Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Kei dan keluarga.
...New Chapter "Darkness After The Start"....
^^^Start... ^^^
......................
2 Agustus 2025.
Kediaman keluarga Hikari.... Tokyo.
Di tengah gemerlap kota Tokyo yang tak pernah redup, di balik dinding-dinding kokoh kediaman keluarga Hikari, kamar Kei menjadi saksi bisu sebuah malam yang sarat akan emosi yang bergejolak. Cahaya lampu kota yang berwarna-warni menari-nari di dinding, menciptakan bayangan yang seolah ikut merasakan keheningan yang memenuhi ruangan. Kei, Havik, dan Andras duduk dalam formasi yang menggambarkan kedekatan sekaligus jurang pemisah yang tak terhindarkan.
Andras, dengan rambut ungu tua yang panjangnya mencapai pinggang, menghela napas berat. Rambutnya yang bergelombang tampak kusut dan berantakan, mencerminkan pikirannya yang kalut dan dipenuhi oleh kenangan yang menyakitkan. "Hah... mereka semua sudah pulang..." gumamnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, seolah ia berbicara pada dirinya sendiri. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, matanya menerawang jauh, menembus batas ruang dan waktu.
Kei, yang duduk di lantai dengan punggung bersandar pada tepi ranjang, menimpali dengan nada lembut namun menusuk, seperti pisau yang menghunus jantung. "Benar... Kak Andras, dan kau juga lupa minta maaf sama Hanna..." Ada nada menggoda dalam suaranya, namun tersirat pula kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu, Andras sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya di balik sikap acuh tak acuhnya.
Andras tersentak kaget, matanya membulat sempurna, seolah baru tersadar dari mimpi buruk yang panjang. "Oh iya..." ucapnya lirih, seperti baru tersadar dari lamunan panjang yang menyakitkan. "Lupa!" Ia menepuk dahinya pelan, ekspresi bersalah terpancar jelas di wajahnya. "Astaga, bagaimana bisa aku lupa?" gumamnya lagi, kali ini lebih keras, suaranya dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam.
Havik, adik Kei yang berambut hitam panjang diikat ekor kuda, menunduk dalam-dalam. Aura maskulin yang biasanya terpancar kuat dari dirinya meredup, digantikan oleh kesedihan yang mendalam dan rasa kehilangan yang tak terobati. "Bang Kei... Kak Andras..." suaranya bergetar, nyaris tak terdengar, seolah ia takut untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang bergejolak. "Aku juga merindukan kehadiran Kak Reina..."
Havik mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya menerawang jauh, seolah melihat sosok Reina di antara bayangan di dinding. "Bukan apa-apa sih..." lanjutnya, suaranya sedikit lebih keras, namun tetap bergetar, seperti daun yang tertiup angin. "Hanya saja... aku jadi ingat waktu aku dapat remedial ujian akhir sekolah..." Bibirnya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca, air mata siap untuk tumpah.
"Dia selalu mengajariku sampai nilai ku di atas delapan puluh..." Havik melanjutkan, suaranya semakin lirih, seperti bisikan angin malam. "Awalnya aku sedih karena tidak mendapatkan nilai sepuluh... tapi, Kak Reina selalu mendukungku... Dia selalu bilang, 'Tidak apa-apa, Havik. Yang penting kamu sudah berusaha.' Itu membuatku nyaman..." Air mata mulai menetes membasahi pipinya, meninggalkan jejak yang berkilauan di bawah cahaya lampu kota.
Kei dan Andras saling bertukar pandang, mengerti bahwa kepergian Reina meninggalkan luka yang dalam bagi adik mereka. Luka itu masih terasa perih, meski sudah satu tahun berlalu. Andras mengulurkan tangannya, mengusap rambut Havik dengan sayang. "Iya... kau benar, Havik... Aku juga sangat merindukannya..." Ucapnya dengan nada lembut, mencoba menenangkan Havik yang sedang berduka.
Kei bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang, namun pikirannya melayang jauh ke masa lalu, ke saat-saat indah yang pernah ia lalui bersama Reina. "Kala itu... ada yang pernah aku sebut rumah persinggahan..." Ucapnya dengan suara serak, pandangannya kosong, seolah jiwanya telah pergi meninggalkan raganya. "Dia selalu mengajakku melihat rasi bintang, bahkan dia juga membelikanku kembang api berwarna oranye, merah, biru, kuning..." Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun matanya menyimpan kesedihan yang tak terhingga, seperti lautan yang tak bertepi.
"Namun aku tidak menyangka..." lanjutnya, suaranya bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah. "Kisah cinta ku ini, berakhir di tanggal ini... Sudah satu tahun semenjak Reina tiada... Aku masih belum bisa melupakannya..." Kei memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh, namun percuma. Air mata itu tetap mengalir, membasahi pipinya, seperti hujan yang membasahi bumi.
Andras berdiri dan berjalan mendekati Kei. Ia memeluk Kei dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu Kei. "Adikku sayang, kamu harus kuat ya..." bisiknya lembut, suaranya penuh kasih sayang dan kepedulian. "Kami semua ada untukmu..." Ia mengeratkan pelukannya, mencoba menyalurkan kekuatan kepada Kei yang sedang rapuh.
Kei membuka matanya dan menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Air mata terus mengalir membasahi pipinya, namun ia tidak berusaha menghapusnya. Ia membiarkan air mata itu mengalir, membasuh luka di hatinya. Ia menggenggam erat tangan Andras yang melingkar di perutnya, merasakan kehangatan dan dukungan dari kedua orang yang menyayanginya.
Di tengah kesedihan yang mendalam, secercah harapan muncul, seperti bintang yang bersinar di tengah kegelapan malam. Kei tahu, ia tidak sendiri. Ia memiliki keluarga dan teman-teman yang akan selalu ada untuknya, membantunya melewati masa-masa sulit dan mengenang Reina dengan cinta dan kebahagiaan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih..." bisiknya lirih, air mata masih mengalir di pipinya, namun kali ini, air mata itu adalah air mata kelegaan dan harapan.
Malam itu, di kamar yang remang-remang, tiga hati yang terluka mencoba menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Kenangan tentang Reina akan selalu hidup dalam hati mereka, menjadi sumber kekuatan dan inspirasi untuk terus melangkah maju, menapaki jalan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan rintangan.
Di tengah keheningan malam yang mencekam, kesedihan masih menggantung di udara kamar Kei, terasa begitu pekat dan menyesakkan. Havik, yang sejak tadi hanya mampu menjadi penonton bisu atas duka yang melanda abang dan kakaknya, dikejutkan oleh dering ponsel yang memecah kesunyian. Sebuah nama asing tertera di layar, namun Havik mengenalinya sebagai Hayasaka, seorang teman lama yang kini menetap di Osaka. Dengan enggan, Havik menggeser ikon hijau, menempelkan benda pipih itu ke telinganya seolah sedang menerima hukuman.
"Selamat malam..." sapa Havik dengan suara datar, berusaha keras menyembunyikan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. "Ada apa meneleponku malam-malam begini?" Nada bicaranya dingin dan tidak bersahabat, setajam pisau yang siap mengiris siapa saja yang mendekat.
Dari seberang sana, suara seorang gadis terdengar cemas dan panik, seolah sedang berusaha melarikan diri dari kejaran sesuatu yang mengerikan. "Havik... saat aku baru saja tiba di Osaka, terjadi kebakaran di sebuah gudang terpencil..." Suaranya bergetar hebat, setiap kata yang terucap seolah membawa beban ketakutan yang tak terhingga, seperti bisikan hantu yang menghantui mimpi buruk. "Dan... dan..."
Havik mengerutkan keningnya, merasa tidak sabar dengan kalimat Hayasaka yang berbelit-belit dan penuh dengan jeda yang menyiksa. Ia tidak punya waktu untuk tebak-tebakan atau mendengarkan cerita yang tidak jelas. "Hayasaka... tolong berikan aku informasi tanpa bertele-tele..." pintanya dengan nada tegas, namun tersirat pula sedikit kekhawatiran yang berusaha ia sembunyikan. "Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosong."
Hayasaka menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya yang gemetar hebat. "Saat... saat aku dan papa melihat ke dalam setelah api berhasil dipadamkan..." Suaranya masih bergetar, namun kali ini terdengar sedikit lebih jelas, seolah ia telah berhasil mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi kenyataan yang mengerikan. "Aku tak sengaja menginjak sebuah kartu identitas... dan... dan... dan..." Ia berhenti sejenak, seolah tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya.
"Dan apa, Hayasaka? Cepat katakan!" desak Havik dengan nada tidak sabar, namun kali ini terdengar lebih cemas dan khawatir. Ia merasakan firasat buruk yang semakin kuat menghantuinya, seperti bayangan gelap yang mengikuti setiap langkahnya.
"Aku melihat mayat di sana..." bisik Hayasaka dengan suara lirih, nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang berhembus di tengah malam. "Udah hangus... tapi yang m... m... mengejutkan, jantung korban dicuri..."
Havik tersentak kaget, tubuhnya menegang seketika, seperti patung yang membeku di tengah badai salju yang dahsyat. "Hayasaka..." ucapnya dengan suara bergetar, nyaris tidak bisa dikenali, seperti suara orang yang sedang merintih kesakitan. "Siapa nama korbannya... sesuai yang tertera di kartu identitas itu?" Jantungnya berdegup kencang, darahnya berdesir hebat, firasat buruknya kini menjadi kenyataan yang mengerikan, seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Hayasaka terdiam sejenak, seolah ragu untuk mengungkapkan nama itu, seolah ia takut akan reaksi Havik, seolah ia sedang memegang bom waktu yang siap meledak kapan saja. "Di... sini tertulis nama orang yang sangat kamu benci terkait kematian calon kakak iparmu, Havik..." bisiknya dengan suara ragu, seperti sedang membisikkan sebuah kutukan yang akan menghantui Havik selamanya. "Namanya Hasane Danton..." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada pelan, seolah ia sedang meminta maaf atas berita buruk yang harus ia sampaikan. "Aku akan mengirimkan semua fotonya ke kamu..."
Havik terdiam membisu, pikirannya berkecamuk seperti badai yang dahsyat, menghancurkan segala logika dan akal sehatnya. Nama orang yang selama ini ia benci, orang yang ia yakini bertanggung jawab atas kematian Reina, kini telah tiada dengan cara yang mengerikan, jantungnya dicuri seperti barang berharga. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sebuah kejanggalan yang membuatnya tidak bisa bernapas, seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Ia tidak tahu bahwa kematian Danton disebabkan oleh Reina yang masih hidup, sebuah rahasia kelam yang akan mengubah hidupnya selamanya, sebuah rahasia yang akan membawanya ke dalam jurang kegelapan.
Ponsel di tangannya terasa berat, seperti beban dosa yang tak tertanggungkan, seperti rantai yang mengikatnya ke masa lalu yang kelam. Havik menutup matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan dirinya yang gemetar hebat, mencoba mengendalikan emosi yang siap meledak kapan saja. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia telah memasuki sebuah labirin yang penuh dengan misteri dan bahaya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari sana, ia tidak tahu apa yang menantinya di ujung jalan.
Kei dan Andras, yang tanpa sengaja mencuri dengar percakapan Havik melalui sambungan telepon yang tak sengaja terputus, terkejut bukan kepalang. Mata mereka membelalak, saling bertukar pandang dengan ekspresi tak percaya yang terpancar jelas di wajah mereka. Detik berikutnya, ponsel Andras berdering nyaring, menampilkan nama Ryu, sahabat karib mereka yang kekanak-kanakan namun selalu setia dan dapat diandalkan. Sebuah pesan singkat muncul di layar, berisi berita tentang kematian seorang pebisnis narkoba kelas kakap sekaligus buronan internasional yang ditemukan tewas mengenaskan, dibunuh dengan cara yang sangat keji.
Andras dan Kei menelan ludah dengan susah payah, perasaan lega seketika menyusup ke dalam hati mereka berdua, bagaikan seteguk air dingin di tengah dahaga yang tak tertahankan. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sesaat, karena dengan cepat digantikan oleh kebingungan yang mendalam dan pertanyaan besar yang menggantung di benak mereka: Siapa sebenarnya yang berhasil membunuh Danton? Siapa yang berani melakukan tindakan senekat dan seberani itu?
Beberapa menit kemudian, suasana di ruang makan terasa begitu tegang dan mencekam, dipenuhi dengan aura misteri dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Kei, Andras, Havik, Ratih, dan Haruto duduk di kursi masing-masing mengelilingi meja makan yang penuh dengan hidangan lezat, namun tak seorang pun yang bernafsu untuk menyentuhnya. Pikiran mereka terlalu sibuk dengan teka-teki kematian Danton yang masih menjadi misteri.
Haruto, dengan wajah merah padam menahan amarah dan mata yang berkilat-kilat penuh dendam, memecah keheningan dengan nada geram yang menggelegar. "Kematian si keparat itu... terlalu mendadak dan mencurigakan..." Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat di atas meja, berusaha menahan amarah yang membara di dalam dirinya, seperti gunung berapi yang siap meletus kapan saja. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?"
Tanpa diduga, Haruto tiba-tiba menggebrak meja makan dengan keras, membuat semua orang yang hadir di sana tersentak kaget dan menatapnya dengan tatapan terkejut. "Padahal... padahal aku sendiri yang ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri karena dia telah membuat Reina menderita dan akhirnya meninggal dunia!" Suaranya bergetar hebat, dipenuhi dengan amarah yang membara dan dendam yang tak terpadamkan, seperti api yang membakar hutan belantara.
Ratih, dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, segera mengusap-usap punggung Haruto, berusaha menenangkannya dan meredakan amarahnya yang meluap-luap. "Suamiku sayang... tenanglah, jangan biarkan amarah menguasai dirimu..." bisiknya lembut di telinga Haruto, berharap suaminya itu bisa sedikit tenang dan mengendalikan emosinya.
Andras, dengan suara datar namun berwibawa yang selalu mampu menenangkan suasana, mencoba mengalihkan perhatian semua orang dari kemarahan Haruto yang semakin menjadi-jadi. "Sesuai dengan informasi terbaru yang berhasil aku dapatkan dari Rusia, abang sepupu Reina, yaitu Reiz, telah mengirimkan tim bawahan terlatihnya ke Jepang..." Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu melanjutkan penjelasannya dengan nada serius. "Kemungkinan besar salah satu anggota agen rahasia yang paling menonjol di sana yang berhasil membunuh Danton..."
Dengan gerakan cepat, Andras mengeluarkan ponselnya dan menampilkan sebuah foto di layar. Foto itu memperlihatkan seorang wanita misterius yang mengenakan topeng hitam berbentuk kucing yang elegan. Auranya memancarkan kekuatan dan keanggunan, namun di balik topeng itu, tersembunyi identitas yang masih menjadi teka-teki. Andras tidak menyadari bahwa wanita yang ada di foto itu adalah Reina sendiri, yang menyamar sebagai agen rahasia bernama Tinasya.
"Namanya agen T, atau yang lebih dikenal dengan nama lengkap Tinasya..." jelas Andras dengan nada kagum dan sedikit misterius. "Aku benar-benar heran... dia sama sekali tidak mau membuka topengnya di depan siapa pun, bahkan dari gerakan berjalannya saja sudah terlihat jelas bahwa dia adalah seorang assassin yang sangat terlatih dan berbahaya..."
Kei, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba angkat bicara dengan nada berpikir. "Namun, entah mengapa auranya terasa sangat familiar bagiku..." Ia mengerutkan keningnya, mencoba mengingat sesuatu yang penting. "Dari cara dia berjalan saja... mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku kenal... tapi aku lupa siapa..."
Havik, yang tampaknya mengerti maksud Kei, meminum jus jeruknya dengan tenang, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. "Sepertinya... yang telah membunuh Danton adalah Tinasya..." Ia meletakkan gelasnya di meja dengan hati-hati, lalu melanjutkan dengan nada serius dan penuh perhitungan. "Namun, aku rasa... ini bukanlah akhir dari segalanya... justru ini adalah awal dari masalah yang lebih besar..."
Kei dan Andras mengangguk setuju, seolah mereka telah membaca pikiran Havik. "Kau benar... ini bukanlah akhir, melainkan Akhir Dari Sebuah Permulaan..." ucap mereka serentak, mata mereka memancarkan tekad yang kuat dan semangat yang membara. "Masih ada tantangan lain yang lebih berat yang akan datang menghampiri kita..."
Haruto dan Ratih, yang menyaksikan interaksi anak-anak mereka dengan tatapan kagum dan sedikit khawatir, hanya bisa terdiam dan saling bertukar pandang. Mereka tahu, anak-anak mereka masih belum sepenuhnya merelakan kepergian Reina, dan mereka khawatir akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka hanya bisa berharap agar anak-anak mereka selalu diberikan kekuatan dan perlindungan dalam menghadapi segala rintangan yang ada di depan mata.
Namun, di atas atap rumah, setelah berhasil menyelesaikan misinya membunuh Danton dan kembali ke markas rahasianya, Reina bersiap untuk melakukan perjalanan berbahaya ke Rusia. Ia harus mengganti jantung robotnya yang sudah mulai melemah dengan jantung Danton yang akan di-sterilkan, sebuah tindakan yang sangat berisiko namun harus ia lakukan demi kelangsungan hidupnya. Sebelum menjalani operasi yang kedua kalinya, Reina ingin melihat keluarganya, Kei, Andras, Havik, Ratih, dan Haruto, untuk terakhir kalinya, meskipun hanya dari kejauhan.
Reina bergumam lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, "Kei, Andras... semuanya... aku mohon maaf karena harus pergi lagi..." Suaranya bergetar, dipenuhi dengan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. "Aku berjanji... suatu saat nanti aku akan mengungkapkan identitasku yang sebenarnya sebagai Tinasya... aku akan kembali kepada kalian..."
Dengan tekad yang membara di dalam hatinya, Reina melompat dari atas atap rumah Kei dan berlari secepat kilat menuju markas rahasianya. Ia harus segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan berbahaya ke Moskow, Rusia.