--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 10
“Bagaimana bisa kita gagal mendapatkan tender sebesar itu?!” Balthazar De Jongh murka pada para pekerjanya di ruang pertemuan.
“Seorang pengusaha lain lebih dulu merebut kepercayaan Duke Hudson. Konsep yang mereka tawarkan memikat hati bangsawan selatan itu. Dan ..." Sekretaris pria itu nampak sedikit ragu mengutarakan kelanjutannya.
“Dan apa?!" Balthazar tak sabar, tatapan lebar menajam seolah akan melahap sekretarisnya sendiri.
Mau tidak mau, pria sekretaris itu menjelaskan, “Saya juga mengakui kehebatan ide dari konsep yang perusahaan itu tawarkan. Dibandingkan dengan dokumen sketsa yang kita bawa, milik mereka jauh lebih unggul dan terkesan lebih berkelas.”
“Bodoh! Seharusnya kalian membuat lebih baik dibanding siapa pun!” hardik Balthazar, semakin marah. Anak-anak buahnya langsung merunduk.
“Aku ingin tahu siapa manusia di balik penikung itu.” Tatapan Balthazar kelam, menusuk dokumen yang berserak di atas meja.
“Anda pasti akan semakin murka jika mengetahuinya, Tuan Duke.” Kali ini manager yang seorang wanita berani angkat bicara.
Mata Balthazar keruh menyorotnya, kening berkerut menyimbolkan rasa penasaran yang sangat kental. “Siapa yang kau maksudkan? ... Apakah Cretian?!”
Cretian adalah rival kesumat Balthazar dalam setiap debutnya terkait bisnis.
Tapi gelengan mereka membuat Balthazar cukup tersentak. “Lalu siapa?!” tanyanya mulai kesal.
Kini nampak kebingungan di iras para bawahannya yang di sana berjumlah tiga.
“Jawab!” teriak Balthazar.
“Wi-Willow, Tuan Duke."
DEG!
“Willow?!” Balthazar mengulang gamang, sedikit tercubit mendengar nama itu. Seperti ada perasaan dejavu dan ketidakasingan dalam dirinya. Willow adalah jenis pohon yang disukai mantan istrinya---Xera Blood. Tapi mana bisa disangkutpautkan hal itu dengan bisnisnya, segera hatinya menepis.
“Maksudmu nama penikung itu Willow?!” tanyanya lagi .
“Bukan, Tuan Duke. Willow adalah nama perusahaan mereka.”
“Nama perusahaan? Kenapa aku baru mendengarnya?”
“Perusahaan itu memang baru beroprasi belum lama, tapi kinerja mereka cukup baik dan langsung mendapat banyak apresiasi, termasuk pembangunan menara suci di gereja Eden.”
Balthazar tercenung dan memikirkan.
“Menara suci ... jadi mereka juga yang mengambil pembangunan Menara Suci?”
“Benar, Tuan Duke. Dan yang paling mengejutkan bukan itu, seperti yang tadi saya katakan, orang itu pasti akan membuat Anda semakin murka.”
“Katakan!”
Sesaat wanita manager ini menghela napas, lalu .... “Pemimpin perusahaan itu ... adalah putra Anda sendiri---Duke Muda Xavier De Jongh.”
JREEENG!
Ternyata sungguh ada hubungannya dengan si mantan istri!
•
•
Hari ketiga di mansion.
Daphne menghadap ragu ke ruangan di mana Xavier sedang sibuk bekerja bersama Luhde.
“Ada apa?” tanya Xavier.
“Ma-maaf mengganggu pekerjaan Anda, Tuan. Sa-saya ... u-um ... Tuan Putri ....”
“Kenapa dengan Asha?!”
“Tuan Putri ... menolak saya mandikan, beliau malah berlarian di taman, sedang dikejar para pelayan.”
Well yeah ....
Karena wanita gangguan mental itu istrinya, Xavier terpaksa bangkit dan sementara meninggalkan pekerjaannya. Dia keluar menuju taman di mana Ashiana berlarian seperti bocah.
“Ckk! Aku sungguh harus memenggal kepala dewa yang membuatnya seperti ini.”
Terlihat Ashiana tengah duduk di belakang patung pria berkuda, berlonjak-lonjak sambil tertawa-tawa, sedang para pelayan repot menyerunya untuk cepat turun.
Masalahnya patung itu lumayan tinggi.
Para pelayan lalu menyisi, memberi jalan untuk Xavier.
Dan ....
GREBB!
Ashiana terlonjak dan melebarkan mata.
Sekarang dia sudah pindah ke pangkuan Xavier. Lagi-lagi dia bungkam begitu saja, hilang semua tawanya yang gila itu.
Dengan ringan Xavier membawa masuk, menuju kamar.
“Biar aku saja yang memandikannya!” katanya pada Daphne Glover dan satu pelayan lain yang mengikuti.
Keduanya berhenti dan diam di ambang pintu. Mengangguk dengan kepala merunduk, “Baik, Tuan.”
Pintu ditutup Xavier dari dalam dengan dorongan kaki.
Ashiana langsung dibawa ke kamar mandi, diturunkan untuk berdiri sendiri.
Tanpa banyak bicara, resleting gaun tidur Ashiana diturunkannya. Wanita itu bergeliat-geliut seperti belut. “Diam atau kumakan kau sekarang juga!”
Saat ancaman itu terlontar, Ashiana membeku, wajahnya seperti bocah yang dilarang memakan permen, atau dia takut sungguh dimakan oleh Xavier.
Perlahan, Xavier menurunkan gaun tidur putih itu mulai dari kedua pundak Ashiana, memerosotkan terus ke bawah, hingga dengan sendirinya tercampak ke dasar lantai.
Tampaklah pemandangan punggung Ashiana yang polos tanpa balutan apa pun, selain pakaian dalam yang tipis-tipis.
Xavier melebarkan mata dan menelan ludah. Perasaannya bercampur aduk. Terutama karena sesuatu.
Bagian kanan telapak tangannya mulai naik dengan gerakan kaku. Dia ingin menyentuh satu bagian. Dan benar-benar menyapunya dengan usapan jari telunjuk.
“Siapa yang melakukan ini padamu, Asha?” tanyanya dengan suara berat dan menekan, ada kegeraman di antaranya.
Kulit punggung putih yang seharusnya bersih dan mulus layaknya seorang putri itu ... malah dipenuhi luka memanjang. Seperti luka cambuk atau ....
Entahlah!
Xavier bahkan tak ingin membayangkannya.
“Tidak bisakah kau menjawabku, Putri Ashiana?!” tanyanya, setengah membentak.
Tentu saja tidak!
“Bagaimana aku akan dapat jawaban jika kau terus diam begini?! Bagaimana aku akan mengembalikan hidupmu jika kau tidak mau bicara walau sepatah kata?!”
Ashiana memeluk tubuhnya sendiri. Terlihat sekarang mulai gemetar. Suara Xavier lumayan tinggi, membuatnya takut.
Merasakan itu, Xavier menarik dan menghela napasnya dengan sangat kasar. “Sepertinya sekarang aku yang gila.” Ditutup pijatan kening. “Maaf. Aku tidak bermaksud menakutimu," katanya setelah berhasil menenangkan diri. “Ayo, biar kumandikan dirimu.”
Dituntunnya Ashiana sampai ke bathtub berbentuk bundar yang dipenuhi bunga-bunga dalam airnya, kemudian menaikkannya untuk berendam.
Xavier tidak kaku meski Ashiana dalam keadaan sudah hampir telanjang.
Bukan tidak normal, hormon sex-nya masih baik bahkan sangat baik, tapi pikirannya tidak sedang ada di konteks itu. Bekas-bekas luka di punggung Ashiana jadi penyebab.
“Aku akan membunuh siapa pun yang membuatnya seperti ini. Termasuk itu Kaisar sekali pun!”
Selesai semua tugas Xavier memandikan istri ajaibnya.
Sekarang Ashiana sedang dibajui Daphne Grover di depan meja riasnya.
Xavier memerhatikan dari sudut dengan tatapan kelam, duduk bersilang kaki.
“Kau sungguh tak tahu apa pun tentang luka-luka itu, Nona Grover?”
Dapnhe menggeleng, sekilas menatap Xavier lalu kembali fokus pada tugasnya. “Tidak, Tuan. Di istana, saya pelayan bagian mengurus pakaian. Selain keadaan Tuan Putri yang seperti ini, baik saya atau yang lain, sama sekali tak mengetahui apa pun, kami dilarang membicarakan hal yang tidak pantas. Tapi dua pelayan yang biasa mengurusnya mungkin tahu, Tuan.”
Mata Xavier menyipit. “Dua pelayan itu?” Tentu saja dia ingat mereka.
Kemudian bertanya lagi, “Siapa nama mereka?”
Daphne menjawab, “Nyonya Haidi dan Nyonya Amber, Tuan.”
Baiklah!
-----
Menjelang sore harinya ....
Xavier cukup terkejut dengan panggilan telepon yang ternyata dari ayahnya---Balthazar De Jongh. Itu disampaikan pekerjanya di rumah lain yang biasa dia gunakan untuk bekerja.
Ini langka, tapi dia cukup penasaran. Jadilah sesuatu terbersit di kepala dan membuatnya memetik satu keputusan----mengundang ayahnya dan semua keluarga De Jongh ke Mansion Willow yang baru dia tempati tiga hari ini.
“Selamat datang di kediaman baruku ... Ayah, Ibu Tiri dan adik.”
Sampai detik ini dari mulai menginjakkan kaki di halaman Willow, Esmera masih belum bisa menormalkan diri.
Sedang Balthazar dan Keelan sama-sama berwajah keruh.
Semuanya kini duduk di ruang tamu dengan suguhan makanan berlimpah yang disediakan para pekerja dapur mansion megah Xavier.
“Sejak kapan kau membangun ini?” Balthazar bertanya sinis.
Xavier berlagak sewajarnya sebagai tuan rumah. Bersilang kali dengan punggung tersandar tenang. Segelas minuman terhimpit elegan di jari-jemari bagian kanan.
“Sejak satu tahun lalu dan kutempati baru tiga hari ini. Karena aku sudah menikah, aku mempersembahkannya untuk istriku.”
Esmera melengak.
Keelan membuang wajah dengan senyuman kecut.
“Dari mana kau dapat uang sebanyak itu untuk membangun mansion yang hampir menyamai megahnya istana seperti ini?”
Xavier terkekeh mendengar pertanyaan ayahnya yang luar biasa.
Dan itu tidak disukai mereka semua.
“Yang jelas bukan dari dua peti emas yang kudapatkan dari hadiah membunuh Hugo. Tentu saja aku bekerja, Ayah!”
Jawaban itu seketika mengingatkan Balthazar tentang tujuan sebenarnya menghungi Xavier.
Gara-gara mansion megah putranya, dia jadi tersihir dan mendadak bodoh.
“Benar, tentu saja kau bekerja. Penghasilanmu pasti sangat banyak. Kau menikung bisnis ayahmu.”
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/