Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Tawar Menawar
Kevia masih terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Menjual perawan… lima puluh juta… seratus juta…
Tangannya gemetar menyentuh dadanya sendiri. Ia keluar perlahan dari bilik, berdiri di depan cermin. Wajahnya basah, mata sembab. Ia menatap pantulan dirinya sendiri.
Lima puluh juta… tujuh puluh… seratus…
Jumlah yang terdengar seperti jalan keluar sekaligus jurang tak berdasar.
Tanpa sadar, langkahnya cepat, meninggalkan toilet dengan dada berdebar. Ia bergegas pulang.
Di dalam kontrakan yang sempit, Kevia membongkar pakainya di dalam kotak kardus bekas. Tak ada lemari, tak ada ruang lega, hanya dinding kusam dan udara pengap.
Saat jemarinya menyentuh kain lembut berwarna lembayung, Kevia tertegun. Dress itu sederhana, namun memancarkan keanggunan yang tak bisa disembunyikan. Pemberian seorang pria misterius. Penolongnya di malam kelam, ketika dirinya hampir dijual, ketika kehormatannya nyaris direnggut.
Hatinya bergetar. Dress itu bukan sekadar kain, ia bagai beban sekaligus harapan. Simbol luka yang hampir menenggelamkannya, sekaligus pengingat bahwa masih ada tangan asing yang sempat menyelamatkan.
Hingga kini, ia belum sempat mengucapkan terima kasih.
Ia menatapnya lama.
“Kalau ini bisa menyelamatkan Ibu… aku akan melakukannya,” gumamnya, suara lirih bercampur tekad yang getir.
Ia membersihkan diri, lalu mengenakan dress itu. Bayangan di kaca retak memperlihatkan dirinya bak orang asing: bukan lagi gadis sederhana Kevia, melainkan sosok yang seolah hendak menukarkan kehormatan dengan harapan hidup.
Langkahnya berat, namun mantap. Setiap ayunan kaki terasa seperti menginjak bara, tapi ia terus berjalan menembus gelap malam menuju sebuah klub malam.
Dentuman musik terdengar sampai ke luar, lampu warna-warni menari di balik pintu masuk. Dua pria kekar berjaga di depan, wajah mereka keras, tatapan mereka menilai setiap orang yang lewat.
Kevia menelan ludah, tenggorokannya kering. Tubuhnya bergetar halus, tapi tangannya mengepal erat di sisi dress lembayung yang melekat di tubuhnya, seolah dari kain itu ia mencari keberanian. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang seperti hendak pecah dari dada. Namun ia tetap mendekati dua penjaga pintu itu.
Dengan suara yang nyaris pecah, ia berbisik, “A… aku ingin menjual… keperawananku. A… apa Bapak bisa bantu?”
Keheningan menelungkupi sejenak. Kedua penjaga pintu saling berpandangan, alis mereka sama-sama terangkat. Tatapan tajam penuh tanda tanya itu kemudian menyapu tubuh Kevia dari ujung kepala hingga kaki, membuatnya semakin ingin menunduk, tapi ia bertahan.
Salah satu penjaga menghela napas pendek, lalu bertanya datar, “Kamu mau jual diri seterusnya… atau cuma jual perawan?”
“C… cuma perawan,” jawab Kevia terbata. Suaranya bergetar, wajahnya memanas menahan malu. Kakinya terasa dingin, lututnya lemas, tapi dalam sorot matanya terpantul tekad rapuh yang dipaksa tetap berdiri. Demi ibunya.
Penjaga itu kembali melirik temannya, lalu terkekeh tipis. “Kalau begitu… aku bisa antar kamu ke orang yang tepat. Ada beberapa orang… kantong mereka tebal. Dan kamu…”
Tatapannya menyapu tubuh Kevia, dari ujung rambut hingga dress lembayung yang membungkus tubuhnya. “Kamu cantik. Dengan wajah kayak gini, kamu bisa minta dua ratus juta… bahkan lebih.”
Kevia menunduk. Kedua tangannya saling meremas, begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Jantungnya berdentum liar. Dua ratus juta. Jumlah itu bisa membuat ibunya bertahan lebih lama.
Tapi… harga itu juga berarti ia harus rela kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.
Napasnya tercekat, matanya memanas, tubuhnya gemetar. Antara ngeri… dan tekad.
Sementara itu, di sudut bar, seorang pria yang duduk di depan meja bartender menajamkan mata begitu melihat Kevia masuk bersama penjaga pintu. Ia menyiku rekannya di sebelah.
“Bukankah itu gadis kemarin?” bisiknya, suara rendah penuh curiga.
“Benar,” rekannya mengangguk pelan, matanya meneliti dress lembayung yang membalut tubuh Kevia. “Itu bajunya. Yang dikasih bos.”
Alis pria pertama berkerut. “Lalu… apa yang dia lakukan di tempat seperti ini?”
Hening sesaat. Udara seolah menegang. Rekannya mengusap dagu, matanya menyipit. “Firasatku buruk. Jangan-jangan dia…”
Kata-katanya menggantung, berat, seolah membawa ancaman yang tak terucap.
Detik itu juga, ketegangan merambat di antara mereka.
“Cepat, lapor ke bos,” desis pria pertama dengan nada mendesak. “Aku akan mengikutinya.”
“Oke. Pasang earpiece, biar kita bisa dengar jelas. Aku lapor sambil mengawasi sekitar.”
“Bagus. Jangan sampai lepas dari pandangan.”
Sorot mata mereka kini hanya tertuju pada Kevia. Sosok rapuh yang tak tahu dirinya sedang masuk lebih dalam ke dalam sarang bahaya.
Langkah Kevia terasa berat ketika penjaga itu menggiringnya menaiki tangga menuju lantai atas. Dentuman bass dari musik lantai bawah perlahan meredup, berganti dengan suasana yang lebih remang dan menekan.
Begitu pintu terbuka, hawa ruangan itu langsung menyergapnya. Lampu temaram berpendar samar, asap rokok menggantung pekat hingga menusuk dada, bercampur dengan aroma alkohol yang menyengat hidung.
Saat Kevia masuk, tatapan pria-pria hidung belang menancap ke tubuhnya, seperti jarum-jarum dingin yang menusuk kulit. Ada yang tersenyum miring, ada yang berbisik sambil menilai, seolah Kevia bukan manusia, melainkan barang dagangan.
“Duduk,” suara penjaga itu terdengar dingin.
Kevia menurut, duduk di kursi empuk berlapis beludru merah. Jantungnya seakan ingin meloncat keluar dari dada. Jemarinya meremas ujung dress, berusaha menutupi gemetarnya.
Seorang pria berperut buncit, berjas mahal, menyeringai sambil menyalakan cerutu. “Cantik… segar… pas banget untuk malam ini.” Matanya menelusuri Kevia tanpa malu.
“Berapa?” tanyanya singkat.
Penjaga itu menyahut datar, “Seratus juta.”
Pria lain, dengan cincin emas mencolok di setiap jari, menyeringai sinis. “Seratus? Ah, murah. Seratus dua puluh juta. Aku bayar kontan, asal malam ini dia jadi milikku.”
Kevia menggigit bibir. Jantungnya berdegup kencang, wajahnya terasa panas.
Pria lain, berjas abu-abu yang tampak kebesaran di tubuh kurusnya, menyeringai licik. “Seratus lima puluh. Aku lebih bermurah hati. Gadis ini pantasnya dapat harga lebih tinggi.”
Tawa kasar terdengar dari sisi lain meja. Seorang lelaki botak dengan rantai emas tebal di leher menepuk-nepuk meja. “Dua ratus! Aku tak mau kalah. Gadis secantik ini, malam ini harus jadi milikku!”
Kevia menunduk makin dalam, dress lembayung yang membungkus tubuhnya serasa menjerat. Kata-kata mereka seperti jarum menusuk kulitnya.
“Dua ratus lima puluh,” sahut seorang pria lain, lebih muda, rambutnya disisir licin penuh minyak. Tatapannya liar, senyumnya merayap menjijikkan.
Kevia terperanjat. Angka-angka itu bergema di kepalanya. Seratus… seratus lima puluh… dua ratus… dua ratus lima puluh…
Angka-angka yang bisa menyelamatkan ibunya.
Tapi juga angka yang menandai akhir dari kehormatannya.
Tangannya meremas ujung dress, buku jarinya memutih. Napasnya pendek, dadanya naik turun. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi tubuhnya kaku, membeku.
“Dua ratus lima puluh!” ulang sang pria muda dengan suara lantang. “Ada yang lebih tinggi lagi?”
Sang penjaga menyapu ruangan dengan pandangan dingin, lalu bertanya, “Masih ada yang berani menawar?”
Mata Kevia menatap kosong ke meja di depannya, jeritan dalam hatinya bergema tanpa suara. Jeritan yang hanya bisa ia telan sendiri.
Tiba-tiba ruangan itu mendadak hening. Dentum musik samar dari lantai bawah seolah tak mampu menembus keheningan di ruang khusus itu. Semua kepala serempak menoleh ketika terdengar langkah sepatu yang tenang namun penuh wibawa.
Seorang pria berpakaian serba hitam muncul dari balik pintu. Wajahnya dingin, rahang tegas, dan di dada jasnya tersemat bros kecil berukir lambang naga perak. Simbol yang segera dikenali semua orang di ruangan itu. Lambang milik seorang yang reputasinya sama menakutkan dengan kekuasaannya.
“Tiga ratus juta,” ucap pria itu datar, suaranya dalam dan berwibawa. “Siapa yang berani menawar lebih tinggi dari Tuan kami?”
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Jadi kau tetap ingin menjual kehormatanmu? Padahal aku hanya ingin membantu.”
“Tak ada yang gratis di dunia ini,” jawab Kevia lirih tapi tegas. “Jika kau tak ingin membeli… aku pergi.”
Ia berbalik, siap melangkah. Namun tiba-tiba, tangan hangat namun kuat menarik pergelangannya. Tubuh Kevia terhentak, lalu jatuh ke dalam pelukan pria itu.
To be continued
Popy ini harusnya belajar mengambil hati Kevin, bukan menyalahkan Kevia.
Kevin bisa benci kamu kalau sampai menyakiti Kevia.
karena kevia sudah ada yang punya
Anaknya siapa sebenarnya kamu Kevin..dan Popy mau di jodohkan denganmu ortu macam apa zaman now masih mau jodoh²in...
apa kamu bisa Popy menyingkirkan Kevia..?lihat saja nanti
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??