NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu

*📝** Diary Mentari – Bab 5**

“Kasurku keras, seperti hidupku. Tapi setidaknya hari ini Sabtu—hari di mana sepi akhirnya datang meski hanya sebentar.”***

Aku masih lelah. Sangat lelah. Tubuhku kulempar ke atas kasur yang keras, sekeras hidupku. Tapi aku bersyukur, setidaknya hari ini hari Sabtu. Hari yang paling aku tunggu setiap minggu, bukan karena libur, tapi karena semua sepupuku akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Rumah kami jadi sedikit lebih lapang, sedikit lebih tenang, dan sedikit lebih milikku.

Kasur yang kupakai ini bukan milikku sepenuhnya. Di hari-hari biasa, aku berbagi dengan Senja, adikku, dan dua sepupu perempuan yang tinggal bersama kami selama mereka sekolah di kampung ini. Kadang kami tidur berhimpitan, saling menyikut dan menarik selimut. Tapi hari Sabtu… ah, aku bisa tidur leluasa. Setidaknya sebentar, sebelum tugas-tugas lain menanti.

Pelajaran di sekolah tadi cukup melelahkan. Otakku seperti penuh dan mataku berat. Tapi saat sampai di rumah, belum sempat berganti baju, Ayah sudah berdiri di depan pintu, membawa tali dan pisau kecil. Itu pertanda: kami akan ke kebun.

Aku hanya ingin tidur. Tidur sebentar saja. Tapi aku tahu, tidur tidak menghasilkan uang.

Dengan lesu aku mengganti seragamku dengan pakaian kebun—baju kumal yang penuh tambalan di lengan dan rok panjang yang sudah lusuh. Senja juga sudah bersiap. Dia bahkan lebih bersemangat dariku. Mungkin karena dia belum tahu lelah macam apa yang harus kami jalani di kebun nanti.

Padahal besok aku ada acara kemah—perkemahan pramuka mewakili sekolah. Aku dan sepuluh teman terpilih. Aku sangat menantikan itu. Aku suka kegiatan pramuka. Aku suka petualangan. Dan yang paling penting, dua hari ke depan aku akan tidur di tempat lain—bukan di kamar sempit yang penuh sesak. Bukan di rumah yang selalu penuh suara. Walaupun tidur di tenda, setidaknya aku merasa hidupku sedikit berbeda.

Aku membayangkan malam-malam di tengah hutan pinus. Suara jangkrik, obor, dan nyanyian api unggun. Aku bahkan sudah menyiapkan puisi pendek untuk kubacakan saat malam pentas seni nanti.

Tapi sebelum itu, aku harus ikut ke kebun.

Kami berjalan di jalan setapak yang sempit, menyusuri kebun milik warga yang ditanami pisang, kelapa, dan semak liar. Ayah berjalan di depan membawa sabit dan karung. Ibu di belakang kami, menjunjung tandan pisang di atas kepalanya, seimbang dan penuh wibawa. Aku dan Senja, masing-masing memikul kelapa yang kami kumpulkan satu per satu dari bawah pohon.

Kelapa itu berat, dan jalanan licin karena hujan semalam. Kami harus menyeberangi sungai kecil yang arusnya deras. Aku takut terpeleset. Tapi aku juga takut kalau aku jatuh. Karena kalau aku jatuh, Ayah akan marah. Kalau aku menangis, Ayah juga akan marah. Bahkan kalau aku hanya mengeluh sedikit saja, Ayah akan lebih marah lagi.

Ayah bilang: “Laki-laki tidak suka perempuan cengeng.”

Itu ucapan yang sering aku dengar sejak kecil. Bahkan sebelum aku mengerti arti “cengeng”, aku sudah tahu aku tak boleh menangis.

Hari itu, beban di kepala dan di hati sama-sama berat.

Setelah hampir dua jam di kebun, tubuhku terasa habis. Lututku nyeri, punggungku panas karena gendongan karung kelapa. Tapi aku tak mengeluh. Tak berani. Senja pun tampak mulai kelelahan. Tapi tidak ada yang berani bersuara. Kami tahu, Ayah akan bilang, “Kalau lelah, jangan makan malam nanti.”

Sesampainya di rumah, aku langsung menyiapkan perlengkapan untuk acara kemah. Aku memeriksa tali-temali, botol air, dan seragam pramuka yang sudah disetrika oleh Ibu tadi pagi. Tapi Ibu hanya diam, tidak berkata apa-apa tentang kepergianku besok. Tidak bilang “hati-hati,” apalagi “semangat ya.” Seakan keberadaanku tidak penting. Atau mungkin mereka sudah terlalu lelah untuk peduli.

Aku tahu Ibu menyetrika bajuku tadi pagi, sebelum subuh. Itu bentuk cintanya, mungkin. Tapi tetap saja aku ingin lebih. Aku ingin Ibu bertanya, “Apa kamu senang ikut kemah?” atau sekadar, “Nanti kamu tidur sama siapa di tenda?”

Tapi tidak ada.

Malamnya, aku mencuri waktu menulis di diary, satu-satunya sahabatku yang tidak pernah marah saat aku menangis.

“Hari ini Sabtu. Rumah lebih sepi. Tapi hatiku tetap ramai oleh lelah dan kecewa. Aku ingin tidur lebih lama, tapi bahkan tidur saja aku harus bayar dengan kelapa dan pisang. Aku tahu Ayah hanya ingin aku jadi kuat. Tapi hari ini aku merasa… mungkin Ayah tidak sayang padaku.”

Aku menutup diary perlahan. Menatap langit-langit kamar dengan pelita yang bergoyang-goyang. Bayang cahaya bermain di dinding bambu. Aku menyentuh dada, mencari detak yang sering kusebut harapan.

Aku tahu pikiran itu tak adil. Tapi kadang, anak-anak hanya ingin dimengerti, bukan dinasihati. Aku tahu Ayah dan Ibu mencintaiku, dengan cara mereka sendiri. Tapi bukankah cinta juga butuh ditunjukkan? Butuh disentuh? Butuh dikatakan?

Kadang, cinta yang diam justru paling menyakitkan.

Malam itu, sebelum tidur, aku melihat Senja sudah lelap. Napasnya pelan. Tangannya menggenggam ujung selimut. Aku mencium keningnya dan berkata dalam hati:

“Suatu hari nanti, aku akan membuat rumah baru untuk kita. Rumah yang lebih hangat. Rumah yang tak ada air mata dan suara marah.”

Aku menggenggam jari-jarinya. Dia masih kecil. Dia belum tahu dunia macam apa yang sedang kami hadapi. Tapi aku berjanji. Aku akan jadi kakak yang bisa diandalkan. Aku akan cari jalan keluar. Walau harus menunggu, walau harus jatuh—aku akan bangkit. Demi kami.

🕊️ “Lelah bisa hilang, luka bisa sembuh. Tapi mimpi yang terus dipeluk—akan tumbuh menjadi tujuan.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!