Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Pertama Renggannis Larang
Mayat burung gagak jatuh tepat di depan langkahnya.
Sasmita menghentikan motor trail-nya. Udara di Desa Gunung Jati berbeda—lebih pekat, seolah hawa kematian menempel di setiap dinding rumah dan batang pohon. Kabut tipis menggantung di atas tanah, memantulkan cahaya bulan seperti kain kafan yang belum sempat dilepas dari tubuh mayat.
Ia menurunkan kaki, menatap bangunan-bangunan tua yang seperti memunggunginya. Tak satu pun suara terdengar selain hembusan angin dan derit kayu yang seakan bernafas.
Beberapa warga mengintip dari balik jendela. Mereka tidak menyapa. Tidak ada senyum. Hanya tatapan waspada. Takut. Atau mungkin… tahu bahwa kematian sedang mengendap-endap di antara mereka.
Sasmita membuka helmnya, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Di punggungnya, shotgun tua penuh ukiran mantra bersilang dengan pedang baja pendek yang dipasak akar kelor. Sejak meninggalkan Gunung Gede tadi siang, ia sudah merasakan panggilan energi asing. Tapi baru sekarang ia sadar: ini bukan sekadar gangguan makhluk halus. Ini kutukan berdarah.
Di depan balai desa, ia melihat sekelompok orang berkumpul mengelilingi seorang perempuan. Pakaian perempuan itu robek, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya masih bersimbah darah, seperti baru mencakar-cakar tanah kuburan.
Itu Ningsih.
Sasmita mendekat, menatap perempuan itu dalam diam. Aura spiritual dari tubuh Ningsih seperti luka terbuka yang belum dibalut: mentah, menyala, dan… tua. Tua sekali. Lebih tua dari siluman yang biasa ia buru.
“Siapa dia?” tanya Sasmita pada warga terdekat, pelan tapi tajam.
“Dia… istri Pak Rokif,” jawab lelaki tua dengan suara tercekat. “Katanya, suaminya… ditarik makhluk dari balik dinding. Dan… dan ada tulisan di kamar mereka.”
Sasmita mendekat ke Ningsih. Ia berjongkok, menatap mata perempuan itu yang kini kosong seperti cermin retak.
“Apa yang kamu lihat?” bisiknya.
Ningsih menggigit bibir. Lalu dengan suara serak, ia menjawab, “Ibu… sudah bangkit…”
Sasmita tak berkedip. Itu bukan kalimat biasa. Itu bukan teriakan orang kesurupan. Itu… pengakuan. Sasmita telah mendengar nama itu—dalam gulungan lontar tua yang disimpan rahasia di Garut. Dalam darah yang jatuh dari langit saat ia bertapa seminggu di Gunung Padang. Nama itu muncul… sebagai bayangan besar yang hendak menghisap dunia ke alam bawah.
Nyai Rante Mayit.
“Bawa aku ke rumahmu,” ucap Sasmita cepat. “Sekarang.”
Beberapa warga menolak, tapi Ningsih berdiri sendiri. Gemetar, lemah, tapi matanya kini menyala seperti bara yang dipaksa menyala ulang. “Aku harus pastikan dia… tidak mengambil lebih dari itu.”
Perjalanan ke rumah mereka tidak jauh, tapi hawa di sepanjang jalan seperti berubah suhu. Pohon kelapa bergoyang sendiri. Anjing menyalak lalu mendadak diam, seolah tenggorokannya dicekik. Pintu rumah terbuka sedikit, seperti undangan yang tak pernah disampaikan.
Begitu mereka masuk, aroma amis darah menyambut. Ruangan itu dingin. Terlalu dingin.
Sasmita membuka shotgun-nya, mengisi peluru-peluru berisi mantra paku bumi dan garam hitam. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap dinding yang kemarin dipenuhi tulisan darah.
Tulisan itu kini bertambah.
IBU SUDAH BANGKIT.
KANDUNGAN AKAN DIISI ULANG.
Sasmita menahan napas. Ini bukan sekadar kutukan turun-temurun. Ini reinkarnasi paksa. Ritual kelahiran kembali. Tapi bukan untuk manusia biasa—melainkan entitas iblis yang menjadikan rahim sebagai pintu.
“Dia ingin hidup kembali…” gumam Ningsih.
“Tidak. Dia ingin menjadikan kamu wadahnya,” jawab Sasmita pelan.
Tiba-tiba, terdengar suara denting paku jatuh dari langit-langit. Di atas mereka—lubang angin berbentuk siluet tubuh tergantung perlahan muncul di langit-langit rumah. Bayangan wanita berambut panjang dengan mata hitam pekat terlihat sekilas sebelum menghilang seperti asap.
Sasmita langsung menarik Ningsih ke belakang. “Kau ikut denganku malam ini. Kita akan ke tempat yang lebih aman.”
“Ke mana?” tanya Ningsih lirih.
“Ke tanah yang tak mengenal ibumu.”
Dengan cepat, Sasmita mengikat kantong garam dan dupa pembakar di sudut-sudut rumah. Sebelum pergi, ia menuliskan aksara kuno Sunda di pintu rumah itu: pengikat roh sementara.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu: Nyai Rante Mayit bukan roh biasa.
Dan tubuh Ningsih… hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
“Jangan keluar malam ini.”
Suara berat itu datang dari pojok gelap ruang depan. Sasmita refleks membidik dengan shotgun-nya, tapi segera menurunkannya begitu melihat sosok renta dengan tongkat bambu berdiri di ambang pintu, mengenakan surban lusuh dan baju koko cokelat yang sudah dimakan usia.
Uwa Dargo.
Orang tua itu berjalan tertatih, tapi matanya tajam seperti mata elang yang menyimpan petaka masa lalu. Wajahnya dipenuhi keriput, tapi ada wibawa spiritual yang tak bisa diabaikan. Bahkan Sasmita bisa merasakannya: hawa sejuk dan getir sekaligus, seperti abu kemenyan yang menyentuh kulit luka.
“Kalian mau lari dari rumah ini?” tanya Uwa Dargo sambil duduk di kursi kayu reot.
“Kami mau cari tempat aman. Perempuan ini…” Sasmita melirik Ningsih. “Dia bukan hanya korban. Dia kunci. Dan rumah ini tak akan bertahan jika Ibu—”
“Aku tahu siapa yang kau maksud,” potong Uwa Dargo datar. “Nyai Rante Mayit. Dulu, waktu aku masih muda, aku pernah melihat mayat bayi yang dihitamkan oleh api ritual. Dibakar hidup-hidup di kebun belakang sana. Itu bukan cerita kampung. Itu warisan kutuk yang tak pernah benar-benar mati.”
Sasmita menggertakkan gigi. “Justru itu. Aku harus membawa Ningsih keluar dari desa ini sebelum makhluk itu mengambil alih.”
Uwa Dargo menghela napas. Ia mengeluarkan kaleng kecil dari tasnya—isi daun-daunan kering dan batu akik. Ia lemparkan satu ke lantai. Batu itu memantul dan berhenti, lalu mulai bergetar pelan. Tanah di bawah mereka ikut berdesir.
“Kau lupa satu hal, Nak,” bisiknya pelan. “Ibu itu… tidak sendiri.”
Ningsih menelan ludah. “Maksudnya?”
Uwa Dargo menatap mereka satu per satu. “Para Pawang Tanah Merah. Mereka yang dulu bersumpah menjaga jalan bagi Nyai Rante Mayit kembali. Penjaga tanah kuburannya. Bukan manusia biasa. Mereka bisa mengendap di tanah seperti cacing, menyusup lewat akar, menyerang tanpa suara. Mereka menandai garis keturunan… dan kau, Ningsih—kau adalah darah yang mereka tunggu bangkit sejak dua generasi lalu.”
Sasmita menggenggam gagang senjatanya lebih erat. “Kalau mereka datang, aku akan—”
“Kau bisa membunuh siluman biasa. Tapi mereka bukan siluman,” potong Uwa Dargo lagi. “Mereka… manusia yang menyerahkan kemanusiaannya demi jadi bagian dari tanah. Daging mereka keras seperti batu. Matanya buta, tapi bisa melihat panas darah. Mereka akan tahu ke mana kalian pergi. Bahkan kalau kau sembunyi di puncak gunung pun.”
Keheningan mengendap. Angin malam menyusup lewat celah jendela. Ningsih memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar.
“Apa… kita nggak bisa ngelawan mereka, Uwa?” tanyanya nyaris berbisik.
Uwa Dargo berdiri perlahan. “Bisa. Tapi bukan malam ini. Bukan saat tanah ini sedang dibuka gerbangnya. Malam ini, tanah merah sedang lapar. Kalau kalian ingin keluar, tunggu fajar. Dan sebelum itu…”
Ia mengambil sejumput bubuk dari kantong kain kecil, lalu meniupkannya ke api lampu minyak di ruang tamu. Api itu berwarna hijau sekejap, lalu kembali normal.
“…aku akan membuat pengalih. Tapi hanya tahan satu jam. Setelah itu, mereka akan mencium jejak darahmu lagi.”
Sasmita mengangguk. “Satu jam cukup. Aku tahu tempat yang bisa menahan kutukan tanah.”
Ia menatap Ningsih, lalu berkata pelan, “Kita harus pergi saat cahaya pertama menyentuh jalan tanah. Bukan sebelum itu.”
Uwa Dargo berjalan pelan ke ambang pintu. “Kalau kalian selamat… kalian harus selesaikan ini sampai ke akar. Karena kalau Nyai Rante Mayit berhasil lahir kembali, bukan cuma desa ini yang jadi ladang kuburan. Tapi seluruh negeri.”
Angin kembali bertiup. Aroma tanah basah dan darah tua mulai terasa.
Dan jauh di bawah permukaan bumi, sesuatu mulai merangkak naik.