Seorang CEO yang tak sengaja mendapatkan amanah dari korban kecelakaan yang ditolongnya, untuk menyerahkan cincin pada calon pengantin wanita.
Namun Ia malah diminta Guru dari kedua mempelai tersebut untuk menikah dengan mempelai wanita, yang ditinggal meninggal Dunia oleh calon mempelai pria. Akankah sang CEO menikah dengan mempelai wanita itu? Akankah sang mempelai wanita setuju Menikah dengan sang CEO?
Dan sebuah masalalu yang mempelai wanita itu miliki selalu mengganggu pikirannya. Kekhawatiran yang ia rasakan selalu menghantui pikirannya. Apakah masalalu yang menghantui pikiran mempelai wanita itu?
Cerita ini hanya khayalan Author, jika ada kesamaan tokoh, kejadian itu hanya kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pernikahan yang Tak di Inginkan.
"Tok. Tok.Tok."
"Masuk."
"Non, Nyonya dan Tuan sudah menunggu untuk makan malam."
"Owh. Iya bik. Tunggu sebentar."
Ayra meletakan mushaf nya diatas meja rias yang berbentuk oval. Ayra berjalan ke arah bik Asih, Langkah Ayra berhenti karena ia tak terbiasa berjalan di depan orang yang usianya lebih tua. Melihat bik Asih masih ditempatnya dan menundukkan kepala menaruh hormat pada Ayra, wanita yang belum genap satu hari menjadi istri dari seorang CEO itu menggandeng tangan art itu.
"Bi... Ayo katanya aku sudah ditunggu."
"Aduh.... Jangan Non. Jangan begini. Nanti saya dimarah. Ndak sopan sama majikan."
Bik Asih mengeluarkan tangannya dari gandengan nyonya baru nya itu.
"Bik.... Kenapa sih takut sekali dimarah. Takut itu sama Allah bukan sama manusia. Udah Mama sama Papa tidak akan marah."
Kembali Ayra menggandeng tangan bik Asih. Bik Asih kembali menarik lengannya.
"Lah nanti klo yang marah den Bram?"
Bi Asih masih menunduk.
"Bi Asih. Tolong jangan perlakukan aku sama dengan mama, papa dan Mas Bram. Aku ingin Bi Asih memperlakukan aku sebagai anak."
Deg!
Jantung Bi Asih serasa mau lepas mendengar penuturan Ayra.
"Ga pantes Non. Bibik cuma pembantu disini."
"Mama bilang Bibi merawat mas Bram sedari SMP hingga sekarang semua keperluan dan kebutuhan mas Bram bibik yang siapkan. Betul?"
Bik Asih mengehentikan langkahnya. Bik Asih melihat Ayra.
"Betul non."
"Bi, Ayra merasa nyaman ada bibi disini. Karena Ayra tidak merasa asing di tempat yang baru ini. Ayra merasa hilang rasa rindu pada pondok Ni, karena bibik satu-satunya yang aku rasa sama seperti aku."
Wanita tua itu terlihat berbinar kedua matanya. Wanita yang selalu memakai songkok dikepala nya itu membuat Ayra merasa bertemu Mbok Mi. Seorang wanita paruh baya yang selalu menemani nya memasak di dapur umum pondok pesantren.
Ada kemiripan dari segi berpakaian mbok Mi dan Bik Asih.
"Ya sudah terserah Non Ayra. Tapi nanti kalau ada nyonya dan Tuan jangan kayak gini ya Non?"
Ayra menjawab dengan anggukan kepalanya. Bik Asih menekan lift angka 1.
Ayra yang memperhatikan tombol-tombol yang ditekan oleh Bik Asih. Ayra adalah gadis yang cerdas walau ia tinggal di pondok pesantren sedari kecil, hal itu tidak membuat ia menjadi santriwati yang gaptek.
Satu Minggu sekali ada pelajaran dimana para santri di pondok nya untuk meng-upload sebuah video tentang hapalan nya, ada juga yang meng-upload tugas melalui email. Melalui komputer dan laptop serta handphone yang disiapkan diruang IT khusus untuk mengenal kan kepada para santri tentang teknologi termasuk menggunakan Email, komputer, android.
Hingga Ayra bisa merekam jelas bagaimana cara menggunakan lift yang berbeda dari lift yang pernah ia lihat di mall. Ayra memejamkan matanya setelah melihat apa yang dilakukan bik Asih seolah ia memotret apa yang dilakukan oleh Bik Asih. Sama seperti metodenya menghapal Al-Qur'an. Tidak hanya mengucapkan, mendengarkan tetapi juga memotret lewat Indra penglihatan.
"Ting."
Pintu lift terbuka Ayra melepaskan tangannya dari lengan bik Asih lalu berjalan ke arah ruang makan. Disana telah duduk pak Erlangga dan nyonya Lukis. Nyonya Lukis terlihat mengerutkan alisnya karena Ayra turun bersama bik Asih tanpa Bram.
"Kamu tidak turun bersama suami mu Ay?"
Ay, panggilan yang Ayra rasakan spesial untuknya dikeluarga barunya ini.
"Ayra pikir mas Bram sudah disini Ma."
Ayra menarik kursi dan duduk disebelah nyonya Lukis.
"Bram pasti di ruang Gym ma. Anak itu mana mau makan malam. Sudah ayo kita makan."
Nyonya Lukis mulia mengambil nasi dan lauk pauk untuk suami nya dan mengambil piring Ayra.
"Segini cukup Ay?"
"Biar Ayra ambil sendiri Ma."
"Tidak apa-apa hari ini spesial. Besok baru boleh terserah kamu."
"Cukup Ma."
"Mau sama apa?"
"Sama SOP saja Ma."
Setelah piring itu diserahkan kepada Ayra. Ayra hanya termenung menatap piring nya.
"Ayo Ay dimakan. Kenapa? Kamu tidak suka menunya?"
"Em.... Bukan ma. Ayra cari mas Bram dulu. Mas Bram belum makan dari siang tadi."
Sreeet. (Suara kursi ditarik)
"Jangan pernah menunggu dan mencari saya. Saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini!"
Deg!
Seolah tak bertulang lidah suaminya itu, Kembali kata-katanya menorehkan sebuah sayatan yang tak boleh diperlihatkan oleh Ayra. Namun hanya boleh dirasakan oleh Ayra.
"Glek.Glek.Glek."
Lelaki yang tidak lain adalah Bram menghabiskan satu gelas air putih yang tersedia di meja makan itu.
"Braaak!"
"Bram!"
Pak Erlangga menggebrak meja makan hingga air minum di dalam gelas bergoyang cukup kuat. Dua lelaki beda usia itu saling tatap dengan tatapan tajam. Ayah dari tiga orang lelaki itu tak suka melihat cara anaknya memperlakukan perempuan. Terlebih itu adalah istrinya. Ia selaku orang tua malu karena anaknya bersikap kasar seperti itu.
soalnya saya banyak kenal orang dari berbagai daerah meskipun pernah mondok, tp tidak sedetail itu tau tentang najis
mau komen keseeell.. ternyata udah ada yg mewakili😆