NovelToon NovelToon
Gadis Kesayangan Om Garda

Gadis Kesayangan Om Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Keluarga / CEO / Cinta Terlarang / Romansa
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: yourladysan

Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?

Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.

#adultromance #agegap #cintabedausia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keluar dari Rumah

“Kamu yakin kesibukanmu sebagai mahasiswa akhir tidak akan memengaruhi pekerjaan di sini?” tanya wanita di hadapan Bening.

Bening mengangguk mantap. “Saya hanya tinggal satu kali tanda-tangan dan mengurus ujian serta wisuda. Selain itu, saya nggak punya kesibukan lain. Saya bisa mengatur waktu.”

“Tapi di sini katanya kamu sudah pernah magang di perusahaan besar. Kaditya Living. Kenapa tiba-tiba kamu apply di minimarket? Jadi pegawai paruh waktu pula,” kata si wanita yang tampak judes karena lipstik merahnya.

“Hm … karena ini satu-satunya lowongan yang saya dapatkan untuk saat ini. Saya juga belum benar-benar lulus. Jadi, perusahaan mungkin akan menolak, tidak akan menerima mahasiswa ‘tanggung’ seperti saya,” kata Bening.

Si wanita mengangguk-angguk. Ia adalah manajer minimarket yang tidak jauh dari gedung indekos. Bening melihat kertas tergantung yang menyatakan bahwa mereka tengah mencari pekerja paruh waktu beberapa hari lalu setelah pembicaraan dengan Nata. Jadi, Bening langsung mengajukan diri, mengirim surat lamaran dan curriculum vitae terbaik yang dimiliki.

“Oke …,” kata si manajer berlipstik merah. Ia mengancingkan blazer-nya. “Akan saya hubungi kamu lagi nanti. Sekarang masih weekend.”

“Baik, terima kasih.”

“Sampai bertemu lagi, Bening.”

Hanya anggukan yang Bening perlihatkan sebelum berpamitan dari ruangan itu. Ia diminta datang untuk interview di hari Sabtu pagi. Biasanya saat weekend, Bening sering melihat minimarket itu ramai. Karena di sekitar daerah itu dipenuhi oleh perumahan dan indekos, serta pusat olahraga. Bahkan Bening kerap berbelanja di sana. Kadang-kadang disapa oleh pekerja paruh waktu yang berbeda-beda.

Bening keluar dari minimarket, menyusur jalur pedestrian yang dipenuhi oleh beberapa orang yang tengah olahraga. Mereka duduk-duduk bangku besi yang tersedia di beberapa titik. Sementara Bening sesekali melirik sport area yang tampak penuh.

Keputusan untuk melakukan kerja part time sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Dari mana ia bisa mendapatkan uang kalau tidak usaha sendiri mencarinya? Dari ibu dan bapaknya? Tidak mungkin sekali. Untung beasiswa kuliah yang didapat Bening masih bertahan sampai lulus nanti. Nilainya tidak pernah rendah dan tidak pernah ada mata kuliah yang diulang-ulangi.

“Astaga, hari ini kan Sabtu!” Ia menepuk jidat. Teringat akan rencananya bersama Nata.

Padahal Bening tidak ingin pergi karena Garda pasti ada di rumah. Sekarang membayangkan keberadaan Garda di rumah itu saja membuat Bening mendadak gugup. Padahal hanya membayangkannya. Karena Bening teringat obrolan dan kedekatan mereka malam itu di unit apartemen. Lalu, teringat ciuman di rumah Nata.

“Ini benar-benar kacau,” gumam Bening ketika sepasang kakinya melangkah memasuki gedung indekos yang bertingkat.

Beberapa hari belakangan Bening berusaha menjauh dari Garda. Ia tidak pernah datang ke rumah Nata karena berbagai macam alasan yang dibuat-buat. Bahkan Bening sama sekali tidak mengecek sosial media Garda seperti sebelum-sebelumnya hanya karena ingin tahu kabar pria itu. Garda jarang bertukar pesan atau menelepon meski mereka menyimpan kontak masing-masing.

Dahulu Bening hanya akan menelepon jika ada hal penting menyangkut Nata. Selebihnya? Tidak ada. Bening saat itu berpikir tidak sopan mengusik Garda dan sikapnya pasti akan terlihat sangat lancang.

Akan tetapi, beberapa hari sejak mencoba menjauhi Garda, Bening malah terusik. Pikirannya dipenuhi Garda; pertanyaan tentang kabar pria itu terus memenuhi kepala Bening.

“Brengsek! Siapa yang dulu pengen bawa dia pulang? Kamu! Sekarang malah nyalahin aku.” Suara keras Baron terdengar saat Bening mendekati kamar indekos.

Langkah Bening melambat, bersamaan dengan ingatan tentang Garda yang memudar. Kalau tahu orang tuanya lagi-lagi bertengkar, Bening tidak akan pulang cepat. Lebih baik ia pergi walaupun tanpa tujuan. Kemanapun asal kakinya tidak kembali ke ruangan sempit itu.

Bening berbalik hendak pergi dari sana. Karena melihat mereka bertengkar hanya akan membuat Bening terseret menjadi korban juga kalau kehadirannya disadari. Namun, langkah Bening terhenti saat suara Diana menyahut ucapan Baron.

“Siapa yang kamu sebut brengsek, hah? Padahal kamu juga sepakat ingin memungut anak itu dari tempat sampah!”

Memungut ….

Anak itu ….

Tempat sampah ….

Rongga dada Bening mencelus, degup jantungnya menderu lebih cepat. Adrenalin Bening berpacu seiring permukaan kulit yang terasa merinding. Bening berbalik mendekati pintu indekos, menggenggam tali tas selempangnya dengan erat. Pikiran dan perasaan Bening berkecamuk riuh. Berbagai macam terkaan muncul dalam pikirannya.

“Sok-sokan pengen merawat anak! Sekarang hidup kita jadi melarat begini. Masih untung si Bening itu bisa kita rawat sampai segede sekarang, meski bener-bener nggak guna!” Lagi-lagi ibunya bersuara. “Aku benar-benar menyesal, Baron! Menyesal!”

A-apa maksud Ibu …. Bening membatin. Ia tak bisa mempercayai pendengarannya barusan.

Rongga dada Bening terasa makin panas, bagai disiram bensin yang mengundang api. Kaki dan tangan Bening mendadak dingin, bergetar ketika pikirannya mulai menyimpulkan semua yang dia dengarkan. Sepasang mata Bening mendadak terasa sakit dan hangat, bulir air mata berjatuhan tanpa aba-aba.

“Tolol! Biar aku yang bicara pada Bening. Dia akan menuruti kemauan kita kalau bicara baik-baik. Kamu saja yang nggak sabaran!” Baron meneriaki istrinya.

“Kamu pikir dia anak kecil polos seperti dulu, hah? Dia sudah dewasa dan berkuliah membuat Bening nggak jadi gadis bodoh, Baron! Mana mau dia diajak melacur?!”

Lagi-lagi Bening merasakan rongga dada dan kepalanya dihantam bersamaan oleh palu yang tak terlihat. Rasa sakit menjalari seluruh inci tubuh dan bergumul dalam rongga dadanya. Kilat mata basah Bening menyala-nyala, mengobarkan api kemarahan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu.

“Brengsek! Nggak tau, lah. Atur saja sendiri.”

Bening tidak kunjung bergerak, bahkan ketika pintu kamar dibuka dari dalam. Sampai wajah setengah mabuk Baron terlihat dari sana. Sepasang matanya membelalak ketika menyaksikan Bening berdiri sembari menyingkirkan air mata.

“Bening …,” panggil Baron yang terdengar seperti gumaman.

“Aku ke sini cuma mau ambil baju.” Bening berusaha bersikap tak acuh.

Ia masuk ke dalam kamar, melihat Diana terkejut dengan keberadaan sang putri. Mereka bahkan tak berbicara sepatah katapun. Bening meraih tas besar, mengisi semua pakaiannya di lemari kecil setinggi leher orang dewasa. Air mata yang sudah mengering kembali meleleh tanpa henti. Bibir Bening bergetar tatakala semua barang-barangnya sudah terisi ke dalam tas besar.

“Mau ke mana kamu?!” Diana menyergah.

“Pergi. Jadi, jangan menghalangi aku.”

“Enak saja! Kamu sudah kami besarkan, lalu begini balasan kamu?”

“Aku nggak minta kalian membesarkan aku. Kalau boleh memilih pun, aku nggak mau dipungut oleh orang tua seperti kalian. Dulu saat aku masih kecil, bersama kalian rasanya seperti sebuah kebahagiaan yang nggak bisa tergantikan dengan apa pun. Tapi, sekarang … aku merasa hidup di neraka. Aku muak! Aku sama sekali menyesal pernah dirawat kalian!”

Bening berteriak di ujung kalimatnya. Sehingga tamparan keras dari sang ibu melayang dengan mulus. Suaranya membuat Baron terkejut di ambang pintu.

Meski begitu Bening tak membalas. Hanya senyuman penuh kekecewaan yang terlukis bersama lelehan air mata yang mengalir di pipi. “Aku benci kalian dan ini terakhir kali aku memanggil kalian sebagai Ibu dan Ayah.”

“Bening!” Diana menjerit.

Namun, Bening secepat mungkin pergi dari tempat itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!