Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. RENCANA NYONYA MARLIN
Langkah Kania terhenti. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan berbalik. Di sudut hatinya, masih tersisa setitik harap, harapan rapuh yang membuatnya ingin tetap bertahan bekerja di mansion itu.
Dengan lirih Kania menanyakan persyaratan itu, suaranya nyaris tertelan hening malam. Tatapnya bimbang, seolah ragu apakah ia benar-benar ingin mendengar jawaban yang akan mengubah segalanya.
Nyonya Marlin menarik napas panjang, sorot matanya tajam menusuk.
Syaratnya menikah dengan tuan Bram. Jika dalam tiga bulan Kania berhasil meluluhkan hati tuan Bram maka mansion beserta aset keluarga nyonya Marlin akan menjadi milikmu. Namun jika gagal, nyonya marlin akan membuat hidup kania menderita.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Kania membeku di tempat. Syarat yang diucapkan nyonya Marlin bagai buah simalakama berbalut duri. Jika berhasil, seluruh harta dan kemewahan keluarga Marlin akan jatuh ke tangannya. Namun sekali Kania gagal, nyonya Marlin akan menjadi badai yang sanggup meremukkan hidupnya hingga tak bersisa, tanpa belas kasihan, tanpa celah untuk bangkit.
"Aku tak butuh jawabanmu sekarang. Malam sudah larut, tidurlah. Besok, aku akan menagih jawabanmu dan pastikan kamu siap dengan konsekuensi nya."
Dengan langkah lesu, Kania meninggalkan kamar nyonya Marlin, seakan setiap hentakan kakinya mengikis sisa tenaga yang dimiliki.
Begitu pintu tertutup, sunyi menyelimuti ruangan. Perlahan, nyonya Marlin memutar kursi rodanya menghadap jendela. Pandangannya menembus tirai malam yang pekat, seolah mencari sesuatu di balik kegelapan, Entah jawaban, entah masa lalu yang enggan pergi.
Nyonya Marlin sebenarnya tak ingin menekan ataupun memaksa kania, namun baginya inilah satu-satunya cara agar tuan Bram kembali membuka diri pada cinta meski harus mengorbankan hati seseorang yang tak bersalah. Dan nyonya Marlin yakin hanya Kania yang mampu melakukannya. Karena itu, nyonya Marlin memilihnya, walau ia tahu setiap langkahnya nanti akan penuh luka dan duri.
Nyonya Marlin memutar kursi rodanya perlahan, roda berdecit halus saat ia mendekati pembaringan.
Dengan napas terengah, nyonya Marlin akhirnya berhasil membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Setiap gerakan terasa seperti pertarungan terakhir melawan kematian.
Di kamar lain, Kania masih terjaga. Matanya menatap kosong menembus gulita, berharap menemukan jawaban di antara bayang-bayang malam. Namun, pikirannya terus berkelana tak tentu arah, terseret oleh gelombang resah yang tak kunjung surut.
Di satu sisi, ia merasa sanggup menerima syarat itu. Namun di sisi lain, ketakutan membayang, takut gagal, takut terjebak di jalan buntu.
Menaklukkan hati Tuan Bram bukan perkara mudah, hati seorang pria yang sudah mati rasa dan terluka ibarat pintu yang terkunci rapat, sulit untuk di buka.
Hampir semalaman Kania terjaga. Pikirannya dipenuhi kegelisahan, membayangkan jawaban apa yang harus ia berikan pada nyonya Marlin nantinya.
Kania terdiam di sudut pembaringan, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah mencari kekuatan. Kepalanya tertunduk lesu, bayangan kesedihan menyelimuti wajahnya yang pucat. Bibirnya bergetar pelan, merangkai doa lirih penuh harap, memohon agar Tuhan menemukan jawaban Tanpa ada yang tersakiti.
Tanpa terasa matahari sudah terbit, burung-burung mulai bersiul di atas dahan. Pagi sudah datang Kania belum juga memejamkan mata semalam suntuk
Kepalanya terasa berat. Dengan langkah gontai, Kania masuk ke kamar mandi berharap dengan guyuran air dingin mampu menyapu lelah dan kusut di pikirannya.
Setelah berbenah diri, Kania melangkah keluar dari kamar. Hatinya sudah mantap, yakin dengan jawaban yang akan ia berikan pada Nyonya Marlin nanti. Tak ada keraguan lagi, hanya tekad yang membara di dalam dada.
Seperti biasa sebelum memulai aktifitas, para pelayan diwajibkan sarapan terlebih dahulu.
Aroma harum menyambut Kania saat ia melangkah ke ruang makan.
Di sana, sudah berkumpul pelayan, menikmati hidangan yang tersaji di meja panjang.
Beberapa di antara mereka tampak tidak suka dengan kehadiran Kania. Tatapan tajam mereka bak predator yang siap menerkam mangsanya.
Kania menghela napas pelan, menyadari bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian.
Dengan langkah tenang, Kania mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk yang tersedia. Setelah merasa cukup, Kania Memilih tempat duduk paling pojok.
“Belum pergi juga rupanya, kami kira kamu sudah terlunta-lunta di jalanan,” selah seorang pelayan dengan nada mengejek, disusul tawa riang teman-temannya.
Kania tak menggubris perkataan mereka, ia tetap fokus menyantap makanan yang ada di depannya.
Bunyi bel terdengar nyaring, menandakan apel akan segera dimulai. Para pelayan, pengurus taman, dan koki segera berkumpul di sebuah ruangan untuk mendengarkan arahan dari bi Ana.
Ada beberapa menit bi Ana berdiri di depan mereka, memberikan instruksi setelah itu mereka bubar dan kembali menjalankan tugas masing-masing.
Kania melangkah menuju kamar nyonya Marlin. mengumpulkan keberanian, lalu mengetuk pintu.
Kania memutar gagang pintu lalu masuk. Sudah ada bi Ana di sana sedang menyisir rambut panjang nyonya Marlin yang sudah memutih termakan usia.
Nyonya Marlin menatap bi Ana, lalu dengan isyarat halus menyuruhnya mundur. Matanya berpaling ke Kania, menyuruhnya mendekat dengan suara lembut namun berwibawa.
“Apa kamu sudah sIap dengan jawabanmu? Apa pun itu, semua tergantung padamu,” ucap Nyonya Marlin, suaranya mengalir lembut tapi penuh beban yang harus dipikul Kania.
Bibir Kania bergetar, menahan guncangan rasa takut yang menggelayuti hatinya. Kania mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa, menatap tajam perempuan tua yang sedang duduk di depannya.
"Saya bersedia nyonya."
Mendengar jawaban itu, Nyonya Marlin nyaris meloncat dari kursi rodanya. Wajahnya yang biasanya dingin kini membara oleh kebahagiaan yang sulit disembunyikan.
Semalam suntuk ia berdoa, berharap sekali mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kania dan akhirnya harapannya terkabul.
Nyonya Marlin memberi isyarat pada bi Ana untuk memanggil tuan Bram.
Bi Ana mengangguk pelan lalu keluar dari kamar. Tak lama kemudian, Tuan Bram datang berlari.
Kecemasan terlihat di raut wajah Tuan Bram. Mata yang biasanya tegas kini tampak gelisah, mencari jawaban di balik kata-kata Bi Ana yang mengabarkan kalau jantung nyonya Marlin tiba-tiba sakit
Nyonya marlin yang saat itu sedang berbaring tersenyum dalam hati, rencananya kali ini benar-benar berhasil.
"Ibu sudah tua dan sakit-sakitan, mungkin sebentar lagi Tuhan memanggil ibu,” suara Nyonya Marlin mulai melemah.
Kata-kata itu membuat Bram terpukul, tubuhnya gemetar, dan untuk pertama kalinya ia meneteskan air mata di depan orang banyak.
Dengan penuh harap, Bram menggenggam tangan Nyonya Marlin, mencium punggung tangan perempuan tua itu hingga berulang kali dan berjanji akan melakukan Apa pun asalkan nyonya Marlin tetap hidup.
Hampir saja nyonya Marlin melompat mendengar jawaban tuan Bram.
“Sebelum ibu pergi, ibu ingin melihat Bram menikah, mungkin dengan cara itu arwah ibu tenang di alam sana.”
Jantung tuan Bram hampir saja copot mendengar permintaan ibunya. Terdiam tidak tahu arus menjawab apa.
Nyonya Marlin tiba-tiba kejang matanya melotot menatap keatas.
"Baiklah, Bram bersedia tapi menikah dengan siapa?"
Tangan nyonya Marlin secepat kilat menunjuk kearah Kania.
"Hah...dia." Mata tuan Bram melotot seakan ingin menelan Kania hidup-hidup.