Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
¹⁰ Pujaan Hati
Aku membuka pintu kamar, berjalan ke arah depan. Berharap kunci pada pintu ruang tamu masih menggantung pada daun pintunya, agar aku bisa keluar tanpa mengganggu orang lain.
Jantungku rasanya hampir keluar dari tempatnya, ketika sampai di ruang makan dan mendapati wanita yang semalam jalan-jalan ke mimpiku berada di sana. Dia sedang membereskan meja makan yang semalam di gunakan untuk pesta miras.
Sepertinya Mbak Rifani menyadari keberadaan ku di belakangnya, dia menoleh dan melempar senyum padaku. Aku membalasnya dengan canggung.
Sekelebat mimpi liarku semalam kembali menghampiri ingatan. Malu sekali rasanya. Seandainya bisa, aku ingin memakai jurus shunshin no jutsu saja, agar Mbak Rifani gak bisa melihatku.
"Sudah bangun, Rif?" tanyanya berbasa-basi.
"Ah, i-iya Mbak. Aku mau pulang."
"Ya sudah, biar saya bukakan pintu ruang tamunya."
Aku pun mengekori perempuan cantik itu, hingga hidungku bisa menangkap aroma wangi dari tubuhnya. Setelah ku perhatikan, ternyata rambut Mbak Rifani basah, mungkinkah dia juga baru mandi?
Untungnya, di kamar Angga tadi ada hair dryer, jadi aku bisa mengeringkan rambutku dulu, agar gak menimbulkan pikiran macam-macam bagi yang melihatnya.
Di desa tu emang aneh, apa-apa di jadikan topik utama. Lihat tetangga keramas pagi-pagi, pasti di pikiran mereka, semalam baru melakukan apa gitu. Huffh.
Termasuk aku juga sih, melihat Rambut Mbak Rifani basah, aku jadi berpikir jika semalam telah terjadi pertempuran hebat antara Mbak Rifani dan Mas Nata. Ah, gimana rasanya ya? Pasti enak. Lha wong semalam yang cuma sekadar mimpi saja seenak itu, apalagi kalo beneran.
Haish, mikirin apa sih aku ini? Sepertinya otakku perlu di bawa ke loundry, agar bersih dari kotoran.
"Mbak Rifani tadi keramas ya?"
Tanpa sengaja, mulutku menanyakan hal yang tak seharusnya.
"Ah, iya Rif. Kelihatan ya? Hihi."
Mbak Rifani kembali menoleh ke arahku.
"Keramas sebelum subuh itu efeknya luar biasa. Menyegarkan badan, menajamkan pikiran, Rif," sambungnya lagi dengan semburat senyum yang berusaha dia sembunyikan.
Sepertinya perempuan itu sangat bahagia ketika mengingat sesuatu.
"Ah, masa, sih, Mbak?"
"Beneran. Coba aja. Hehe."
Bibir itu tak henti-hentinya tertarik ke samping, hingga membuat wajah cantik itu semakin bersinar dan teduh untuk di pandang. Astagfirullah. Ingat Rif, dia adalah istri tetanggamu. Aku mengingatkan diriku sendiri.
"Mas Nata, belum bangun, Mbak?" tanyaku basa-basi. Berusaha mengalihkan pembicaraan, agar gak lagi bahas bab mandi.
"Belum tuh, sepertinya suami ku masih kecapekan."
Tuh 'kan, jawaban Mbak Rifani mancing-mancing lagi. Kecapekan apa, weh?
"Teman-teman suamiku juga belum bangun. Mungkin karena hari minggu, jadi mereka ingin bermalas-malasan," lanjut Mbak Rifani.
"Enak ya, kerja di kantoran. Hari minggu dan tanggal merah lainnya bisa libur. Gaji tetep utuh," celetukku.
"Arif nanti juga bisa seperti itu, asal mau terus berusaha. Ku doakan tahun depan, Arif bisa masuk kuliah. Semangat ya."
"Siap, Mbak. Makasih semangat paginya. Aku pamit pulang dulu," ujarku setelah keluar dari pintu rumahnya.
Aku berlari kecil dari rumah Mbak Rifani ke rumah Emak. Aku harus segera pergi dari tempat itu, jika enggak ... akh.
Baru juga sampai rumah, Emak sudah menyambut ku dengan omelan.
"Dari mana saja semalam? Emak menunggu pintu hingga tengah malam, tapi elu malah kagak nongol-nongol. Emang lu pikir, emak kagak kawatir, apa? Hah?"
"Semalam 'kan, Arif udah pamit mau makan malam di rumah Mbak .."
"Pamit lu, pan, cuma makan malam. Ndak sampai bermalam di sana?" Nada Emak semakin tinggi.
Percuma membela diri dan menceritakan urutan ceritanya ke Emak. Wanita yang telah melahirkan ku itu sedang di liputi amarah. Jadi, bagaimana pun aku menjelaskannya, beliau akan tetap dongkol. Maka, jalan satu-satunya untuk melumerkan hati yang dingin itu adalah dengan cara meminta maaf.
"Oh iya... maaf deh, Mak. Arif khilaf. Besok gak akan ku ulangi lagi."
Benar saja, setelah aku meminta maaf dan mencium punggung tangan nya, ekspresi wajah tua itu berubah sedikit teduh, gak setegang tadi.
"Ingat, Rif, Neng Rifani itu istri orang. Jangan terlalu dekat dengan nya, nanti suaminya bisa salah paham," ujar Emak sambil mengusap-usap punggungku.
"Iya, Mak. Ngomong-ngomong, yang ngajak makan malam kemarin tu, Mas Nata, Mak. Bukan, Mbak Rifani," jelas ku, dari pada malah Emak sendiri yang salah paham dan berpikir macam-macam tentangku.
Sekagum-kagumnya, sesuka-sukanya, sesayang-sayangnya aku pada Mbak Rifani, tapi aku gak sebejat itu, hingga mau merebut dia dari suaminya.
Setelah mendapat kuliah ba'da subuh dari Emak, aku masuk kamar. Rencananya bersiap-siap menjalankan aktivitas harian, tapi yang ku lakukan malah merebahkan tubuh ke ranjang.
Ku topang kepala dengan kedua tangan yang di silangkan. Menatap genting berjejer tanpa plafon yang menutupinya. Sebanyak genting yang ku lihat, semuanya menampilkan wajah Mbak Rifani.
Aku membuang pandangan ke arah pintu, di sana pun juga ada wajah wanita itu. Mencoba memejamkan mata, lagi-lagi wajah itu melempar senyum padaku. Ahk... bisa gila aku kalo terus-terusan seperti ini.
Semakin berusaha melupakan, wajah itu malah terpampang jelas. Apalagi sejak mimpi absurd tadi malam, hatiku merasa semakin dekat dengan jiwanya. Seolah-olah, kami adalah satu.
Satu minggu sudah, aku berpuasa dari Mbak Rifani. Benar-benar berpuasa dengan menghindari kontak langsung mau pun tak langsung darinya.
Sengaja aku gak membuka story whatsapp perempuan pujaan hati yang sering terlihat berjejer dengan story-story lainnya.
Dari sekian banyak nama yang ada di gawai, namanya lah yang selalu menjadi pusat perhatianku. Jari-jari tangan ini sudah gatal ingin menyentuh bulatan yang menampilkan fotonya.
Namun, sebisa mungkin, aku menahannya. Aku sedang dalam tahap ingin move on, jika aku membuka peluang dirinya hadir dalam kehidupan ku lagi, maka aku akan gagal dalam tahap ini.
Di sela-sela kegalauan, tiba-tiba layar pipih yang sedang ku pegang bergetar dan memperlihatkan foto profil wanita yang sedang ku pikirkan.
"Mbak Rifani? Kenapa dia meneleponku ya?" gumamku lirih.
"Memangnya, apa yang ingin dia katakan?"
Aku malah menjatuhkan benda pipih itu di atas meja, takut kalau tangan ku yang ceroboh ini gak sengaja menekan icon telepon warna hijau.
Benda itu berhenti bergetar untuk beberapa saat. Namun, kemudian bergetar lagi. Lama-lama gak tega juga, jangan-jangan Mbak Rifani memang sedang membutuhkan bantuan. Aku jadi penasaran, apa yang membuatnya meneleponku berkali-kali?
"Halo assalamualaikum."
Akhirnya ku angkat juga itu telepon. Gak sampai hati mengabaikan perempuan yang ku cintai itu begitu saja. Beberapa detik berlalu, tapi belum ada suara dari ujung telepon. Aku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi...