalem, tapi setiap langkahnya menandakan wibawa. Ia berdiri di tengah panggung, kedua tangannya terlipat di depan tubuh.

"Selamat pagi," ucapnya, suara lembutnya bergema di ruang aula.

"Pagi, Bu," jawab sebagian besar murid, meski tidak serempak.

Veranda tersenyum kecil. "Hari ini, kita tidak akan sekadar menyanyi, Kita akan merasakan. Karena musik bukan tentang nada yang sempurna, Tapi tentang keberanian untuk jujur."

Beberapa siswa saling pandang. Ada yang bingung. Ada yang senyum-senyum tak percaya. Tapi tak ada yang berani membantah. Veranda melanjutkan, "Kalian akan dibagi secara individual. Masing-masing individu, akan menampilkan bakat terbaik dalam bermain alat musik dan bernyanyi. Ibu tidak akan menilai hanya dari suara kalian, tapi yang paling utama yang akan ibu nilai, adalah perasaan kalian pada lagu yang kalian nyanyikan. Nilai praktek kali ini akan ibu masukan kedalam raport kalian nanti."

Seisi aula kembali bergemuruh. Mendadak, kursi-kursi kayu yang tadinya terasa biasa mulai terasa keras. Nafas beberapa siswa terdengar pelan-bukan untuk menenangkan diri, tapi karena dada mereka mulai terasa sempit. Freya menoleh pelan ke arah Azizi. "Individual? Jadi... semua orang harus tampil sendiri?"

Azizi mengangguk pelan. "Sepertinya begitu..."

Veranda melangkah mendekat ke pinggir panggung. Cahaya matahari dari jendela kaca besar menyorot ke pundaknya. Wajahnya tidak berubah, tetap lembut, tapi kini ada kilatan ketegasan di matanya. "Ibu mengerti," katanya perlahan, "Kebanyakan dari kalian mungkin takut. Takut suaranya sumbang, Takut terlihat lucu, atau Takut dinilai buruk. Tapi izinkan ibu mengajukan satu pertanyaan..."

Bu Veranda mengangkat satu tangannya, telunjuknya menunjuk ke dada. "Apa yang kalian rasakan, ketika kalian bernyanyi?"

Aula mendadak hening. Bahkan bunyi jam dinding terasa menonjol di antara napas tertahan. Veranda menurunkan tangannya perlahan. "Musik, bukan hanya tentang tinggi rendah nada. Tapi tentang menemukan suara yang selama ini kita pendam. Musik adalah kejujuran yang disuarakan lewat bunyi. Ia tidak peduli apakah suara kalian indah. Ia hanya peduli... apakah kalian sungguh-sungguh bernyanyi dari tempat terdalam kalian."

Shani menunduk sedikit, Matanya meredup. Di belakangnya, Freya hanya memejamkan mata. Kata-kata itu, seperti diarahkan langsung ke relung yang selama ini ia lindungi mati-matian. Veranda kembali melangkah. Ia kini duduk di pinggiran panggung, sengaja merendahkan posisinya agar tidak terasa seperti menggurui. "Banyak orang menyangka bahwa menyanyi adalah memamerkan kemampuan. Padahal, menyanyi itu... adalah berani telanjang di hadapan semua orang. Bukan tubuhmu yang telanjang, Tapi perasaanmu. Dan ketahuilah, tidak ada nada yang lebih jernih dari air mata yang tidak jadi tumpah."

Azizi menoleh pada Freya, tapi tidak bicara. Ia tahu, teman di sampingnya sedang menahan sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Veranda menunjuk ke piano tua di sisi kiri panggung. "Lihat piano itu. Sudah retak, Beberapa tutsnya bahkan mati. Tapi... kenapa ibu tetap membiarkannya di sini?"

Semua murid menoleh. Piano itu memang terlihat tua dan ringkih. Tidak ada yang menyangka masih bisa menghasilkan harmoni. "Karena," lanjut Veranda, suaranya kini lebih pelan, "kita tidak butuh kesempurnaan untuk menyentuh hati seseorang. Yang kita butuhkan... hanyalah keberanian untuk tetap bersuara, meski tahu beberapa bagian dari diri kita sudah tidak utuh lagi." Shani mengangkat wajahnya pelan. Di belakangnya, Freya menunduk dalam.

"Kalian akan tampil satu per satu, menurut urutan absen. Pilih satu lagu-boleh ciptaan sendiri, boleh lagu yang kalian sukai. Tapi pastikan lagu itu menyentuh sisi terdalam dari hidup kalian. Karena hari ini... ibu tidak menilai suara. Ibu menilai keberanian kalian untuk berdamai dengan diri sendiri."

Ruangan aula masih terasa lengang meski dipenuhi murid. Azizi melirik Freya lagi. "Kamu bakal nyanyi lagu apa?"

Freya menggeleng pelan. "Belum tahu."

Azizi tersenyum simpul. "Kadang... yang perlu kita lakukan cuma berdiri. Nyanyinya nanti juga bakal datang sendiri, kayak ombak yang akhirnya tiba di pantai."

Freya menatapnya sekilas. "Kamu ngomong kayak pujangga, Zee."

Azizi nyengir. "Bukan, Aku cuma tahu rasanya kalau hati terlalu penuh tapi nggak bisa bicara. Mungkin musik bisa bantu sedikit."

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Dari sisi kanan aula, seorang murid mulai maju ke depan. Semua mata memandang, tapi tak satu pun yang berani berkomentar. Waktu seperti melambat ketika nama-nama mulai dipanggil satu per satu. Suara demi suara bergema, ada yang jernih, ada yang bergetar, ada yang gugup dan terbata. Lalu tibalah giliran Shani. Ia berdiri perlahan, tidak banyak ekspresi. Tapi setiap geraknya memiliki gravitasi sendiri. Semua yang ada di ruangan tanpa sadar menoleh, bahkan yang tadinya sibuk bermain ponsel pun kini terdiam. Shani melangkah ke depan, melewati Freya yang menunduk dalam.

Langkah Shani berhenti di depan piano tua itu. Tangannya sempat ragu, sebelum akhirnya ia duduk. Tak butuh waktu lama. Jemarinya menyentuh tuts yang sebagian sudah mati dengan penuh kesadaran. Sebuah nada mengalun pelan, tidak sempurna, tapi justru di situlah letak keindahannya. Ia menyanyikan lagu sederhana. Tidak melodius, tidak megah. Tapi... suaranya penuh penghayatan. Freya mendongak perlahan.

Setelah lagu itu selesai, tidak ada tepuk tangan, Hening, Tapi bukan hening yang canggung-hening yang khidmat. Semua orang tahu bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang terlalu pribadi untuk disambut dengan sorakan. Shani bangkit, berjalan kembali ke tempat duduknya tanpa menoleh.

Veranda berdiri. Ia menghela napas pelan, lalu menatap seluruh siswa.

"Sekarang kalian tahu... bahwa suara bukan hanya tentang bagaimana orang lain mendengarnya, tapi tentang bagaimana kalian bersedia menelanjangi jiwa sendiri di depan orang lain," katanya.

Lalu, sambil melirik piano tua di belakangnya, ia menambahkan, "Kadang kita takut menunjukkan bagian diri yang sudah retak. Tapi bukankah cahaya justru bisa masuk melalui celah itu?"

Freya menggenggam kedua tangannya erat. Dadanya bergetar. Sebentar lagi namanya akan dipanggil. Mata Shani tidak menoleh, tapi Freya tahu, seseorang di depannya sedang menunggu.

Veranda kembali duduk di pinggir panggung. "Beranilah menyanyikan luka kalian... karena barangkali, di antara nada-nada itu, kalian akan menemukan diri sendiri yang selama ini kalian cari."

Veranda membuka kembali buku absen. Ia tersenyum tipis, karena nama terakhir adalah nama favoritnya. "Untuk yang terakhir, sekaligus sebagai penutup, Freyanashifa Arunika, sang peri musik.."

...***...

..."Karena pada akhirnya, musik bukan tentang seberapa indah kita terdengar... tapi tentang seberapa jujur kita menjadi manusia."...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!