Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 9
Hampir seminggu sudah, Pram mengantar Kailla ke kampus. Sejak nama Adrian mencuat di kehidupan rumah tangganya, Pram menjadi over protektif terhadap Kailla. Bukan tanpa alasan, perselingkuhan ibu si kembar setahun silam masih membekas di benak pria itu. Ada ketakutan yang membuat Pram berusaha mengetatkan pengawalan pada sang istri yang usianya terpaut jauh darinya.
Sang fajar masih bersembunyi malu-malu di ufuk timur. Merona kemerahan, memancarkan semburat cahaya. Kailla terlihat cantik dengan celemek merah muda berenda dan rambut pirangnya yang dicepol tinggi. Tengkuk putih mulus dengan belahan dalam itu begitu menggoda.
Bertempur dengan alat dapur di pagi hari, menjadi kebiasaannya sejak menikah dengan Pram. Walau sudah terlatih hampir lima tahun lebih, tetap saja memasak bukan menjadi bakatnya. Selain menu sarapan sederhana dan olahan telur, Kailla hanya terlatih menyiapkan MPASI untuk duo kembar Pratama.
Derap langkah kaki disusul kecupan menggairahkan di tengkuk mulusnya, membuat Kailla menjerit seketika.
"Ahh!" pekiknya sembari menggenggam panci stainless. Hari ini, ia mencoba membuat sup bayam, jagung dan daging ayam untuk dua jagoannya.
"Morning, Mom." Pram tersenyum puas setelah berhasil mengejutkan istrinya. Pria itu menggendong dua anak kembarnya sekaligus di kiri dan kanan tubuhnya.
"Mamamam ...." celoteh Kentley dengan kedua tangan terulur. Bayi mungil itu sudah tidak sabar mendapatkan sentuhan ibunya.
"Sebentar, Sayang. Mommy selesaikan bubur kalian ... baru bisa gendong." Kailla mengecup kedua bibir putranya sekilas.
"Eh ... eh ... pawangnya tidak?" todong Pram, dengan pasrah dan mata terpejam memajukan bibirnya, menunggu giliran.
Kecupan tipis mendarat di bibir pria itu tanpa menunggu lama. Tampak Kailla menyelesaikan pekerjaannya buru-buru dan segera mencuci tangan.
"Bu!" teriak Kailla pada Ibu Sari yang sedang membersihkan sayuran hijau.
"Ya, Non." Perempuan tua itu menghampiri.
"Tolong lanjutkan! Anak-anakku sudah minta digendong," titah Kailla sembari mengambil alih tubuh mungil Kentley dari gendongan sang suami.
"Kenapa bisa bersamamu, Sayang?" tanya Kailla membersihkan kotoran yang menempel di sudut mata putranya.
"Mereka menangis mencarimu. Lebih tepatnya mencari sumber susunya." Pram tergelak sembari menepuk pelan punggung Bentley.
"Bukannya baru disusui. Masa sudah lapar lagi. Di mana Kin dan Bin?" tanya Kailla berjalan menuju ke kamarnya. Ia harus bersiap untuk berangkat ke kampus.
"Keduanya belum kelihatan, Kai." Pram mengekor langkah istrinya menuju ke kamar kembali.
"Oh ya ... minggu ini ... ada Family Gathering di Bandung. Kamu ikut denganku, ya," pinta Pram.
Kailla berbalik, menatap Pram. "Anak-anak?" tanyanya.
"Bisakah titipkan pada Mama saja. Hanya semalam. Kasihan anak-anak. Perjalanan Jakarta Bandung itu lumayan berasa, Kai. Apalagi kalau macet." Pram menjelaskan.
Kailla masuk ke dalam kamar dan mendudukan Kentley di atas karpet bulu, kemudian menurunkan sekotak mainan supaya anak itu tidak menangis.
"TIDAK!" tolak Kailla.
"Kai, Sayang ...." Pram mulai membujuk seperti biasa.
Terlihat ia menurunkan Bentley di sebelah adiknya. "Main dengan adikmu, Daddy harus bicara dengan Mommy kalian," ucap Pram sembari mengeluarkan bola plastik dari dalam kotak dan menyerahkan pada putra tertuanya.
"Aku ikut ke Bandung, anak-anak juga ikut. Kalau anak-anak tidak ikut ... aku juga tidak ikut." Kailla menjelaskan. Bergegas menuju walk in closet dan menyiapkan pakaian untuknya dan pakaian kerja Pram.
"Kai, aku mohon. Sejak ada si kembar, kamu mengabaikanku, Sayang." Pram memeluk erat Kailla dari belakang, mengecup basah tengkuk putih mulus yang begitu menggodanya.
"Ah, jangan dibuat merah, Sayang," keluh Kailla, berbalik dan mulai protes.
"Aku merindukan masa-masa berdua denganmu, Kai," bisik Pram. Dengan sengaja menghembuskan napas kasar di telinga istrinya.
"Jangan manja! Kamu itu sudah tua, Sayang," protes Kailla.
“Jangan meremehkanku, Kai. Aku masih kuat menggendongmu keliling rumah. Aku belum tua.” Pram mengingatkan, sembari mengangkat tubuh Kailla naik ke gendongannya.
Baru saja Pram melangkah keluar dari walk in closet sembari menggendong istrinya, kedua jagoannya menjerit kencang. Kentley memulai, dan Bentley menyempurnakannya. Teriakan keduanya memekakan telinga. Pram hanya bisa bersabar, saat mendapati tangisan kedua putranya semakin kencang.
“Aku tidak merasa mengidam apa-apa selama hamil mereka. Jangan menyalahkanku,” ungkap Kailla, tergelak saat melihat kedua bayi itu masih berlomba-lomba berteriak. Belum lagi wajah Pram yang begitu menggemaskan saat teriakan keduanya mendominasi kamar tidur mereka.
“Turunkan aku, Sayang. Aku lelah mendengar jeritan mereka. Biarkan aku mengantarnya pada Bin dan Kin,” lanjut Kailla.
“Baiklah. Aku menunggumu di kamar mandi.” Pram mengedipkan sebelah matanya, membiarkan Kailla mengurus keduanya. Ia sudah terlalu tua meladeni dua bayi nakal yang menuruni bakat istrinya.
***
Siang itu, Kailla pulang sedikit terlambat dibandingkan biasanya. Salah satu teman baiknya di kampus, berulang tahun. Ia tidak bisa menolak traktiran makan siang gadis manis berambut panjang yang bernama Maya. Teman yang selalu setia menemaninya di setiap kesempatan.
“Aku tidak bisa lama-lama, ya.” Kailla menjatuhkan tubuhnya di kursi. Mereka sedang berada di restoran dengan beberapa teman kampus lainnya. Dua perempuan, termasuk Kailla dan tiga orang pria muda. Yang membuat Kailla terkejut adalah saat kelimanya duduk mengelilingi meja, dari arah pintu masuk muncul Adrian. Si dosen tampan yang menyapa Mala dan menghadiahkannya sebuket bunga mawar merah.
“Selamat ulang tahun, May. All the best,” ucap Adrian.
“Thank you, Pak.” Maya tersenyum malu-malu. Wajahnya memerah melirik ke arah Adrian yang sudah mengambil posisi duduk di seberang mereka.
“May, kamu mengundang Pak Adrian?” bisik Kailla pada temannya yang berulang tahun.
Maya mengangguk dan tersenyum manis. “Dia yang meminta ikut, La,” bisik Maya di tepat di telinga Kailla.
“Ketahuan Pram, habis aku malam ini. Bisa jadi perkedel,” gerutu Kailla dalam hati. Kalau bukan karena Maya, ia pasti sudah menolak untuk ikut serta.
Belum hilang kekhawatirannya, Kailla dikejutkan dengan bunyi dering ponsel di dalam tasnya. Jantungnya berdetak kencang, netra menyapu ke sekeliling restoran saat mendapati nama Pram muncul di layar gawai.
“May, aku keluar sebentar, ya. Suamiku,” bisik Kailla pelan, sembari berjalan keluar.
“Ok.”
Mengusap pelan layar gawai, suara berat Pram sudah terdengar bahkan di saat ponsel itu belum menempel di indra pendengarannya.
“Kai, kamu di mana? Kenapa tidak langsung pulang ke rumah?” tanya Pram seolah-olah paham dengan situasi yang terjadi.
“Sebentar lagi ... aku pulang, Sayang.” Kailla menjawab terbata-bata
“Pulang sekarang!” titah Pram.
“Sayang, aku tidak enak dengan Maya. Dia berulang tahun hari ini.” Kailla beralasan.
Terdengar helaan napas dari seberang telepon. “Tidak enak dengan Maya atau Adrian?” todong Pram.
“Hah!”
“Pulang sekarang! Aku akan meminta Stella mengirimkan hadiah ulang tahun untuk Maya atas namamu.”
“Sayang....” rengek Kailla terdengar manja. “Aku tidak enak dengan Maya, jangan begini,” pinta Kailla.
“Maya atau Adrian?” tegas Pram lagi.
“Maya, Sayang. Tidak ada Adri ...” Ujung mata Kailla menangkap penampakan Sam dari kaca lebar restoran. Asistennya memberi kode melalui lambaian tangan, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Sayang?” panggil Pram lagi.
“Sayang,” ulang Pram.
“Y-ya ... ada apa?” tanya Kailla terbata-bata
“Pulang sekarang atau aku akan menyusulmu ke sana!” tegas Pram.
“Hah?” tanya Kailla bingung. Konsentrasinya terpecah melihat Sam berlari masuk menghampirinya. Napas asisten itu naik turun.
“Pulang sekarang atau aku menyusul ke sana?” ulang Pram, menekan.
Sam berbisik pelan di telinga Kailla. “Pak Pram mengamuk di kantor. Bayu baru saja menghubungiku. Bayu meminta Non Kailla jangan membantah Pak Pram. Bisa tamat riwayat orang kantor.”
Deg—
“Bagaimana bisa?” ucap Kailla dengan bahasa bibir.
Sam menggelengkan kepala pertanda tidak mengerti. Ia tidak terlibat dan tidak tahu apa-apa kali ini.
“Kai, kamu masih mendengarkanku?” tanya Pram.
“Y-ya, Sayang.”
“Pulang sekarang! Setengah jam lagi hubungi aku dari rumah,” titah Pram mematikan ponselnya.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set