Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Duduk termenung di depan cermin berukuran kecil. Siti menatap wajahnya sambil terus mengingat perkataan Ayah. Pertanyaan Gio yang tidak dijawabnya sudah dijawab oleh Ayah. Dia pun tahu kenapa Gio tidak mau melihatnya melepas cadar, padahal bisa saja dia melakukan itu untuk menyelamatkan perusahaan.
Cukup lama trauma menghinggapi hidup Siti, dia takut berinteraksi dengan sesama jenis apalagi lawan jenis. Dia lebih senang sendiri menghabiskan waktunya dengan rasa takut yang tak berkesudahan.
Ayah dan Ibu sangat mengusahakan berbagai macam cara penyembuhan yang tepat untuknya. Banyak sudah biaya yang dikeluarkan untuk kesembuhannya. Dokter spesialis mahal pernah didatanginya, konsultasi mengenai trauma berat yang dialaminya.
Tidak cukup satu tahun, dua tahun untuk mengobati trauma itu. Hingga lima belas tahun lamanya dia baru bisa berdamai dengan masa lalunya. Tapi tidak benar-benar menyembuhkan traumanya. Perlahan dia mulai bisa membuka diri lalu berteman walau hanya sebatas bertegur sapa.
Sekarang luka dan trauma itu sudah hilang, tapi belum juga melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Lebih karena Gio yang menikahinya karena taruhan walau mereka sama-sama tidak pernah menginginkan perceraian.
Gio tidak pernah meminta haknya, hanya di awal pernikahan saja meminta melihat wajahnya itu juga karena gengsinya untuk memenangkan taruhan. Dia sangat menghormatinya dengan tetap membiarkannya tidur dengan cadar tanpa sekalipun berusaha mencari tahu wajahnya.
"Asyik bener, apa yang sedang kamu pikirkan?."
Sampai tidak menyadari keberadaan Gio yang sudah berada di kamar. Siti menoleh, lalu bangkit dan berjalan mendekati Gio.
"Sudah aku siapkan semuanya di dalam kamar mandi."
"Iya," Gio langsung masuk ke kamar mandi. Dia duduk di atas jongkokan sebelum mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
Pikiran Gio tidak pernah berhenti bekerja, terus saja memutar otak untuk menentukan langkah berikutnya setelah ditolak beberapa perusahaan besar lainnya. Peluang bisnis selalu ada tapi lagi-lagi dia terbentur dengan modal yang tidak dimilikinya sama sekali.
Air dingin itu kembali mengguyur tubuhnya, mengembalikan semangat yang sempat padam karena rasa putus asa yang terus menghantuinya.
Gio melilitkan handuk dipinggangnya, berjalan keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
"Ini pakaianmu."
Gio menerimanya dan langsung dipakainya, handuknya di gantung di dekat pintu kamar mandi.
"Pakaianmu lepas saja kalau merasa gerah," karena di kamarnya tidak ada pendingin ruangan.
"Gampang," sahut Gio santai.
Lalu mereka saling pandang, menatap kasur yang harus dibagi untuk mereka berdua.
"Pasti cukup," kemudian Gio tersenyum lalu meminta Siti merebahkan tubuhnya di sisi kanan dan dia di sisi kiri.
Muat tapi mereka harus berhimpitan, berusaha membuat nyaman satu sama lain dengan posisi mereka yang mengambil habis sisi kanan kiri mereka tapi tetap saja mereka berhimpitan.
"Tidak apa-apa, ini justru indahnya pernikahan. Kita bisa sedekat dan merasakan ini. Yang dinamakan suami istri itu, kita harus saling berbagi untuk apapun. Sedikit banyaknya yang kita dapatkan kita harus selalu bersyukur."
Siti mengangguk sambil melirik, pria tidak baik itu mengatakan hal yang baik tentang pernikahan.
Kemudian keduanya sama-sama memejamkan mata, menerima keadaan mereka yang harus berbagi tempat tidur. Saat rasa kantuk datang menerpa mereka, tempat tidur sempit itu tidak menghalangi mereka untuk tidur terlelap.
*
Gio baru keluar dari showroom mobil, kalau biasanya dia gonta ganti mobil, kali ini dia menjual mobil kesayangannya untuk modal usahanya setelah gagal lagi bekerja di perusahaan orang.
Dia yakin kalau penolakan semua perusahaan itu pasti ada campur tangan Teo. Tapi dia tidak mau menyalahkan orang lain atas kegagalannya, dia hanya perlu mencoba dan berusaha lebih keras lagi.
Uang yang didapatkan cukup besar walau sebenarnya masih kurang tapi itu tidak menjadikan halangan untuk membuka jasa pengiriman barang yang sudah dipelajarinya. Dan itu minim kerugian untuk dirinya yang seorang pemula di bidang itu.
Gio mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Siti saat sudah berada di depan kantor. Dia menunggu di tempat yang tidak akan terlihat oleh orang-orang yang keluar saat jam pulang kantor.
Siti segera menghampiri Gio yang melambaikan tangan ke arahnya. Lalu mereka berdua berdiri di depan jalan hendak menyetop angkutan umum. Tapi tidak, sebuah taksi online datang lalu membawa mereka pergi dari sana.
"Aku menjual mobilku."
"Iya, insya allah nanti kamu bisa membelinya lagi."
"Aamiin. Tapi jadi membuatmu harus naik ojek atau angkutan umum."
"Tenang saja, aku masih bisa menggunakan motor Ayah."
"Terus Ayah bagaimana kalau ada perlu-perlu?."
"Ayah tidak pernah ke mana-mana selama aku bekerja."
Gio hanya mengangguk.
Setelah berada di kamar, Gio langsung memberitahu rencananya kepada Siti. Wanita itu menjadi satu-satunya tempatnya berbagi. Apapun akan diceritakannya pada Siti, sebagai bentuk keterbukaan sebagai pasangan suami istri.
Semuanya sudah matang dalam hitung-hitungannya dan hati serta pikirannya sudah mantap untuk membuka jasa pengiriman barang. Modal yang diperlukannya sudah terpenuhi dari uang hasil penjualan mobil kesayangannya.
"Aku akan selalu mendukung apapun yang akan kamu kerjakan."
"Terima kasih, dukunganmu sangat berarti untukku."
"Aku ada sedikit tabungan jika kamu perlu gunakan saja"
Dengan cepat Gio menggeleng. "Tidak, sebisaku aku tidak akan menyentuh hartamu. Itu milikmu."
Lalu keduanya merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur yang sama. Mereka menatap langit-langit berwarna putih di dalam cahaya lampu yang tidak terlalu terang. Keduanya sama-sama tertawa kencang saat tanpa mereka duga melihat langsung cicak yang kawin di dekat lampu.
Aksi cicak kawin itu mengundang gelak tawa Gio dan Siti semakin kencang, karena cukup lama mereka kawin. Siti sampai harus menutup mata, dia malu sendiri melihatnya.
"Kedua cicak itu sepertinya sengaja kawin di depan kita yang belum kawin juga," canda Gio tanpa tawa yang langsung mendapat respon sebuah pukulan pelan pada lengannya.
"Bener dong, Sit?." Seketika Gio memiringkan tubuhnya menghadap Siti. Menatap mata jernih yang begitu teduh.
"Tapi kamu tenang saja, imanku cukup kuat dari godaan cicak kawin itu." Secepatnya Gio kembali pada posisi semula. Rupanya dia tidak bisa berlama-lama menatap mata Siti, dia takut lupa akan ucapannya barusan.
Keringatnya selalu mengalir deras setiap kali dia berusaha menahan diri supaya tidak tergoda istrinya di setiap malamnya. Bukan hanya karena gerah tidak ada pendingin ruangan tapi lebih karena dia harus melawan hasrat dan gairahnya sendiri.
Bubar, cicak itu telah pergi. Tapi Gio dan Siti masih diam namun tidak tidur. Ekor mata masing-masing menatap satu sama lain, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Di tengah hawa panas yang melanda keduanya, terdengar rintik-rintik hujan yang jatuh di atas genteng. Siti mengucap syukur karena terselamatkan hawa sejuk dari hujan yang turun malam ini.
Mereka pun tidur terlelap.
Siti hamil anak Gio
saat kejadian malam kelam yg lalu,AQ yakin bahwa yg tidur dgn Teo bukanlah Siti melainkan Asih
tetap semangat berkarya kak 💪💪🙏🙏
semoga asih n teo dpt karma yg lebih kejam dari perbuatan nya pada siti