Kesedihan Rara mencapai puncak hanya dalam waktu satu hari.
Setelah orang tuanya batal menghadiri acara wisudanya, Rara malah mendapati kekasihnya berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
Rara mendapati kenyataan yang lebih buruk saat ia pulang ke tanah air.
Sanggupkah Rara menghadapi semua cobaan ini?
Ig : Poel_Story27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poel Story27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Couvade Syndrom
2-bulan kemudian.
Mansion Richard, Jakarta, Indonesia.
Tok ... tok! Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Sean.
"Tuan muda, Anda ditunggu tuan besar dan nyonya untuk sarapan," ujar pelayan tersebut.
"Iya, Bi. Sebentar!" sahut Sean dengan suara lemas.
Entah mengapa pagi ini kepalanya terasa sangat pusing, dan disertai mual. Sean tidak pernah seperti ini, minuman beralkohol sudah menjadi minuman sehari bagi Sean, tidak mungkin rasanya jika pusing yang rasakan sekarang, disebabkan pesta yang ia adakan bersama-temannya tadi malam.
Sean turun dari tempat tidur, sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.
"Pesta sialan! Apa yang mereka masukkan ke dalam minumanku!" Sean mengumpat kesal.
Sean teringat jika teman-temannya, juga meminum minuman yang sama dengan dirinya, lalu apa yang membuat kepalanya serasa mau pecah?
Sean berjalan terhuyung menuju wastafel untuk membersihkan diri, setelah itu ia keluar dari kamar untuk menuju ruang makan. Sean duduk meja makan dan langsung mendapat tatapan tajam dari Brian.
"Sean!" ujar Brian dengan suara yang di tekankan.
"Ya ... Ayah!"
"Kali ini ayah tidak ingin mendengar alasan apapun, kau sudah harus bekerja mulai hari ini, dan ayah juga sudah memilihkan asisten untuk membantu pekerjaanmu, dia Sandy anaknya onty Alya."
Sean menghela napas berat, ucapan ayahnya seperti perintah yang tidak bisa dibantah. Selama ini Sean tidak pernah tahu-menahu urusan pekerjaan, hari-harinya hanya dihabiskan untuk bersenang-senang, dengan teman-temannya.
"Aku belum mau bekerja Ayah!" tolak Sean tanpa berani menatap Brian.
"Baiklah jika itu keputusanmu, kali ini ayah tidak akan memaksa! Tapi, semua fasilitasmu akan ayah bekukan," ujar Brian dengan datar.
Sean tersentak, ia mengangkat kepala lalu menatap melas pada ibunya, hal yang selalu Sean lakukan, saat ayahnya bersikap tegas kepadanya.
Tapi kali ini Lidya tidak bergeming, jangankan membela putranya, ia malah mengelengkan kepala. Selama ini Lidya memang selalu memanjakan putra bungsunya itu.
"Bu ...." Sean memelas karena tidak mendapat respon dari ibunya.
"Sudah cukup, Nak! Selama ini ibu selalu membelamu. Tapi sekarang sudah saatnya kau berpikir lebih dewasa," ujar Lidya dengan tegas.
"Dengan memegang salah satu cabang perusahaan, kau bisa belajar apa artinya tanggung jawab, karena setelah menikah nanti, kau akan memimpin URM group bersama kakakmu," imbuh Brian.
Sean mendengus pelan. "Aku belum ingin menikah Ayah!"
"Terserah, ayah tidak ingin mencampuri masalah jodohmu, tapi kau harus mulai bekerja, kalau kau tidak ingin ayah mencabut semua fasilitasmu," ancam Brian.
Sean berdecak pelan, ia tidak punya pilihan. Dia memiliki ibu yang selama ini selalu memanjakannya, tapi sekarang ibunya pun tidak lagi berpihak padanya.
"Kalau kau mau bekerja, ayah tidak akan membatasimu untuk bersenang-senang dengan teman-temanmu," tambah Brian.
"Baiklah, Ayah! Aku akan mulai bekerja," sahut Sean sembari mengolesi rotinya dengan selai.
Namun, tiba-tiba perut Sean kembali mual, bahkan aroma roti yang ia pegang terasa begitu menyengat, membuat Sean ingin memuntahkan semua isi perutnya.
Sean berlari menuju wastafel, ia berusaha untuk memuntahkan isi perutnya, tapi ia tidak berhasil memuntahkan apa-apa. Ditambah lagi tubuhnya seperti tidak berdaya.
Lidya terlihat panik melihat kondisi putranya, ia pun segera menyusul Sean.
"Kau kenapa, Nak!" Lidya mendekati Sean, ia ingin membantu putranya yang terlihat begitu tersiksa.
"Menjauhlah, Bu! Bau-mu tidak enak sekali, aku bertambah mual karena Ibu. Ibu harus mengganti parfum yang Ibu gunakan, baunya tidak enak," ujar Sean.
Lidya menepis kesal tangan Sean yang menahan langkahnya. "Anak kurang ajar! Berani kau mengatai ibumu," hardiknya, lalu menarik telinga Sean dengan Keras.
Sean menepis tangan ibunya, lalu pergi menuju kamarnya. Lidya terheran dengan sikap anaknya, tidak pernah Sean menepis tangannya, saat ia menghukum putranya itu.
Lidya menatap kesal pada Sean, yang berjalan meninggalnya. "Apa dia marah, karena tadi aku tidak membelanya?"
"Tapi biarlah, sudah saatnya anak nakal itu berpikir dewasa, dan mengetahui tanggung jawabnya." Lidya mengibaskan tangannya, lalu kembali ke ruang makan.
"Lihat kelakuan anakmu itu, dia langsung marah padaku. Padahal baru kali ini aku tidak membelanya," desah Lidya dengan berat.
"Itu karena kau selalu memanjakannya," suntuk Brian.
Lidya membulatkan mata, seperti tidak terima dengan disalahkan suaminya. "Mengapa kau malah ...."
Ucapan Lidya terpotong, karena mendengar teriakan Sean. Putra kesayangannya itu meraung kesakitan, dan membuat Lidya panik.
"Ayo kita lihat dia!" Lidya langsung bergegas menuju kamar Sean, sedangkan Brian mengekor istrinya dari belakang.
Lidya masuk ke kamar Sean, ia mendapati putranya sedang tertunduk di wastafel.
"Menjauhlah, Bu! Aku semakin mual, baumu sangat tidak enak," usir Sean.
Lidya tidak menghiraukan perkataan Sean, ia sangat cemas dengan keadaan putranya itu.
"Kau kenapa, Nak! Ibu khawatir!" ujar Lidya.
"Keluarlah dari kamarku, Bu! Aku mohon," pinta Sean dengan mata yang terlihat berair, karena mual dan pusing yang sedang ia alami.
Lidya pun kembali menghampiri Brian, ia tidak ingin memaksakan diri. Brian menyikapi keadaan dengan tenang, ia menelpon dokter pribadi keluarga, untuk memeriksa kondisi Sean.
Tak butuh waktu lama, dokter pribadi keluarga sudah tiba, dan langsung memeriksa kondisi Sean.
Brian dengan tenang memeperhatikan proses pemeriksaan yang dilakukan dokter Alya, Sementara Lidya terus menatap cemas pada putranya dari kejauhan, Lidya memang duduk di sofa yang ada di kamar sean, karena putranya itu tidak mengizinkannya mendekat.
Dokter Alya tersenyum tipis setelah melakukan pemeriksaan dengan sangat teliti.
"Kelakuan anak jaman sekarang! Ya ... Like a dad, like a son!" cibir Dokter Alya sambil terkekeh pelan.
"Apa maksud Onty?"
"Apa maksudmu?"
Brian dan Sean bertanya hampir bersamaan.
"Tidak ada yang salah dengan kesehatan Sean! Jadi bisa kupastikan, Couvade Syndrom!" jawab dokter Alya dengan yakin.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" desak Brian.
"Ya ... Mungkin aku yang tidak tahu perbedaan antara 2-orang Richard." Alya menggidikkan bahunya. "Apa perlu aku menceritakan ulang, bagaimana kelakuan seorang Brian kepada Lidya sekali lagi?"
Brian melotot kesal kepada Alya, lalu melirik pelan ke arah Lidya. Meskipun Lidya tahu Brian dan Alya hanya sebatas teman, tapi Lidya juga tahu mereka pernah melakukan hal-hal gila. Brian tidak ingin membuat dirinya harus tidur di sofa, hanya karena masalah ini.
"Mengapa kau sampai menghamili anak orang, harusnya kau bisa lebih berhati-hati!" Brian memberikan tatapan menghunus pada Sean. "Jadi siapa gadis yang sedang mengandung cucuku?"
"Aku tidak tahu Ayah," keluh Sean.
Brian menggeleng kesal mendengar jawaban putranya. Brian dulunya juga seorang pemain, tapi Brian selalu berhati-hati, agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Di sisi lain, Brian tidak bisa menyalahkan Sean begitu saja, karena buah takkan pernah jatuh jauh dari pohonnya.
"Kau harus mengingat siapa gadis itu, aku tidak ingin cucuku terlantar diluar sana, dan kau juga harus bertanggung jawab, kau harus menikahi gadis itu," perintah Brian dengan tegas.
Sean tidak bisa lagi membantah perintah ayahnya, ia mencoba mengingat-ingat, siapa saja gadis yang pernah ia tiduri. Sean berpikir keras. Seingatnya, ia selalu memakai pengaman, saat bersenang-senang bersama wanitanya.
Akhirnya Sean pun teringat pada seorang wanita, ia mengencani wanita itu sekitar 3-bulan yang lalu, mereka bertemu di sebuah club di Milan. Kebetulan Seat itu Sean kehabisan stok pengaman, yang selalu tersedia di dalam dompetnya, jadilah pada saat itu, Sean berhubungan tanpa menggunakan pengaman untuk pertama kali.
Bersambung.
Jangan lupa like, vote dan komen!
Terima kasih.