NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:905
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Konsekuensi dan Rencana ( Perbaikan )

Malam Hari di Rumah Aluna

Di dalam kamar mereka, Ellian menyampaikan berita penting kepada istrinya. "Aku dipindah tugaskan ke luar negeri," katanya, suaranya datar.

Wajah istrinya berbinar. "Benarkah? Kita akan pindah ke sana?"

"Ya," jawab Ellian. "Aku sudah mengurusnya. Tapi, hanya ada tiga tiket."

Senyum di wajah istrinya memudar. "Hanya tiga? Tapi kita berempat, dengan Aluna dan Arum."

Ellian menatapnya dengan tatapan dingin. "Artinya, harus ada satu orang yang tinggal di sini."

"Siapa?" tanya istrinya, suaranya penuh kekhawatiran.

"Kita tanya pada Arum dan Aluna," jawab Ellian, acuh tak acuh. "Suruh mereka datang ke ruang keluarga."

Setelah Istrinya memanggil Aluna dan Arum, mereka duduk di ruang keluarga. Suasana tegang menyelimuti mereka.

"Arum, Aluna," kata Ellian, suaranya datar. "Papa dipindah tugaskan ke luar negeri. Tapi hanya ada tiga tiket."

Arum langsung menyela. "Aku mau ikut Papa, dan aku nggak mau tinggal di rumah."

"Tapi kamu kan sedang kuliah, Arum," kata istrinya, mencoba menenangkan.

"Lalu siapa Tante, mau Aluna yang ikut? Aluna juga masuk sekolah. Sedangkan aku, aku bisa izin cuti kuliah," balas Arum. "Dia kan bisa tinggal dengan sepupunya, si Fara itu. Tante kan bisa titipin dia ke situ."

Wajah istrinya memucat. Ia menatap Ellian. "Mas..."

Aluna hanya diam, menyaksikan semuanya.

"Tapi Aluna anakku!" kata istrinya, suaranya naik satu oktaf.

Arum menyahut, "Intinya Papa harus ajak aku. Aku kan anak kandung Papa."

"Masalahnya ini cuma ada tiga tiket saja," kata Ellian.

Istrinya tidak menyerah. "Kamu bisa beli lagi, Mas."

"Ini saja aku dibayarin sama bos. Dan ini berangkatnya besok, nggak ada waktu buat beli lagi," jawab Ellian, dingin.

Istrinya akhirnya berkata, "Ya sudah, kalau Aluna nggak ikut, aku juga nggak ikut."

"Kalau kamu nggak ikut, siapa yang menyiapkan keperluanku?" tanya Ellian.

"Kan ada Arum," jawab istrinya. "Dia sudah besar dan bisa menyiapkan keperluan kamu."

Arum, tidak mau kalah, menimpali, "Tapi kan Tante istrinya! Harusnya sebagai istri melayani

suaminya! Tante jangan enak-enakan tinggal di sini dan keperluannya terpenuhi tapi nggak mau mengurus suaminya! Tante lupa biaya sekolah Aluna siapa yang biayain selain Papa? Jadi Tante harus nurut kepada Papa!"

Ellian menengahi, "Sudah, kalian jangan ribut. Jadi bagaimana? Siapa yang akan tetap di rumah?"

Arum langsung menunjuk. "Aluna, Pa."

Aluna, yang sudah lelah dengan semua perdebatan ini, akhirnya angkat bicara. "Ya sudah, biar Aluna saja yang tetap di rumah. Sendiri juga nggak apa-apa kok. Aluna juga sebentar lagi mau ada ulangan kenaikan kelas, jadi nggak mungkin Aluna pergi."

Arum tersenyum puas. "Nah, dengarkan? Jadi Aluna yang tetap di rumah."

Ellian mengangguk. "Oke, berarti sudah diputuskan."

Setelah keputusan pahit itu diambil, Ellian dan Arum kembali ke kamar mereka tanpa menoleh. Hanya Aluna dan ibunya yang tersisa di ruang keluarga.

Ibunya berjalan mendekati Aluna, air mata mengalir di pipinya. Ia memeluk putrinya erat-erat. "Maafkan Mama, sayang. Maafkan Mama tidak bisa berbuat apa-apa," bisiknya, suaranya tercekat. "Kamu anak Mama. Mama tidak ingin meninggalkanmu."

Aluna membalas pelukan ibunya, air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah. Ia tahu ibunya mencintainya, tapi ia juga tahu ibunya tak berdaya.

"Mama akan sering menelepon. Mama akan sering video call. Mama akan sering kirim kabar. Kamu tidak akan sendirian," janji ibunya.

Aluna hanya mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya ingin menikmati pelukan terakhir dari orang yang paling ia sayangi sebelum semuanya berubah.

Aluna dan ibunya berpelukan cukup lama. Waktu seolah berhenti, membiarkan mereka berbagi kesedihan yang tak terucap. Mereka hanya ingin menikmati kebersamaan terakhir sebelum semuanya berubah.

Namun, keheningan itu terpecah oleh suara panggilan Ellian dari dalam kamar. "Sayang, ke sini sebentar."

Ibunya terpaksa melepaskan pelukannya. Ia menatap Aluna, air mata masih membasahi pipinya. "Mama harus pergi," bisiknya, suaranya parau. Ia memberikan satu ciuman di dahi Aluna, lalu berjalan menuju kamar, meninggalkan Aluna yang kini berdiri sendirian di ruang keluarga.

Aluna masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu, mengisolasi dirinya dari kesunyian rumah yang kini terasa asing. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arah cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah, membasahi pipinya.

Ia merasa hampa. Keluarga yang seharusnya menjadi tempatnya kembali, kini telah meninggalkannya. Ia harus menghadapi semuanya sendirian.

Aluna mengusap air matanya, lalu menoleh ke arah ponselnya. Layar ponselnya menyala, menampilkan pesan dari Fara. Pesan itu berisi janji dan rencana yang kini membuat pikirannya kalut. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Tapi ia tidak bisa sendirian. Ia butuh seseorang untuk menenangkan pikirannya.

Ia teringat pada Revan. Ia berpikir untuk menceritakan rencana Fara kepadanya dan meminta bantuannya. Revan adalah satu-satunya orang yang bisa ia percaya di tengah kekacauan ini.

Keesokan Harinya di Rumah Valeria

Valeria bangun dengan perasaan hampa. Semalam, setelah Revan mengantarnya pulang, ia langsung masuk ke kamar. Pikirannya masih berputar pada percakapannya dengan Revan dan pada rahasia yang ia simpan.

Di meja makan, suasana terasa hening. Diandra hanya sibuk dengan ponselnya, sesekali berbicara dengan nada bisnis yang dingin. Valeria hanya mengaduk-aduk sarapannya, tidak memiliki selera makan.

"Habiskan sarapanmu, lalu berangkat," kata Diandra, tanpa menoleh.

Valeria hanya mengangguk pelan. Ia merasa seperti robot, mengikuti setiap perintah yang diberikan ibunya. Namun, di tengah semua rasa takut itu, ada satu nama yang terus terngiang di benaknya: Revan.

Ia merenungkan kembali kata-kata Revan. 'Gue nggak akan biarin lo jalanin ini sendirian lagi... Gue di pihak lo, Val.' Kata-kata itu memberinya sedikit kekuatan, meski ketakutan masih begitu kuat.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Revan.

"Gimana kabar lo pagi ini? Nggak usah dijawab kalau lo nggak mau."

Valeria menatap pesan itu. Pikirannya dipenuhi kebimbangan. Haruskah ia menjawab? Haruskah ia membiarkan Revan masuk lebih dalam ke dalam hidupnya yang rumit ini?

Valeria menatap pesan dari Revan selama beberapa detik, lalu menghela napas. Ia mengabaikannya, memilih untuk menaruh ponselnya di saku. Ia menghabiskan sisa makanannya dalam diam, lalu berdiri.

"Mama, aku berangkat," ucapnya, suaranya pelan.

Diandra, yang masih sibuk dengan ponselnya, hanya mengangguk tanpa menoleh. "Jaga diri," katanya singkat.

Valeria tidak menjawab. Ia hanya meraih tasnya, lalu berjalan keluar rumah. Di dalam mobil, ia menatap ke luar jendela. Pikirannya dipenuhi kebimbangan. Ia tahu Revan hanya ingin membantunya, tapi ia takut. Ia takut jika Revan terlalu dekat, ia akan terseret ke dalam kekacauan yang diciptakan oleh ibunya. Ia memutuskan untuk tetap menjaga jarak, untuk melindungi Revan dari dunia gelap yang ia tinggali.

Di Rumah Revan

Di meja makan yang hangat, Revan terlihat tidak selera makan. Pikirannya melayang pada ponselnya yang tergeletak di samping piring. Ia sesekali melirik, berharap ada balasan dari Valeria. Namun, tidak ada. Ia menghela napas, kecewa.

Ayahnya, Daniel, yang duduk di seberang meja, melihat putranya. "Kenapa, Revan? Ada masalah?"

Revan tersenyum tipis. "Nggak, Pa. Revan lagi mikirin pelajaran aja."

Ia segera menghabiskan sarapannya, lalu berdiri. Ia mencium tangan orang tuanya. "Revan berangkat, Ma, Pa," ucapnya.

"Hati-hati di jalan, nak," pesan ibunya. "Semoga harimu menyenangkan."

Revan hanya mengangguk, lalu bergegas keluar. Ia berjalan menuju mobilnya, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu Valeria tidak membalas pesannya karena ia takut. Ia tahu ia tidak bisa memaksa Valeria, tapi ia juga tidak bisa meninggalkannya sendirian. Ia harus menemuinya di sekolah.

Sementara itu, di rumah Aluna, suasana terasa hening dan dingin. Ellian dan Arum sudah siap dengan koper mereka, menunggu di ruang tamu. Ibunya terlihat gelisah. Ia terus menoleh ke arah kamar Aluna.

"Mas," panggilnya kepada Ellian. "Aku mau panggil Aluna dulu. Aku mau pamit."

Namun, Arum langsung menyela. "Nggak usah, Ma. Kita sudah telat. Nanti Aluna bisa nyusul ke bandara."

"Tapi... Mama mau pamit," kata ibunya, matanya berkaca-kaca.

Arum menggeleng. "Nggak ada waktu, Ma. Kita berangkat sekarang."

Tepat saat itu, Aluna keluar dari kamarnya. Ia melihat keluarganya sudah siap dengan koper, dan ibunya sedang menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. Mereka saling pandang. Aluna tahu, ini adalah perpisahan.

Ellian mengambil koper Arum dan berjalan keluar. Arum mengikuti di belakangnya, tanpa menoleh sedikit pun. Ibunya memberikan satu pandangan terakhir kepada Aluna, sebuah perpisahan tanpa kata, lalu menyusul suaminya.

Aluna berdiri di ambang pintu, menyaksikan mobil yang membawa keluarganya menjauh. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Rumah yang tadinya ramai kini terasa kosong dan dingin. Ia sendirian.

Rasa sedih yang amat dalam merayap di hatinya, bercampur dengan rasa sakit dan pengkhianatan. Ia merasa seperti boneka yang dibuang setelah tidak lagi dibutuhkan. Ia tidak hanya ditinggalkan oleh Ellian dan Arum, tapi juga oleh ibunya, satu-satunya orang yang ia pikir akan selalu ada untuknya.

Ia menoleh ke dalam rumah, lalu berjalan kembali ke kamarnya. Ia meraih ponselnya. Pikiran tentang Fara dan rencananya kembali menghantuinya, tapi kini ada perasaan baru. Ia tidak ingin menjadi bagian dari rencana Fara. Ia hanya ingin seseorang untuk menenangkan pikirannya.

Aluna menatap ponselnya, lalu menghela napas. Ia memutuskan untuk tidak menghubungi Revan. Ia tidak ingin menyampaikan hal sepenting itu melalui pesan singkat. Ia ingin bertemu langsung, agar Revan tahu betapa seriusnya masalah ini.

Dengan langkah mantap, ia menaruh ponselnya di saku, mengambil tasnya, dan berjalan keluar rumah. Ia mengunci pintu, lalu berjalan menuju sekolah. Perjalanan itu terasa sunyi. Pikirannya dipenuhi dengan Fara, rencananya, dan perpisahan dengan ibunya. Di satu sisi, ia takut; di sisi lain, ia ingin menghentikan Fara.

Revan tiba di sekolah dan memarkir mobilnya. Saat ia keluar, matanya langsung menangkap sosok Valeria yang berjalan gontai di koridor. Tanpa ragu, ia berlari, mengejarnya.

"Val!" panggilnya. "Valeria!"

Valeria menoleh, terkejut melihat Revan. Ia mempercepat langkahnya, berharap Revan akan menyerah. Tapi Revan terus mengejarnya. Ia akhirnya berhasil menyusul Valeria.

Mereka berhenti di koridor yang sepi. Revan mengambil napas dalam-dalam, menatap Valeria yang menunduk, menghindari tatapannya.

"Kenapa lo nggak balas pesan gue?" tanya Revan, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran. "Gue cuma mau tahu lo baik-baik aja."

Valeria tetap diam, matanya berkaca-kaca.

"Val, lihat gue," kata Revan, mengangkat dagu Valeria perlahan. "Lo nggak sendirian, kan? Lo nggak harus hadapin ini sendiri."

Tepat di belakang mereka, Damian dan Kian muncul. Mereka melihat Revan dan Valeria, lalu memutuskan untuk tetap berada di belakang, memberikan mereka ruang.

"Ya, makasih, Revan," jawab Valeria, suaranya pelan dan bergetar. "Gue mau langsung ke kelas."

Valeria melepaskan tangannya dari genggaman Revan dan berjalan cepat, meninggalkan Revan. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Damian, yang melihat Valeria berjalan menjauh, segera mengikutinya. Tepat di hadapan Revan, ia menatapnya dan mengangguk, seolah berkata, "Gue yang urus di sini."

Kian menghampiri Revan. "Kenapa, Van?" tanyanya.

Revan menghela napas. "Dia masih takut."

"Ya sudah. Biar Damian yang dampingi dia dulu. Kita ke kelas," ajak Kian.

Mereka berdua berjalan menuju kelas, pikiran Revan masih tertuju pada Valeria. Ia tahu ia tidak bisa memaksanya, tapi ia juga tidak bisa membiarkannya sendirian.

Revan dan Kian masuk ke kelas dan duduk di bangku mereka. Revan terus melamun, pikirannya masih pada Valeria. Ia melihat ponselnya, tidak ada balasan apa pun dari Valeria. Kian, yang melihat Revan melamun, hanya bisa menepuk pundaknya.

Tiba-tiba, Aluna masuk ke dalam kelas. Ia berjalan langsung ke bangku Revan. Wajahnya terlihat pucat dan tegang. Revan dan Kian terkejut melihatnya.

"Revan," kata Aluna, suaranya pelan dan bergetar. "Ada sesuatu yang harus gue omongin sama lo. Tapi... nanti, setelah istirahat."

Revan mengerutkan kening. "Ada apa?" tanyanya.

Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap Revan dengan tatapan penuh permohonan, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju bangkunya.

Revan dan Kian saling pandang, bingung dan khawatir.

Mereka memikirkan apa yang baru saja terjadi. Di belakang mereka, Liam yang sedari tadi menyaksikan, akhirnya bertanya, "Ada apa dengan Aluna? Tumben banget dia kayak gitu."

Revan menggeleng, "Gue nggak tahu, Li."

Kian menimpali, "Wajahnya kelihatan tegang, kayak ada masalah serius."

"Dia bilang mau ngobrol sama gue pas istirahat nanti," kata Revan, suaranya penuh kekhawatiran.

Pikiran Revan kini bercabang. Di satu sisi, ia khawatir pada Valeria yang masih menutup diri. Di sisi lain, kini ada Aluna yang membawa misteri baru. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

Tepat saat itu, bel masuk berbunyi, memecah keheningan di antara mereka. Pelajaran pertama dimulai, tapi fokus Revan, Kian, dan Liam sudah teralihkan. Mereka hanya bisa menunggu bel istirahat berbunyi.

Di kelas Valeria, guru sedang menjelaskan materi pelajaran. Namun, Valeria tidak bisa fokus. Ia menunduk, pikirannya berkelana ke percakapannya dengan Revan pagi tadi. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang benar, tapi tetap saja hatinya terasa berat.

Di sampingnya, Damian duduk dengan tenang. Ia sesekali melirik Valeria, memastikan gadis itu baik-baik saja. Damian tidak berusaha berbicara atau mengganggu, ia hanya ada di sana, menjadi perisai yang senyap. Ia tahu Valeria butuh waktu, dan yang terpenting baginya adalah Valeria merasa aman.

Waktu terasa berjalan begitu lambat. Valeria hanya ingin pelajaran ini cepat selesai, sementara Damian hanya bisa menunggu. Tiba-tiba, bel istirahat berbunyi nyaring, memecah keheningan di seluruh kelas.

Para siswa mulai berhamburan keluar kelas. Namun, Damian dan Valeria tetap duduk di bangku mereka. Damian menatap Valeria yang masih menunduk. Frustrasinya sudah mencapai batas. Ia tidak bisa lagi hanya diam.

"Val," panggilnya, suaranya pelan tapi tegas.

Valeria tidak menjawab.

"Val, lihat gue," kata Damian, suaranya lebih mendesak. "Lo bisa cerita sama gue. Lo nggak harus kayak gini."

Valeria akhirnya mendongak. Matanya merah, terlihat jelas ia sudah menangis. "Gue nggak apa-apa, Dam," jawabnya, mencoba tersenyum, tapi gagal.

Damian menggelengkan kepalanya. "Jangan bohong. Lo nggak baik-baik aja. Gue temen lo, Val. Lo bisa percaya sama gue."

Damian menatap mata Valeria yang sembab. "Ada apa sama lo? Cerita sama gue," ucapnya lembut. "Siapa tahu gue bisa bantu. Jangan dipendam sendiri."

Damian kemudian mengangkat tangannya, menyentuh lembut pipi Valeria. Sentuhan itu terasa hangat, penuh perhatian, dan membuat pertahanan Valeria runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan kembali mengalir deras.

"Damian..." bisiknya, suaranya parau. Ia tidak bisa melanjutkan.

Damian menunggu dengan sabar. "Gue ada di sini," katanya. "Gue nggak akan pergi."

Valeria menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Mama... Mama gue dan Papanya Revan mau bikin bisnis bareng," katanya, suaranya bergetar. "Dan mereka mau... gue dan Revan yang jalankan bisnis itu."

Damian terkejut. "Apa? Lo serius?"

Valeria mengangguk, lalu menceritakan tentang tekanan dari ibunya, dan bagaimana ia merasa terjebak. "Gue nggak mau, Dam. Tapi gue nggak bisa menolak."

Air mata Damian menetes. Ia tidak bisa menahan kesedihannya melihat sahabatnya begitu menderita. Dengan lembut, ia menghapus air mata Valeria dengan ibu jarinya.

"Lo... lo udah coba beri pengertian ke nyokap lo?" tanya Damian, suaranya pelan dan bergetar. "Lo udah ungkapin apa yang lo inginkan?"

Valeria menggeleng, air mata kembali membasahi pipinya. "Percuma, Dam. Mama nggak akan dengerin," bisiknya. "Dia cuma mau apa yang dia mau. Dia nggak pernah peduli sama perasaan gue."

Damian menatap Valeria, hatinya dipenuhi amarah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Valeria bisa hidup di bawah tekanan seperti itu.

Damian menatap Valeria, hatinya dipenuhi kemarahan. "Kenapa dia nggak peduli perasaan lo?" tanyanya, suaranya naik. "Lo kan anaknya, anak kandungnya. Mana mungkin tega ngelakuin itu sama anaknya sendiri?"

Valeria mendengar perkataan Damian. Hatinya hancur berkeping-keping. Kata-kata itu, yang seharusnya menghibur, justru menjadi pisau yang menusuknya. Ia terdiam, hanya bisa menunduk.

*Karena gue bukan anak kandungnya...* pikirnya, sebuah rahasia yang selama ini ia pendam dalam-dalam.

Air matanya menetes deras. Ia tidak bisa lagi menahannya. Valeria menangis, bukan hanya karena ibunya, tapi karena kebohongan yang ia jalani selama ini.

Mendengar isak tangis Valeria yang memilukan, Damian tidak bisa lagi menahan diri. Ia tidak mengerti apa yang salah dengan kata-katanya, tapi ia tahu Valeria sangat kesakitan.

Tanpa ragu, ia memeluk Valeria. Ia membiarkan Valeria menangis di bahunya. "Ssst... nggak apa-apa, Val. Gue ada di sini," bisiknya lembut, mengusap rambut Valeria. "Nggak usah ngomong apa-apa. Nangis aja. Gue temenin."

Valeria membalas pelukan Damian, mencengkeram erat kemejanya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia membiarkan dirinya merasa rapuh. Ia menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua kesedihan yang selama ini ia pendam.

Saat bel istirahat berbunyi, Revan langsung menghampiri Aluna. Kian menatap Revan, memberinya anggukan singkat, seolah tahu Revan harus pergi.

"Aluna, lo nggak apa-apa?" tanya Revan, suaranya penuh kekhawatiran.

Aluna menatap Revan, matanya berkaca-kaca. "Nggak, Revan," jawabnya. "Gue butuh ngobrol sama lo."

"Oke," kata Revan. "Kita ke taman aja."

Mereka berdua berjalan menuju taman sekolah. Suasana hening dan penuh ketegangan. Revan tahu ada sesuatu yang sangat penting yang akan Aluna katakan, dan Aluna terlihat sangat takut. Mereka duduk di salah satu bangku taman, di bawah pohon rindang.

"Revan, gue... gue mau minta maaf," kata Aluna, memulai percakapan.

Revan mengerutkan kening. "Minta maaf kenapa?"

"Gue... gue terlibat," bisik Aluna, suaranya nyaris tak terdengar. "Fara..."

Revan terkejut. "Fara? Ada apa sama Fara?"

Aluna menunduk, air matanya menetes. Ia pun menceritakan semuanya, tentang Fara yang akan masuk ke sekolah mereka dalam tiga hari, dan tentang rencana Fara yang ingin menjatuhkan Valeria. Aluna juga menceritakan bagaimana Fara memaksanya untuk menyebarkan gosip tentang Valeria.

Revan mendengarkan semuanya dengan serius. Wajahnya yang tadinya khawatir, kini dipenuhi amarah. Bukan pada Aluna, tapi pada Fara.

"Gue juga mau ngasih tahu, kalau keluarga gue pergi ke luar negeri," kata Aluna, suaranya bergetar. "Dan gue... gue ditinggal sendirian di rumah."

Aluna menunduk, air matanya menetes. "Dan gue harus tinggal sama Fara," bisiknya, suaranya parau. "Tapi gue nggak mau tinggal sama Fara. Dia pasti akan maksa gue buat ngelakuin itu. Gue nggak mau, Revan."

Revan menatap Aluna, hatinya mencelos. Ia tidak menyangka Aluna harus menanggung beban seberat itu sendirian. Aluna, yang kini tidak bisa lagi menahan air matanya, terisak pelan.

"Dengar, Aluna," kata Revan, suaranya mantap. "Lo nggak akan tinggal sama Fara. Gue nggak akan biarin itu terjadi."

Ia meraih tangan Aluna. "Makasih karena lo udah jujur sama gue. Lo udah ngelakuin hal yang benar. Sekarang, lo nggak sendirian. Gue akan bantu lo."

Revan kemudian bertanya, "Tapi lo nggak apa-apa tinggal sendiri di rumah? Atau mau gue suruh orang buat temenin lo?"

Aluna menggeleng pelan. "Nggak usah, Revan. Gue nggak mau nyusahin," jawabnya. "Gue... gue baik-baik aja."

Revan menghela napas. "Nggak bisa gitu, Aluna. Fara itu bahaya. Lo butuh seseorang di samping lo."

"Nggak apa-apa Revan, gue bisa hadapin," kata Aluna, mencoba tersenyum, tapi gagal. "Cuma ternyata gue harus terpaksa melakukan itu."

Air mata menetes di pipinya. "Gue minta maaf sama lo... dan tolong kasih tahu Valeria gue minta maaf."

Aluna berbalik dan berjalan cepat menuju bangkunya, meninggalkan Revan yang terdiam, bingung, dan marah.

Revan kembali ke bangkunya, tapi pikirannya kacau. Ia tidak bisa fokus. Ia tahu Aluna tidak ingin melakukan ini, tapi ia juga tahu Fara adalah ancaman nyata.

Valeria sudah lebih tenang. Isak tangisnya mereda, menyisakan napas yang tersengal-sengal. Damian masih memeluknya, membiarkannya meluapkan semua emosinya. Setelah beberapa saat, Valeria perlahan melepaskan pelukan Damian.

"Makasih, Dam," bisiknya. "Maaf gue... nggak bisa cerita dari tadi."

Damian tersenyum lembut, menghapus sisa air mata di pipi Valeria. "Nggak apa-apa," katanya. "Gue tahu ini berat buat lo."

Valeria menatap Damian, matanya masih merah. "Jadi... lo nggak marah?" tanyanya, suaranya ragu.

"Marah? Buat apa gue marah?" jawab Damian, suaranya dipenuhi ketulusan. "Gue cuma marah sama keadaan lo. Gue mau bantu lo, Val."

"Apa yang akan kita lakuin sekarang?" tanya Valeria.

Damian terdiam sejenak. "Apa lo udah cerita ini ke Revan?" tanyanya hati-hati.

"Revan sudah tahu dari Papanya," jawab Valeria pelan.

Damian terkejut, namun kemudian merasa lega. "Bagus kalau begitu. Jadi kita nggak sendirian."

Valeria menatap Damian, bingung. "Maksud lo?"

"Revan sudah cerita sama gue sama Kian," jelas Damian. "Dan kami sudah setuju untuk bantu lo. Revan sudah berani ambil keputusan buat masuk ke dalam permainan itu demi lo."

Valeria terdiam, hatinya terasa campur aduk. Ia merasa terharu, tapi juga khawatir. Ia merasa bersalah karena telah membuat Revan dan Damian terlibat dalam masalahnya.

"Kita akan hadapi ini bareng-bareng, Val," kata Damian, suaranya penuh keyakinan. "Lo nggak perlu takut."

Tepat saat itu, bel masuk berbunyi nyaring.

Damian berdiri, terlihat gelisah.

"Lo mau kemana?" tanya Valeria.

"Kantin," jawab Damian singkat.

"Tapi kan sudah bel," kata Valeria, bingung.

"Bentar doang, cepat kok," kata Damian sambil tersenyum.

Valeria mengangguk pelan. Setelah melihat Damian pergi, ia merasa sedikit lebih lega. Beban di pundaknya terasa sedikit terangkat

Damian berlari kencang menuju kantin. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil tiga sandwich dan dua botol air dingin. Ia tidak peduli dengan antrean, pikirannya hanya terfokus pada Valeria. Ia segera membayar, lalu kembali berlari menuju kelas.

Ia tiba di kelas dengan napas terengah-engah, melihat guru mereka belum datang. Valeria masih duduk di bangkunya, terlihat lemas dan pucat. Damian langsung menghampirinya, meletakkan sandwich dan minuman di mejanya.

"Makan ini," kata Damian, suaranya lembut. "Gue tahu lo belum makan dari tadi pagi. Makan sebelum guru datang."

Valeria menatap Damian, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengangguk, lalu mengambil sandwich dan mulai memakannya. Damian duduk di sampingnya, mengawasi dengan penuh perhatian.

Valeria memandang sandwich di tangannya, lalu menatap Damian. Ia mengambil satu gigitan kecil, lalu mendongak.

"Lo juga makan, Dam," katanya, suaranya kembali terdengar pelan. "Lo juga pasti lapar, kan?"

Damian tersenyum, hatinya terasa hangat. Ia mengangguk, lalu mengambil sandwich dari bungkusnya. Mereka makan dalam diam, sebuah momen tenang di tengah badai yang mereka hadapi. Tepat saat mereka selesai makan, guru mereka masuk, dan pelajaran pun dimulai.

Baik, saya mohon maaf atas kesalahan tersebut. Saya akan perbaiki cerita sebelumnya.

Di Kantor Perusahaan Diandra

Diandra duduk di balik meja kerjanya yang besar, memandangi pemandangan kota dari jendela kantornya. Pikirannya dipenuhi rencana besar. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Daniel, ayah Revan.

"Halo, Daniel," sapa Diandra dengan suara profesional.

"Halo, Diandra. Ada apa?" jawab Daniel di seberang telepon.

"Aku cuma mau tanya, kapan waktu yang tepat untuk Revan dan Valeria mulai belajar bersama?" tanya Diandra. "Menurutku, lebih cepat lebih baik. Bukankah mereka berdua sudah sama-sama setuju?"

"Ya," jawab Daniel pelan. "Revan sudah setuju."

"Bagus kalau begitu. Kita bisa mulai lusa. Aku akan siapkan semua berkas yang dibutuhkan," kata Diandra, suaranya terdengar puas.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan sampaikan ke Revan," jawab Daniel, menghela napas pelan. Ia tidak tahu bahwa ia sedang menjadi bagian dari rencana Revan untuk melindungi Valeria.

Setelah menutup telepon, Diandra tersenyum puas. Rencananya berjalan lancar, dan ia tidak menyadari bahwa ia sedang memasuki perangkapnya sendiri.

Bel pulang sekolah berbunyi, memecah keheningan di seluruh sekolah. Revan segera menghampiri Kian yang sedang merapikan buku-bukunya.

"Gimana, Kian?" tanya Revan, suaranya dipenuhi ketegangan. "Lo udah tanya bokap lo tentang Tante Diandra dan bisnisnya?"

Kian menggeleng. "Belum sempat, bro. Semalam Papa pulang larut banget," jawabnya. "Tapi gue bakal mastiin kapan Papa pulang hari ini. Gue janji bakal cari tahu secepatnya."

"Oke, good," kata Revan. "Kita kumpul di kafe biasa. Gue harus cerita sesuatu. Ini penting."

Kian mengangguk. "Siap. Kita tunggu Damian juga."

Mereka berdua berjalan keluar sekolah, pikiran dipenuhi dengan segala hal yang harus mereka hadapi. Revan memikirkan Valeria yang kini mulai terbuka, Aluna yang berada dalam bahaya, dan Fara yang siap datang. Sementara itu, Kian tahu ia harus segera mendapatkan informasi dari ayahnya.

Bel pulang sekolah berbunyi, memecah keheningan di seluruh sekolah. Revan segera menghampiri Kian yang sedang merapikan buku-bukunya.

"Gimana, Kian?" tanya Revan, suaranya dipenuhi ketegangan. "Lo udah tanya bokap lo tentang Tante Diandra dan bisnisnya?"

Kian menggeleng. "Belum sempat. Semalam Papa pulang larut banget," jawabnya. "Tapi gue bakal mastiin kapan Papa pulang hari ini. Gue janji bakal cari tahu secepatnya."

"Oke, good," kata Revan. "Kita kumpul di kafe biasa. Gue harus cerita sesuatu. Ini penting."

Kian mengangguk. "Siap. Kita tunggu Damian juga."

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!